Minggu, 30 November 2008

Tarian Tradisional



Indonesia juga mempunyai banyak macam budaya. Salah satunya adalah tarian tradisional. Jika kamu tertarik akan tarian kamu akan temukan lebih dari tigaratus macam tarian.
1. Tari Kecak
Tari Kecak adalah salah satu tarian tradisional dari Bali. Tarian ini pada umumnya dilaksanakan pada malam hari. Tari Ini ditarikan oleh lebih dari seratus orang. Mereka duduk di suatu lingkaran dengan suatu obor besar di pertengahan. Mereka bergerak bersama-sama, mengayunkan badan mereka kesamping(kanan dan kiri) atau depan dan belakang dengan menggerakan tangan mereka dan menghasilkan berbagai suara serasi yakni “cak-cak-cak”. Kecak menggambarkan ketika Raja Rama melawan Raja Rahwana yang telah menculik Shinta, Isteri Rama. Pada akhirnya Raja Rama memenangkan pertempuran itu.
2. Bedhaya Ketawang
Bedhaya Ketawang adalah juga salah satu tarian tradisional yang datang dari SOLO dan Jogja ( Pulau Jawa bagian Tengah). Kita sering lihat tarian ini dalam beberapa aktivitas seperti suatu upacara penobatan raja, festival atau pertunjukan. Bedhaya Ketawang dimainkan oleh 9 penari. Masing-Masing penari mempunyai tugas dan nama khusus. Nama mereka adalah Batak ( penari pertama), Endhel Ajeg, Endhel Weton, Apit Ngarep, Apit Mburi, Apit Meneg, Gulu, Dhada, dan Boncit.
Tarian ini pada umumnya ditemani oleh Musik Jawa Orkes yang disebut Gamelan. Gamelan ini dinamai Gamelan Kyai Kaduk Manis yang terdiri dari dari banyak instrumen musik seperti kendhang Ageng ( kendhang besar), Kendhang Ketipung, Kenong, dan kethuk
3. Tari Barong
Barong adalah suatu Tarian masyarakat Bali yang dilakukan berkaitan dengan upacara candi/pura atau upacara religius lain. Dua penari pria menari. Barong kelihatan seperti suatu binatang, tetapi bagi masyarakat Bali penampilan barong memiliki makna yang lebih dari itu dan mendalam. Barong menggambarkan semua sifat yang baik, melindungi manusia dalam melawan kejahatan iblis yang dinamakan Rangda. Perjuangan antara dua jenis sifat ini dijelaskan dalam cerita Calon Arang. Dalam tingkat tertingginya, beberapa penonton mengambil bagian perkelahian untuk membantu Barong itu. Bagaimanapun, baik Barong Maupun Rangda tidak ada yang dikalahkan. Kebaikan dan kejahatan tetap ada berdampingan. Yang satu tidak bisa ada tanpa yang lain.
Orang Bali menganggap keduanya, Rangda dan Barong sangat sakral. Di dalam candi, topeng mereka diletakkan di suatu tempat kudus yang khusus., dan Orang Bali memuja mereka dengan pengorbanan.

Tari Jawa seperti Serimpi Dan Merak pada umumnya lembut. Gerakkan kaki atau tangan mereka halus dan lembut. Mereka berbeda dengan Tarian masyrakat Bali. Penari Bali bergerak dengan cepat dan dengan dinamis. Mereka juga mahir dalam menggerakkan mata mereka ketika mereka menari.
masih ada banyak jenis tarian tradisional lainnya:
A.Pulau Sumatera
1. Provinsi Aceh mempunyai Tari adat seudati dan Saman Meuseukat
2. Provinsi Sumatra utara mempunyai Tari adat Serampang Dua Belas dan Tor-tor
3. Provinsi Sumatra Barat mempunyai Tari adat Lilin, Piring, dan Payung
4. Provinsi Riau mempunyai Tari adat Tandak, Joget Lambak
5. Provinsi Sumatra selatan mempunyai Tari adat Tanggai, Putri Bekhusek
6. Provinsi Jambi mempunyai Tari adat Selampit Delapan, Sekapur Siri
7. Provinsi Lampung mempunyai Tari adat Jangget, Melinting
8. Provinsi Bengkulu mempunyai Tari adat Andun, Bidadei Teminang

B. Pulau Jawa
7. Provinsi Jakarta mempunyai Tari adat Topeng, Yapong
8. Provinsi Jawa Barat mempunyai Tari adat Topeng, Kuncaran, Jaipong, Merak
7. Provinsi Jawa Tengah mempunyai Tari adat Serimpi, Bambang cakil
7. Provinsi Yogyakarta (Jogja) mempunyai Tari adat Serimpi Sangupati, Bedhoyo
7. Provinsi Jawa Timur mempunyai Tari adat Remong, Reog Ponorogo, dan Ngremo


C. Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara
7. Provinsi Bali mempunyai Tari adat Legong, Kecak, and Janger
7. Provinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai Tari adat Mpaa Lenggo, Batunganga
7. Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai Tari adat Perang, Gareng Lameng

D. Pulau Kalimantan (Borneo)
7. Provinsi Kalimantan Barat mempunyai Tari adat Monong, Zapin Tembung
7. Provinsi Kalimantan Tengah mempunyai Tari adat Balean Dadas, Tambun & Bungai
7. Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai Tari adat Baksa Kembang, Radap Rahayu
7. Provinsi Kalimantan Timur mempunyai Tari adat Perang, Gong

E. Pulau Sulawesi
7. Provinsi Sulawesi Utara mempunyai Tari adat Maengket, Polo-palo
7. Provinsi Sulawesi Tengah mempunyai Tari adat Lumense, Pule Cinde
7. Provinsi Sulawesi Selatan mempunyai Tari adat Bosara, Kipas
7. Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai Tari adat Dinggu, Balumba

F. Kepulauan Halmahera dan Papua
7. Provinsi Maluku mempunyai Tari adat Lenso, Cakalele
7. Provinsi Irian Jaya mempunyai Tari adat Musyoh, Selamat Datang

Sebagian dari tarian itu sangat populer di Indonesia. Kita sering lihat tari-tarian itu di upacara pembukaan, festival dan pertunjukan lain nya. Kadang-Kadang kita harus menghabiskan uang kita untuk menontonnya seperti pertunjukan tari di pusat hiburan. Bisa jadi lebih mahal jika tarian tersebut populer.
Sebagai tarian profesional para penarinya harus serius. Kebanyakan mereka mempunyai suatu studio tari. Beberapa yang ingin belajar menari, dapat belajar tarian di suatu studio tari. Studio ini digunakan untuk praktek dan menciptakan tarian baru yang di atur oleh penari profesional.

Jumat, 28 November 2008

Refleksi Atas Sila Persatuan Indonesia

Refleksi Atas Sila Persatuan Indonesia dalam Kaitanya Dengan Pemikiran Kefilsafatan, Pergerakan Nasional
dan Persidangan BPUPKI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sila ketiga Pancasila ialah Persatuan Indonesia. Perkataan ini dipakai sebagai padanan bagi kata-kata ‘nasionalisme’ dengan alasan bahwa cita-cita akan persatuan sebenarnya telah tumbuh lama jauh sebelum munculnya kolonialisme. Masuknya faham nasionalisme atau kebangsaan yang dibawa oleh kolonial Belanda pada dasarnya hanya mengukuhkan persatuan yang telah tumbuh, walaupun coraknya sangat berbeda dengan persatuan yang terbentuk setelah diproklamasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Karena dibentuk oleh faktor-faktor sejarah dan kenyataan budaya dan anthropologis yang berbeda dari nasionalisme yang berkembang di kalangan bangsa Eropa dan Amerika, maka ciri-ciri nasionalisme yang tumbuh di kalangan rakyat Indonesia juga berbeda.
Ruslan Abdulgani (1976), seorang perumus Pancasila pada zaman Sukarno, mengatakan bahwa “Lima asas (dalam sidang Badan Persiapan Kemerdekaan pada bulan Juni 1945) yang dikemukakan Sukarno adalah nasionalisme, internasionalisme atau kemanusiaan, demokrasi, keadilan social, dan last but not least – terakhir tetapi bukan tidak penting – ialah kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa”. Dari segi politik, menurutnya lagi, Pancasila merupaakan lambang rekonsiliasi dan sintesis tiga arus politik utama dalam kehidupan Indonesia modern, yaitu nasionalisme, Islamisme dan Marxisme (baca: sosialisme, agar lebih netral). Arus sentralnya adalah nasionalisme.
Kita bisa memberi tafsir beranekaragam terhadap pernyataan ini, sesuai dari sudut pandang mana kita melihatnya. Ruslan Abdulgani sendiri menafsirkan sedemikian rupa dengan menekankan pada ‘rekonsiliasi’. Alasannya, menurut belia, konsep nasionalisme Indonesia harus sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang lebih menekankan keselarasan dan keserasian dibanding dialektika dan konflik. Dalam kenyataannya, disebabkan interes dan ideologi politik yang berbeda-beda itu pula sampai sekarang tidak pernah golongan-golongan politik di Indonesia melihat pentingnya keselarasan dan keserasian. Nasionalisme sendiri, sebab dipaksakan, sering menjadi sumber konflik dalam kehidupan bangsa Indonesia semenjak awal kemerdekaan.
Lalu apakah nasionalisme itu? Walaupun semangat persatuan bangsa Indonesia telah bertunas dalam sejarah bangsa Indonesia jauh sebelum datangnya peradaban Barat, akan tetapi pada umumnya konsep nasionalisme yang hidup dalam pikiran pemimpin dan kaum terpelajar Indonesia pada abad ke-20 mengacu pada konsep yang muncul di Eropa. Karena itu marilah kita lihat bagaimana perkembangan konsep ini di Eropa dan Amerika, sebelum membicarakan penerapannya di Indonesia.
Sebagai ideology modern di bidang social politik dan kenegaraan, nasionalisme muncul sekitar tahun 1779 dan dominan di Eropa pada tahun 1830. Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Semenjak itu beberapa kerajaan feudal mengalami proses integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’ atau nation state yang wilayahnya menjadi lebih luas dan hidup dalam system pemerintahan yang sama. Sejak itu di negara-negara Eropa dan Amerika bermunculan pula gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera menjalar ke Asia. Hal ini disebabkan ampuhnya nasionalisme sebagai ideology yang dapat mempersatukan banyak orang di negeri-negeri jajahan dalam menentang kolonialisme.
Hans Kohn, seorang ahli ethnografi atau anthropologi budaya abad ke-19 dari Jerman mengatakan bahwa apa yang disebut bangsa ialah himpunan komunitas yang memiliki persamaan bahasa, ras, agama dan peradaban. Mereka hidup dalam sebuah wilayah dan mempunyai yang sama. Suatu bangsa tumbuh dan berkembang, menurut Hans Kohn, karena adanya unsure-unsur dan akar-akar sejarah yang membentuknya. Teori yang didasarkan pada persamaan ras dan etnik dan unsur-unsur lain yang bersifat primordial agaknya kurang mendapat tempat, walaupun ada beberapa yang melaksanakannya seperti Jepang dan Israel. Serbia telah berusaha membentuk negara-bangsa seperti ini, dan di bawah Slobodan Milosevic melakukan pembersihan etnis Bosnia pada tahun 1995, namun gagal dan ditentang oleh banyak negara dunia. Jepang berhasil karena tumbuh secara natural dari sebuah kerajaan feodal kuna yang kuat dan mampu memordernisikan diri sejak dini. Tetapi warga keturunan Korea dan Cina, dianggap sebagai warganegara kelas dua di Jepang. Contoh lain ialah Israel yang didirikan berdasarkan gagasan Zionisme Raya. Sejak kemunculannya, negara ini menjadi sumber kemelut dan kekacauan di Timur Tengah hingga sekarang.
Teori lain dikemukakan oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis akhir abad ke-19. Teorinya mendapat penerimaan luas dan didasarkan atas evolusi masyarakat Eropa dalam sejarahnya hingga pertengahan abad ke-19, masa berkembang luasnya faham nasionalisme di Eropa. Evolusi yang dimaksud ialah timbul tenggelamnya bangsa-bangsa di benua itu sejak zaman pra-Sejarah hingga zaman modern. Unsur-unsur yang membentuk suatu bangsa atau negara bangsa ialah: (1) Jiwa atau asas kerohanian yang sama, berupa pandangan hidup dan system nilai; (2) Memiliki solidaritas besar, misalnya disebabkan persamaan nasib dalam sejarah; (3) Munculnya suatu bangsa merupakan hasil Dario sejarah; (4) Karena merupakan hasil suatu sejarag apa yang disebut bangsa itu sebenarnya tidaklah abadi atau kekal; (5) Wilayah dan ras bukanlah suatu peyebab timbulnya bangsa. Wilayah hanya memberi ruang untuk menjalankan kehidupan, sedangkan jiwa bangsa dibentuk oleh pemikiran, system kepercayaan, kebudayaan dan agama. Karena itu ia menyebut bangsa sebagai ‘suatu asas kerohanian yang sama’.
A. LATAR BELAKANG PEMIKIRAN KEFILSAFATAN DAN KENEGARAAN SILA PERSATUAN INDONESIA
1. Negara Nasional sebagai tuntutan Zaman
Semua pejuang kemerdekaan mencita-citakan berdirinya negara nasional Indonesia. walaupun semenjak awal terdapat perbedaan pandanga tentang negara nasional Indonesia, dari kelompok yang disebut sebagai nasionalis sekuler dan nasionalis islam, hal itu hanya menunjukan perbedaan pandangan tentang dasar nasionalisme itu sendiri. bagi nasionalis islam bukan sekedar kebebasan politik atau mendapatkan kemerdekaan dengan melepaskan diri dari penjajahan sebagai cita-cita perjuangannya, akan tetapi sekaligus membangun islam seperti masa kejayaannya. sedangkan menurut nasionalisme sekuler tujuan utama perjuangannya adalah membangun Indonesia merdeka.
Perjuangan atau usaha membentuk negara yang mandiri perlu membangun kepercayaan diri. Usaha untuk membangun kepercayaan diri di berbagai masyarakat yang ingin membentuk negara nasional adalah dengan meyakini diri mereka bahwa mereka merupakan pewaris yang sah atas kejayaan masa lampau. Keyakinan ini selain untuk membangkitkan kepercayaan diri yang telah diruntuhkan oleh kolonialisme yang menguasai masyarakat itu, juga merupakan usaha untuk menarik partisipasi masyarakat dalam perjuangan dan merupakan usaha memperoleh legitimasi atas perjuangannya.
Pergerakan nasional membutuhkan legitimasi dan kebanggaan sebagai bangsa. Tidak hanya zaman pergerakan nasional, ketika kita Belum mampu mewujudkan kebudayaan nasional , kita masih memerlukan dukungan kebudayaan masa lalu sebagai identitas dan memperkuat nasionalisme kita. Bangsa Indonesia yang telah merdeka lebih dari limapuluh tahun masih memerlukan dukungan kebudayaan masa lalu untuk membina secara terus-menerus nasionalisme warga negaranya. Pergerakan nasional yang ingin membentuk negara nasional tanpa dukungan konsep kontinuitas masa lalu ibarat berjuang tanpa modal dan sulit mendapat dukungan masyarakat. Membentuk negara nasional indonesia diiringi harapan akan mendapat kejayaan seperti, bahkan melebihi kejayaan masa lampau।Gagasan tentang kebangsaan atau nasionalisme sendiri merupakan bagian tak terpisahkan dari gerakan anti kolonial. Suatu kenyataan yang kita hadapi masa kini, dengan berakhirnya kolonialisme maka semua negara di dunia merupakan negara nasional. Muncul gagasan negara nasional bahwa telah berlaku syarat bahwasanya setiap bangsa harus membentuk satu negara, negaranya sendiri; berarti berakhirnya kolonialisme di dunia. Oleh karena itu negara nasional tidak saja sebagai muatan isi sila ketiga dari pancasila melainkan sebagai tuntutan zaman.
B. PERGERAKAN NASIONAL SEBAGAI LATAR BELAKANG HISTORIS PERUMUSAN SILA PERSATUAN INDONESIA
1. Perjuangan Menuju Terbentuknya Negara Nasional Indonesia


a. Asal Mula Sebutan “Indonesia”
Pada masa kolonial belanda, sebutan untuk orang Indonesia terjajah disebut dengan istilah “inlander” (orang pribumi) yang pada masa itu merupakan sebutan yang dirasakan sebagai penghinaan yang menjengkelkan. wilayah tanah air Indonesia disebut sebagai “Nederlandsc Indie” (Hindia Belanda). Pada awalnya para mahasiswa indonesia di negeri belanda pada tahun 1908 membentuk sebuah organsasi yang diberi nama “Indische vereniging” (perhimpunan Hindia). pada tanggal 14 April 1917 berlangsung pertemuan ramah tamah sebelas tokoh pergerakan nasional di Hotel Paulez Den Haag yang diprakarsai Indische Vereniging. Pada pertemuan itu Soejo Poetro seorang anggota Indische Veriniging memakai sebutan Indonesie (Indonesia ) sebagai pengganti kata Indie.
Pemakaian kata “Indonesia” sebagai konsep politik menunjukan suatu usaha menghilangkan atribut Belanda oleh para pejuang kemerdekaan untuk menyebut tanah airnya. Dapat dikatakan bahwa “Indonesia” sendiri merupakan kata yang menandai nasionalisme dan patriotisme para pejuang kemerdekaan
.
b. Persatuan Indonesia dan Nasionalisme
Nasionalisme sekuler dan nasinolisme Islam mempunyai persamaan pandangan tentang pentingnya persatuan dalam perjuangan. Nasonalisme Islam meyakini persatuan dapat terbentuk melalui solidarias umat Islam dan bagi nasionalisme sekuler meyakini bahwa kebangsaan itu sendiri mampu menciptakan persatuan.
Nagazumi(1986: 134) menyatakan bahwa menurut Ingleson “Perhimpunan Indonesia pada periode 1923-1930 mengalami perubahan dari organisasi mahasiswa menjadi organisasi politik. pada tahun 1925 perhimpunan Indonesia mengeluarkan Manifesto politik atau pernyataan prinsip yang menegaskan:
Hanya bangsa Indonesia yang bersatulah mampu mematahkan dominasi kolonial. Tujuan bersama itu menuntut terbentuknya massa-aksi nasionalisme yang sadar akan kekuatan sendiri.
1) Untuk mencapai tujuan tersebut dituntut secara mutlak partisipasi semua lapisan bangsa Inonesia.
2) Dalam setiap sistem kolonial pertentangan kepentingan merupakan unsur yang esensial dan dominan dan setiap usaha menembunykan unsur itu oleh penguasa kolonial perlu dihadapi oleh pihak yang dijajah dengan mempertajam dan mempertegas kontras itu.
3) Mengingat dampak penjajah yang mendemoralisasi dan merusak kehidupan fisik dan psikhis bangsa Indonesia, perlu diusahakan normalisasi hubungan rohaniah dan jasmaniah (alfian, 1998:23).
Dari manifesto-politik PI tersebut diatasdapat dikatakan bahwa persatuan Indonesia atau nasionalisme Indonesia merupakan bagian dari penyadaran akan kekuatan sendiri sebagai kekuatan utama untuk mematahkan kolonialisme di Indonesia. Popaganda anti kolonialisme dilakukan dengan berbagai macam cara dan sarana. Sarana yang dipakai oleh organisasi pergerakan nasional pada umumnya adalah dengan penerbitan buku atau majalah.
c. Pesatuan Indonesia dan Nasionalisme Indonesia
Ibrahim Alfian (1998: 24) menyatakan bahwa bentuk-bentuk organisasi sosial politik seperti kekerabatan marga dan kesukuan merupakan hasil perkembangan alamiah, sedangkan nasionalisme lebih merupakan hasil perkembangan historis. Nasionalisme merupakan transformasi pemahaman kolektivitas berdasar pengalaman kolektif dalam sejarah.pembentukan ideologi nasionaisme sebagai suatu faham yang mempengaruhi sejarah politik berkembang secara bertahap.
1). tahap pembentukan pengalaman kolektif yang dikentalkan oleh interaksi dan mobilitas byang meningkat.
2). tahap pembentukan kesadaran akan perlunya bentuk organisasi yang lebih ideal dan representative sebagai alat memenuhi kebutuhan dan alat mempertahankan eksistensi secara optimal dan berkelanjutan.
3) tahap pembentukan dan mobilitas kesadaran menjadi kemauan bersama (kolektif), serta lembaga-lembaga paranasional.
4) tahap perwujudan kesadaran (Nasionalisme) menjadi bentuk organisasi politik berupa nation-state yang memiliki wilayah, warga, pemerintah, dan segala alat /kelembagaan lain yang perlu untuk menjamin eksistensi negara bangsa yang biasanya di dahului oleh proklamasi dan pengakuan (Alfian, 1998: 24-25).
Kesadaran kolektif akan kebangsaan Indonesia terbentuk secara perlan tetapi pasti. melalui para relajar dan mahasiswa kesadaran nasional bangkit. Organisasi-organisasi sebagai institusi tandingan bagi institusi kolonial bermunculan. tahap pembentukan mobilits kesadaran menjadi kemauan bersama melalui penggabungan organisasi pemuda dan organisasi politik. pada bulan Desember 1927 terdapat kesepakatan untuk mendirikan federasi partai perhimpunan politik dengan nama PPKI (Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Organisasi pemuda bergabung dalam wadah bersama PPP( Perhimpunan Relajar-Pelajar Indonesia). Adanya konkres pemuda 1926 dan 1928 yang pada puncaknya mencetuskan sumpah pemuda menunjukan bahwa persatuan nasional sebagai kekuatan untuk melawan kolonialisme semakin teguh.bahwa sumpah pemuda itu mengeksplesitkan tekat untuk bertumpah darah, berbangsa; dan berbahasa persatuan Indonesia. Tekat tersebut dapat terealisir dengan sempurna jika terbentuk institusi negara kebangsaan yang merdeka dan berdaulat.
C. REFLEKSI ATAS MUATAN SILA PERSATUAN INDONESIA BERDASARKAN PEMBICARAAN DALAM SIDANG BPUPKI DAN PPKI
1. Perjuangan membentuk negara kekeluargaan atau gotong royong
Negara Indonesia harus disesuaikan dengan Sociale Structuur” masyarakat Indonesia yang nyata pada masa Semarang, serta harus disesuaikan dengan panggilan zaman. menurut tata negara yang asli adalah konsep “manunggaling kawulo gusti”, atau bersatunya pemimpin dengan rakyat.Sifat dari negara kekeluargaan atau gotong royong tidak mengenal konflik antara kepentingan negara dengan kepentigan rakyat. Soekarno menggambar Indonesia sebagai negara kebangsaan yang merupakan persatuan dan gotong royong semua warga.
2. Negara Nasional yang mengatasi (transendensi) kesukuan
Negara nasional menurut gagasan Soekarno adalah negara gabungan suku-suku bangsa. Kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang bulat. Soekarno juga menggunakan teori geopolitik yaitu negara nasional adalah “ persatuan antara orang dan tempat” yaitu persatuan orang dengan tanah airnya. artinya, jira orang atau bangsa indonesia bertanah air indonesia maka pemerintah yang dibentuk juga merupakan pemerintah bangsa indonesia. Tidak ada hegemoni etnis. Setiap suku mempunyai hak yang sama sebagai pemimpin pemerintahan.
Para pendiri negara berhati-hati dalam menentukan wilayah Indonesia agar jangan sampai melanggar hak bangs lain. Dengan demikian penentuan negara nasional Indonesia yang merupakan transendensi atas kesukuan berdasarkan atas kesadaran rakyat yang mempersatukan diri dalam keluarga bangsa Indonesia.
3. Negara nasional yang memiliki kejelasan batas wilayah negara
Prinsip negara nasional sebagai tuntutan politik bahwa wilayah setiap negara harus disesuaikan dengan teritori yang dihuni oleh statu bangsa. Pandangan Yamin dalam persidangan BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945, bahwa Negara Indonesia merdeka tidak dapat meniru negara kerajaan masa lampau yang tidak mempunyai daerah terbatas. Menrut Yamin negara nasional Indonesia adalah negara yang harus memiliki batas-batas wilayah yang jelas. Teritori Indonesia harus terbagi habis dalam wilayah pemerintah daerah dengan penetapan wilayah yang tegas pula.
4. Unitarisme
Pada persidangan BPUPKI Yamin menyatakan bahwa Idonesia lebih sesuai dalam bentuk kesatuan atau menganut paham Unitarisme. Ia juga menegaskan bahwa negara Kesatuan itulah yang benar-benar mewujudkan persatuan yang menjadi dasar pergerakan nasional.Unitarisme lebih menjamin persatuan dan kesatuan.pluralitas sendiri tidak dapat dilawan dengan persatuan. Artinya, dipertahankannya pluralitas masyarakat Indonesia tidak menghalangi persatuan. hal itu dapat dibuktikan, ketika pluralitas penduduk lebih menonjol dan komunikasi Sangat terbatas justru persatuan telah berhasil melahirkan bangsa Indonesia. Kesediaan Penduduk yang pluralistikm menjadi satu bangsa adalah persatuan yang nyata. Negara nasional sebagai konsep politik tidak mensyaratkan secara mutlak adanya kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional sendiri tanpa kita paksakan akan terbentuk asal kan persatuan nasional semakin menunjukan kemantapan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa isi arti sila persatuan pada waktu perumusan nya, baik pada sidang-sidang BPUPKI pertama, kedua dan sidang PPKI yaitu:
Kebangsan adalah atas kehendak untuk bersatu, Berperangai, dan bernasib yang sama; kesatuan tumpah darah atas karunia tuhan untuk bernegara kesatuan (bukan diktator, bukan negara berdasarkan kelas dan bukan negara individualis) tetapi negara semua untuk semua, satu untuk semua dan semua untuk satu, jadi bagi seluruh rakyat, dimufakati atas dasar kekeluargaan serta gotong royong, tolong-menolog dan keadilan sosial.
BAB III
MAKNA NASIONALISME
A. Nasionlisme Indonesia
Walaupun persatuan Indonesia telah bertunas lama dalam sejarah bangsa Indonesia, akan tetapi semangat kebangsaan atau nasionalisme dalam arti yang sebenarnya seperti kita pahami sekarang ini, secara resminya baru lahir pada permulaan abad ke-20. Ia lahir terutama sebagai reaksi atau perlawanan terhadap kolonialisme dan karenanya merupakan kelanjutan dari gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonial VOC dan Belanda, yang terutama digerakkan oleh raja-raja dan pemimpin-pemimpin agama Islam. Hubungan erat gerakan perlawanan kaum Muslimin dan nasionalisme ini telah diuraikan oleh banyak pakar, misalnya oleh G. H. Jansen dalam bukunya Militant Islam (1979). Namun sebelum menguraikan hubungan ini akan kita lihat dulu unsure-unsur kolonialisme yang menimbulkan semangat perlawanan terhadapnya.
Kolonialisme modern, sebagaimana diterapkan VOC dan Belanda di Indonesia mengandung setidak-tidaknya tiga unsure penting:
(1) Politik dominasi oleh pemerintahan asing dan hegemoni pemerintahan asing tersebut terhadap berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, termasuk wacana, pemikiran dan kehidupan sosial budayanya. Jadi bukan semata-mata dominasi dan hegemoni dalam kehidupan soial politik;
(2).Eksploitasi ekonomi. Setiap pemerintahan kolonial berusaha mengeksplotasi sumber alam negeri yang dijajahnya untuk kemakmuran dirinya, bukan untuk kemakmuran negeri jajahan. Rakyat juga diperas dan dipaksa bekerja untuk kepentingan ekonomi kolonial, misalnya seperti terlihat system tanam paksa (culturstelsel) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di Jawa pada awal abad ke-19 dan menimbulkan perlawanan seperti Perang Diponegoro.
(3)Penetrasi budaya. Kolonialisme juga secara sistematis menghapuskan jatidiri suatu bangsa dengan menghancurkan kebudayaan dan budaya bangsa yang dijajahnya, termasuk agama yang dianutnya. Caranya dengan melakukan penetrasi budaya, terutama melalui system pendidikan.
B. Aspek Penting Dalam Nasionalisme Indonesia
(1) Politik: Nasionalisme Indonesia bertujuan menghilangkan dominasi politik bangsa asing dan menggantikannya dengan sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat (lihat pidato-pidato Bung Karno, Hatta, dan pemimpin yang lain seperti Ruslan Abdulgani).
(2). Sosial ekonomi: nasionalisme Indonesia muncul untuk menghentikan
eksploitasi ekonomi asing dan membangun masyarakat baru yang bebas dari kemelaratan dan kesengsaraan.
(3). Budaya. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh kebudayaan luar, tetapi dengan menyesuaikannya dengan pandangan hidup, sistem nilai dan gambaran dunia (worldview, Weltanschauung) bangsa Indonesia. Juga tidak dimaksudkan untuk mengingkari kebhinnekaan yang telah sedia ada sebagai realitas sosial budaya dan realitas anthropologis bangsa Indonesia.
Ketiga aspek tersebut tidak dapat dipisahkan dalam konteks nasionalisme Indonsia (pidato Ruslan Abdulgani dalam Sidang Konstituante 1957). Pandangan ini merujuk pada pidato Bung Karno (7 Mei 1953) di Universitas Indonesia, yang intinya ialah: Pertama, nasionalisme Indonesia bukan nasionalisme sempit (chauvinism) tetapi nasionalisme yang mencerminkan perikemanusiaan (humanisme, internasionalisme); Kedua, kemerdekaan Indonesia tidak hanya bertujuan untuk menjadikan negara yang berdaulat secara politik dan ekonomi, tetapi juga mengembangkan kepribadian sendiri atau kebudayaan yang berpijak pada sistem nilai dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri yang ‘bhinneka tunggal ika’. Budaya dan agama yang dianut bangsa Indonesia merupakan sumber rujukan bagi terciptanya kepribadian bangsa Indonesia.
Dalam pidatonya itu Bung Karno mengatakan bahwa nasionalisme Indonesia tampil dalam sejarahnya didorong oleh tiga faktor, yaitu “economische uitbuilding” (eksploitasi ekonomi yang dilakukan kolonialisme Belanda), “political frustratioen” (kekecewaan politik disebabkan dominasi kekuasaan asing, yaitu kolonial Belanda) dan “ hilangnya kebudayaan yang berkepribadian” disebabkan oleh sistem pendidikan dan tiadanya hak-hak budaya bagi masyarakat Indonesia untuk melindungi dan mengembangkan kebudayaannya. Yang pertama, menghendaki sistem ekonomi terpimpin sebagai tandingan ekonomi kapitalis yang menimbulkan “lexploitation de l’homme par l‘homme” (penindasan manusia atas manusia). Sedangkan kekecewaan politik menghendaki sistem pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat (demokrasi) dan bebas dari dominasi asing.
Harus ditambahkan di sini bahwa disebabkan oleh perjalanannya itu maka komponen yang membentuk gerakan kebangsaan di Indonesia juga berbeda dengan komponen nasionalisme Eropa dan Amerika. Komponen yang membentuk masyarakat Indonesia ialah Islam, kemajemukan etnik dan budaya bangsa Indonesia dan faham-faham atau ideology Barat yang mempengaruhi perkembangnya pada abad ke-20 seperti humanisme, sosialisme, Marxisme dan marhaenisme. Komponen Islam penting, karena semangat kebangsaan mencapai bentuknya yang tersendiri di bumi Indonesia setelah diantar oleh gerakan perlawanan anti-kolonial pada abad ke-18 dan 19 yang digerakkan oleh pemimpin Islam. Gerakan-gerakan ini dijiwai oleh ajaran dan semangat Islam tentang pembebasan manusia dari perbudakan dan eksploitasi. Selain itu juga terdapat komponen penting lain berupa realitas anthropologis masyarakat Indonesia yang multi-etnik dan multi-agama, serta ideogi-ideologoi modern yang berpengaruh munculnya gerakan kebangsan pada abad ke-10. Misalnya Marxisme dan sosialisme, melengkapi komponen humanisme dan sejenisnya.
Ahli sejarah terkemuka Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa yang disebut “nation” dalam konteks nasionalisme Indonesia ialah suatu konsep yang dialamatkan pada suatu suatu komunitas sebagai kesatuan kehidupan bersama, yang mencakup berbagai unsur yang berbeda dalam aspek etnis, kelas atau golongan sosial, sistem kepercayaan, kebudayaan, bahasa dan lain-lain sebagainya. Kesemuanya terintegrasikan dalam perkembangan sejarah sebagao kesatuan sistem politik berdasarkan solidaritas yang ditopang oleh kemauan politik bersama” (dalam “Nasionalisme, Lampau dan Kini” Seminar Tentang Nasionalisme 1983 di Yogyakarta).
Pengertian yang diberikan Sartono Kartodirdjo didasarkan pada perkembangan sejarah bangsa Indonesia dan realitas sosial budayanya, serta berdasarkan berbagai pernyataan politik pemimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, seperti manifesto Perhimpunan Indonesia dan Sumpah Pemuda 1928. Unsur-unsur nasionalisme Indonesia mencakup hal-hal seperti berikut:
1. Kesatuan (unity) yang mentransformasikan hal-hal yang bhinneka menjadi seragam sebagai konsekwensi dari proses integrasi. Tetapi persatuan dan kesatuan tidak boleh disamakan dengan penyeragaman dan keseragaman.
2. Kebebasan (liberty) yang merupakan keniscayaan bagi negeri-negeri yang terjajah agar bebas dari dominasi asing secara politik dan eksploitasi ekonomi serta terbebas pula dari kebijakan yang menyebabkan hancurnya kebudayaan yang berkepribadian.
3. Kesamaan (equality) yang merupakan bagian implisit dari masyarakat demokratis dan merupakan sesuatu yang berlawanan dengan politik kolonial yang diskriminatif dan otoriter.
4. Kepribadian (identity) yang lenyap disebabkan ditiadakan dan dimarginalkan secara sistematis oleh pemerintah kolonial Belanda.
5. Pencapaian-pencapaian dalam sejarah yang memberikan inspirasi dan kebanggaan bagi suatu bangsa sehingga bangkit semangatnya untuk berjuang menegakkan kembali harga diri dan martabatnya di tengah bangsa-bangsa lain di dunia.
BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan dengan menggunakan pemikiran Notonagoro bahwa nasionalisme dalam konteks Pancasila bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika).Yang memiliki Unsur-unsur untuk membentuk nasionalisme Indonesia :
1. Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang dibentuk dalam perjalanan sejasrahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya, Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga akhirnya muncul penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka nasionalisme mula pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1945 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
2. Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan dan perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan bersama-sama, sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dapat memproklmasikan kemerdekaan menjelang berakhirnya masa pendudukan tentara Jepang.
3. Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda, namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang serumpun dan mempunyai kaitan dengan agama-agama besar yang dianut bangsa Indonesia, khususnya Hindu dan Islam.
4. Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari penghidupan di wilayah yang sama yaitu tumpah darah Indonesia.
5. Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang berakar dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri di masa lalu maupun pada masa kini.
Dalam kaitannya dengan bentuk pemerintahan atau negara, Soepomo dan Mohamad Yamin mengemukakan agar bangsa Indonesia menganut faham integralistik, dalam arti bahwa negara yang didiami bangsa Indonesia merupakan suatu kesatuan integral dari unsur-unsur yang menyusunnya. Faham integralistik mengandaikan bahwa negara harus mengatasi semua golongan, tidak memihak pada mayoritas. Tetapi dalam kenyataan justru inilah yang menimbulkan masalah, karena kemudian yang terjadi adalah Tirani Minoritas dalam berbagai hal, termasuk dalam wacana kehidupan berbangsa, pemikiran dan ideology. Notonagoro di lain mengusulkan agar NKRI menjadi negara yang berasaskan kekeluargaan dalam persatuan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
- Lerner,1919. The Economics of Control
- “Nasionalisme, Lampau dan Kini” Seminar Tentang Nasionalisme 1983 di Yogyakarta
- G. H. Jansen,1979.Militant Islam
- Friedrich Razel, 1987. Political Geography
- .Sudaryanto, 2008, Filsafat Politik Pancasila

Kamis, 27 November 2008

WORKSHOP BEDAH FILSAFAT NUSANTARA

NOTULEN
Acara : Workshop “Bedah Filsafat Nusantara”
Menggali Tradisi Merumuskan Metodologi
Hari/ Tanggal : Jumat / 28 November 2008Tempat
Waktu : 09.00- 15.00 WIB
Hadir : 45 Peserta
Acara : 1. Pembukaan
2. Sambutan
3. Permasalahan/Pembahasan
4. Pertanyaan dan Tanggapan
5. Penutup
Jalan Acara :
1. Pembukaan Ketua Panitia oleh Sdr. Khudzolli
2. Sambutan dari Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin (dekan Fakultas Filsafat UGM)
Alasan mengkaji Filsafat nusantara:
a) Suatu kondisi objektif bahwa studi filsafat nusantara belum disentuh oleh para cendikia Indonesia.
b) Perkembangan kelembagaan.
Saat ini banyak peneliti dari negara lain mempelajari objek material budaya Indonesia akan tetapi pribadi masyarakat Indonesia belum dipahami oleh para peneliti dari negara lain tersebut sehingga studi yang dilakukan dangkal dan kering karena belum menyentuh pada nilai-nilai luhur dari bangsa Indonesia
c) Kepentingan Praktis.
Studi kefilsafatan ini diharapkan dikemas semenarik mungkin sehingga dapat dijual dan dapat menjadi orientasi bagi fakultas Filsafat UGM
Tujuan workshop: terbukanya bank data/ bank proposal yang dapat dikumpulkan menjadi referensi bagi studi filsafat nusantara selanjutnya.
3. Permasalahan/Pembahasan
a. Pembahasan pada Workshop “Bedah Filsafat Nusantara” diawali oleh Keynote Speaker, Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin. Dr. Mukhtasar menegaskan bahwa pemikiran Filsafat Nusantara perlu direkontrtuksi karena menurut beliau saat ini ada asumsi-asumsi yang harus dibangun kembali.
Orang mungkin bertanya mengapa menggunakan term “Filsafat Nusantara”, bukan “Filsafat Indonesia”. Hat ini karena term “Nusantara” melambangkan kekhasan yang membedakan budaya Indonesia dengan budaya bangsa lain bahkan dengan bangsa serumpun seperti Malaysia sekalipun. Misalnya: Reog ponorogo yang beberapa waktu lalu menjadi bahan pembicaraan karena di-klaim sebagai budaya Malaysia. Sebenarnya kontroversi ini dapat diselesaikan dengan menganalisis runtut sejarah asal-mula budaya reog tersebut dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya. Malaysia bisa saja memainkan tarian reog tersebut sefasih dengan yang dilakukan oleh orang Ponorogo akan tetapi tidak mampu menunjukan nilai-nilai yang melatarbelakangi budaya reog ini diciptakan karena budaya ini khas Indonesia dimana budaya tersebut diciptakan sesuai nilai-nilai yang diyakini masyarakat setempat yakni masyarakat Ponorogo yang tidak terdapat di daerah lain.
Contoh lainnya adalah karya sultan Hamengkubuwono tentang Filsafat Indonesia akan tetapi isinya tentang Filsafat Nusantara khususnya budaya Jawa yang khas.
Inti dari filsafat Nusantara yakni, objek formalnya Nusantara; sedangkan objek materialnya Budaya Indonesia Filsafat Indonesia identik dengan filsafat pancasila (formalitasnya), pancasila adalah bagian dari kenusantaraan yang secara ilmiah harus dibedakan. Dalam mencetuskan pikiran (mind/ filsafat) ataupun badaya Indonesia, keduanya bersatu (diaektika ) menjadi civillization, Nusantara. Tamalaka lebih mengkaji “mind” daripada budayanya. Civillization lebih kuat untuk disebut civillization Nusantara dari pada civillization Indonesia.
Budaya Islam dengan budaya Hindu saling melengkapi dalam sejarah terbentuknya budaya nusantara. Budaya Nusantara adalah hasil sinkretisme antara nilai-nilai keagamaan dengan budaya Indonesia. Oleh karenanya tidak mudah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Untuk memperdebatkan landasan Sila Pertama dicetuskan adalah melalui sejarah sinkretisme. Nusantara tidak tunggal dari dimensi budaya dan juga dari dimensi religius.
Local jenius merupakan penanda yang menunjukan identitas yang berbeda dengan suku bangsa yg lain. Dengan perspektif local jenius dapat diketahui bahwa secara epistemologi Nusantara tidak sampai wilayah Malaysia, Singapura, Thailand dan sebagainya. Meskipun secara politik dalam sejarah sama tapi yang membedakan Indonesia dengan negara lain adalah local jenius. Misalnya: Ramayana Indonesia berbeda dengan Ramayana India. Meskipun objek materialnya sama-sama tari ramayana tapi objek formalnya berbeda. Objek formal yakni local jenius “aku adalah aku” dalam kaitannya dengan Epistemologi, Metafisika dan Axiologinya yang membedakan antara kita dengan yang lain.
Dengan demikian Sistematika Pemikiran Filsafat Nusantara terdiri dari 3 pilar jati diri yaitu:
1) Pilar Ontologis.
Pilar Ontologis disini adalah manusia Indonesia yang terdiri atas jiwa dan raga ke-Indonesiaan. Penduduk Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang diakui secara formal, mempunyai tradisi yang khas Indonesia, mempunyai karakter-karakter manusia Indonesia yang tercermin dalam objek materialnya. Kerangka Ontologis ini tercermin pula dari karya-karya sastra Indonesia. Misalnya: Karya Hamzah, tasawuf Aceh berbeda dengan tasawuf Arab.
2) Pilar Axiologis.
Pilar Axiologis adalah nilai-nilai luhur Indonesia yang ramah-tamah gotong-royong, nilai estetik Indonesia yang khas yang membedakan dengan bangsa lain. Misalnya: Reog, nilai-nilai yang melatarbelakanginya berasal dari nilai bangsa Indonesia yang berbeda dengan Malaysia.
3) Pilar Epistemologis
Pilar Epistemologis mencakup pengetahuan dan sejarah asal-muasal terbentuknya budaya tersebut.
Ketika pilar tersebut dapat digali dengan metodologi hermeutika yang diolah sacara filosofis.
b. Pembahasan atas permasalahan dalam membedah Filsafat Nusantara yang telah disampaikan oleh Dr. Mukhtasar dilanjutkan pemaparan metode yang bisa digunakan yang disampaikan oleh narasumber pertama yakni Dr. Joko Siswanto dengan judul “Mungkinkah Hermeuika Menjadi Metode Untuk Membedah Filsafat Nusantara”
Untuk menggali Filsafat Nusantara dapat secara antroposentris, lokosentris, dramakosentris, tradisi Indonesia dan lain sebagainya. Misalnya: wayang, tradisi minang dan lain sebagainya.
Dr. Joko Siswanto menjelaskan bahwa ada persoalan mendasar dalam membedah Filsafat Nusantara terkait pendekatan yang digunakan. Menurut beliau, ada dua pendekatan yang mungkin dipakai. Pertama, Filsafat nusantara sebagai “ Genetivus Objektivus” (Philosophy of Nusantara).Pendekatan ini merupakan tradisi metode barat. Kedua, Filsafat Nusantara sebagai “ Genetivus Subjektivus” (Nusantara Philosophy). Pancasila philosophy, semestinya menggunakan metode ini.


Dr. Joko Siswanto selanjutnya menjelaskan tentang asumsi-asumsi hermeneutika. Asumsi dasar teori hermeneutika adalah bahwa pembaca teks tidak memiliki akses langsung kepada penulis atau pengarang teks karena perbedaan ruang, waktu, dan tradisi. Asumsi Kedua, Hermeneutika sebagai “fenomena khas manusia”. Asumsi Ketiga, Hermeneutika adalah watak dasar manusia. Penjelasan lebih lengkap atas asumsi-asumsi ini telah terlampir pada paper beliau.
Beliau juga menjelaskan dimensi-dimensi hermeneutika yakni: to say, to explain dan to translate yang penjelasannya juga telah terlampir.
Dari penjelasan awal ini dapat disimpulkan bahwa Hermeneutika menunjuk pada tiga hal pokok:
- Pengucapan lisan (an oral ricitation)
- Penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation)
- Terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language)
Selanjutnya, Dr. Joko Siswanto menjelaskan enam perkembangan Hermeneutika sebagai metode. Pertama, Hermeneutika sebagai teori mengenai tafsir Al-kitab. Kedua, hermeneutika sebagai metode filologi. Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang pemahaman linguistik (linguistic understanding). Keempat, Hermeneutika sebagai dasar metodologi bagi Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu kerohanian). Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi tentang Dasein. Keenam, Hermeneutika sebagai sistem interpretasi fenomenologi.
Pada pembahasan oleh narasumber pertama ini juga dijelaskan dua model dari bentuk-bentuk Hermeneutika kontemporer. Pertama, bentuk-bentuk hermeneutika kontemporer model Bleigher yakni: Hermeneutika sebagai teori, Hermeneutika sebagai Filsafat, dan Hermeneutika sebagai kritik. Kedua, bentuk-bentuk Hermeneutika kontemporer model Howard yakni: Hermeneutika Analisis, Hermeneutika Psikososial, dan Hermeneutika Ontologis.
Dr. Joko siswanto juga menjelaskan kaidah-kaidah Hermeneutika serta langkah-langkah dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode Hermeneutika ini. Langkah-langkah tersebut yakni:
a). Merumuskan dan mensistemasikan data empiris.
b). Menemukan filsafat yang tersembunyi dibalik data empiris dengan tetap memperhatikan data baku.
c). Membuat kategorisasi atas filsafat yang telah ditemukan sekaligus dibuat perbandingan dengan aliran konsep filsafat yang mapan.
d). Merumuskan kesimpulan dan memberikan rekomendasi konkrit.
c. Sesi Pertama ini dilanjutkan oleh narasumber kedua yakni Dr. Argo Twikromo dengan topik bahasan “Kerja Lapangan dalam Antropologi”
“Setiap kebudayaan mempunyai seperangkat aturannya sendiri bagi manipulasi politik dan memiliki bahasa kebijaksanaan dan tindakan politinnya sendiri”. (Bailey, 1970:60)
Dr. Argo Twikromo menjelaskan tentang apakah itu Kerja Lapangan, bagaimana Melakukan Kerja Lapangan, Observasi Partisipasi, Wawancara, Beberapa Pedoman Untuk Wawancara Etnografi, Suatu Kejadian Problematis ketika melakukan kerja lapangan, Teknik Pengumpulan Data Tambahan, yang harus dilakukan Setelah Pengumpulan Data, “Perasaan sakit” dari Kerja Lapangan, Karakteristik Culture Shock, Tanda-tanda Culture Shock, Perjalanan Ideal seorang Antropolog, Etika dan Antropologi, Wawancara etnografi,dan Memilih suatu Teknik Pengumpulan Data. Penjelasan tentang hal-hal tersebut telah secara jelas dipaparkan dalam lampiran materi dari beliau.
Dr. Argo menjelaskan bahwa manipulasi lokal secara politik sangat kuat sehingga kearifan harus diperhatikan lebih jauh. Dalam kerja lapangan, kita harus mengeksplorasi data dari tangan prtama,. Sebagai peneliti harus hati-hati, waspada dan kritis dari kondisi lingingkungan setempat. Kerja lapangan menurut beliau, paling singkat idealnya satu tahun. Ketika kembali ke lingkungan kita semula setelah meneliti, perlu penyesuaian kembali karena biasabya merasa aada sesuatu yang hilang.
4. Pertanyaan dan Tanggapan
* Dr. Joko Siswanto
a) Ibu Iva:
1) Menjadi reengkarnasi?, kalo menjadi proyek bagaimana?
2) Interpretasi sehingga bersifat Subjektif, berkaitan dengan waktu atau sejarah, apakah kita berarti menginterpretasikan kesimpulan semua orang?
3) Apakah perlu kita merumuskan metodologi yang tepat untuk menggali Filsafat Nusantara atau kita melihat objek material, kita teliti, kita gali baru menarik kesimpulan tentang metode yang telah kita pakai?
Jawaban dari Dr. Joko Siswanto: hermeutika tidak hanya teks tetapi juga gagasan orang, pemahaman orang berbeda tetapi sah untuk diinterepretasikan. Banyak metode dalam filsafat, ketika pemilihan metode berarti kita sudah memiliki asumsi ontologis. Misalnya memilih metode hermeneutika berarti orang tersebut sudah memiliki asumsi ontologis bahwa realitas adalah “teks”, fenomenologi (realitas =fenomen, show up pada diri sendiri). Metode yang kita pakai mengikuti objek yang kita teliti. Jadi harus disesuaikan.
b). Bpk. Sunjaya: Bagaimana mengamati konteks dengan berbagai tafsir?
Jawaban dari Dr. Joko Siswanto: Peneliti berhak memilih, supaya tidak subjektif maka harus konstektual.
c). Bpk. Febri :
1) Budaya lesan lebih dominan, teks dan konteks berbeda interpretasi, langkah apa yang harus dilakukan agar orang luar tidak lepas dalam menginterpretasikan?
2) filsafat yang lahir dari local wisdom menjadi way of life, tetapi ketika berkaitan dengan way of thinking susah mengkajinya?
3)kajian selama ini lebih di klaim sosiologis daripada filsafati?
Jawaban dari Dr. Joko Siswanto:
1) Teori yang kita bangun dalam penelitian Minang Kabau masih memakai teori Barat. Fil Nusantara lebih banyak dari segi aksiologi tetapi sulit dalam dipahami dari segi ontologi dan epistemologi Filsafat Nusantara atau filsafat Pancasila. Misalnya: Noto Nagoro dalam menerangkan dimensi ontologis Pancasila masih memakai dimensi Aristotelian.
2) Sosiologis dan antropoligis menjadi data lalu menggali makna dibalik data itu agar jelas bahwa ini merupakan penelitian filsafat. Ketika membedah data sosiologi dan antropologi berkaitan simbol akan muncul reduksi. Sebaik mungkin jangan terlalu reduktif. Abstraksi adalah metode Aristotelian.
d). Tanggapan dari Ibu fadillah: Dalam krya tulis karya ilmiah Filsafat UIN atau Filsafat agama maka aspek teologis muncul karena Filsafat Nusantara adalah sintesis antara Filsafat religi dengan budaya. bagamana bisa di hilangkan?
Jawaban dari Dr. Joko Siswanto: setuju
e). Tanggapan dari Ibu Iva: Filsafat adalah jiwa maka ketika kita berbicara Antropologi atau sosiologi maka supaya nampak filsafatinya adalah dengan cara membelokan kearah filsafat.
f). Bagaimana kita menganalisis metode yang akan kita pakai?
Jawaban dari Dr. Joko Siswanto: Metode mengikuti objek materialnya, jadi kalau objek materialnya reasoneble untuk dikaji dengan metode herumatika (Objek material dalam bentuk “teks”) maka layak menggunakan metode ini dalam penelitian kita. Yang perlu digarisbawahi adalah tidak semua objek material Filsafat Nusantara dapat dikaji dengsn menggunakan metode Hermeneuteika
* Dr. Argo Twikromo
a)Bagaimana jika ternyata Data yang ditampilkan secara semu dari informan, tidak 100% sesuai dengan kenyataan, peneliti hanya menjelaskan hal-hal tertentu. Banyak manipulasi yang dilakunan oleh informan dan peneliti itu sendiri.
Jawaban dari Dr. Argo Twikromo: Data semu dari Informan itu adalah hal biasa, yang terpenting untuk meminimalisir hal itu adalah dengan makukan pendekatan, cek dan ricek sehingga kita bisa mendapat kejujuran dari informan. Supaya kita akrab dan menemukan data sebenarnya memerlukan dana dan waktu. Kalau sudah akrab bisa kita gunakan untuk menggali data.
Memang peneliti juga memanipulasi. Tetapi tujuaannya adalah kita harus mendapatkan data sesuai dengan kenyataan. Kita melihat realita disana, kita sebagai peneliti harus jujur, bebas dari kategori strata sosial. Kita harus pandai-pandai dalam memilah hal tersebut. Waktu penelitian yang cukup juga akan menentukan kualitas.
b) Bagaiman menghindari bias data dari informan? selain masalah waktu bagaimana cara kita bisa menghindari bias-bias elit dan manipulasi data?
Jawaban dari Dr. Argo Twikromo: Pendekatan terhadap elit, pendekatan politik, siapa kawan dan lawannya harus kita pahami lalu kita meng-counter atau mericek terhadap data awal kemudian memberi hipotesa awal hingga kita menemukan hipotesa yang sesungguhnya.
Sebagai contoh:
v Informan berkata: “Lelaki Sumba harus mempunyai banyak hewan ketika hendak kawin”.
Tetapi data tersebut tidak 100 % karena ternyata tidak harus mempunyai hewan asalkan anaknya kelak menjadi hak istri.
v informan berkata: “Puha harus 150 ekor”
Padahal sebenarnya yang dibayar Cuma 60 ekor.
Oleh karena bias-bias tersebut maka kita harus menggali secara terus menerus dan tidak membatasi informan hanya pada kaum elit tetapi juga kaum pinggiran harus kita garap dilapangan.
Mana yg murni dan mana yang manipulasi tidak ada yang pasti. Misalnya: “Asli Jawa” yg mana? tradisi-tradisi lesan harus dikatakan jujur dan jelas. Kita tidak pernah tahu manipulasi atau bukan, maka jangan hanya menjadikan satu orang sebagai acuan untuk dijadikan informan. Jangan sampai penelitian kita dimanfaatkan untuk keuntungan mereka pribadi. Misal: oleh Bupati dari daerah yang kita teliti.
Asli atau tidak tidak penting tetapi yang lebih penting adalah apakah tradisi tersebut masih men-suport kondisi kekinian atau tidak, mencukupi kebutuhan hidup masyarakat tidak? Kebudayaan bersifat dinamis. Budaya Jogja sekarang ada Mall, Ada yang pake blangkon, ada yang tidak.
c) Mbak sherly: Saya melakukan Penelitian bersih desa. Akan tetapi saya mempunyai kendala karena berbeda bahasa, kesulitan yang lain adalah ketika Informan hanya memberiakn informasi yang baik-baik saja. Penelitian saya sempat terhenti karena latar belakang bersih desa itu tidak diketahui oleh sesepuh/ penduduk setempat?. Misalnya: mengapa semua dilakukan laki-laki? mereka hanya menjawab “tidak tahu”. Mereka tidak mengkritisi apa yg mereka terima selama ini.


Jawaban dari Dr. Argo Twikromo: Yang terpenting, bagamana kita mengakrabinya, mendekatkan lagi hubungan, persaudaraan kita bagun lagi, pertanyaan kita tanyakan pada kita dulu, dalam proses budaya itu ternyata diwariskan secara tidak sempurna sehingga alasan-alasan itu tidak perlu di ketahui. Yang kedua, bagaimana kita menginterpretasikan kasus itu dengan kondisi kemasarakatan yang lain. misalnya: bagamana sudut pandang gender di lingkungan tersebut, dari akar sejarah hal tersebut dilakukan.
d) Sejarah dan latar belakang tidak diungkap. Maka kita harus menghubungkan antara kebiasaan setempat. Indonesia bagian Timur tidak banyak yang di teliti. Potensi konfik sangat tinggi karena suku yang berbeda. Dalam penelitian sulit merumuskan penelitian yang khas, letak georafis juga menjadi persoalan. Bagaimana strategi menerapkan metode yang pas sesuai persoalan yang ada. Dalam wacana prural ternyata dipaksakan antara budaya satu dengan yang lain yang nyata berbeda.
jawab: Orang-orang sering mengabaikan wilayah tertentu karena menganggap tidak punya SDA, konflik-konflik kemungkinan jarang terjadi sehingga relasi-relasi antar suku tidak banyak terjamah. Mungkin bisa diawali oleh penelitian yang dilakukan orang lokal yang mempunyai kesadaran karena mendapatkan pendidikan di daerah lain. misalnya: Anak Ambon kuliah di UGM.
Kita harus mengawali penelitian yang belum dilakukan oleh orang lain. Strateginya adalah dengan pemahaman melalui riset agar banyak di baca orang. misalnya: daerah Pare, JATIM banyak dibicarakan karena banyak konflik. Maka kita berstrategi me-manage relasi-relasi itu. Biasanya kalau ada konflik baru direspon atau diteliti.
e) Observasi partisipasi mengandung kelemahan jadi apakah dapat dipertahankan untuk mendapatkan data objektif, misalnya: peneliti meneliti hakekat manusia. Adanya penelitian pernikahan rakyat dengan kepala adat?
Jawaban dari Dr. Argo Twikromo: Subjektivitas bukan masalah, karena peneliti adalah ukuran. Bisa mengungkapkan dan menggambarkan masyarakat di daerah tertentu melalui kasus yang kita angkat. Kita ikut bermain didalamnya pun bisa. Tantangan kita adalah kejujuran kita. yang paling mengerti kejujuran terhadap karya kita adalah kita sendiri.
obyektivitas terjamin. Riset pemerintah gagal dengna legitimasi kualitatif tetapi ukurannya adalah kejujuran apapun itu, kualitatif maupun kuantitatif. Kejujuran kita mengarah pada obektivitas.
f) Anggun: Reog budaya Malaysia, Rendang Padang juga? lokal wisdom, pada daerah tertentu kita gali untuk diaplikasikan tetapi yang kita temui adalah kebobrokan.
Jawaban dari Dr. Argo Twikromo: minimal kita itu. Kan jarang diajarkan untuk mencintai kebudayaan kita. Praktek susah karena tidak pernah kita gunakan. Yang menjadi center adalah kebudayaan kita. Dari kecil anak di Belanda sudah dikenalkan museum tetapi di negara kita tidak demikian. Sentence membentuk kebudayaan Indonesia kedepan yang local ini atau mau kebudayaan baru?
Masing-masing kebudayaan memiliki local wisdom tetapi tidak bisa dipungkiri pula adanya local manipulaton. Yang harus kita cari adalah apa dibalik local wisdom itu masih relevan atau tidak? atau bisa jadi data pendidikan. Jangan dipaksakan kalo tidak layak pakai apalagi kita pakai untuk politik.
Kebudayaan Nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Dari yang berbeda kita bisa analisa agar memberikan warna, ada kaitannya antara kebudayaan satu dengan yang lain melalui sejarah atau lingkungan, satu pulau misalnya. Tetapi kalau di integralkan maka akan repot karena puncak-puncaknya hanya dipilih sebagian saja. Jika demikian, maka akan ada kecemburuan sosial
5. Penutup
Yogyakarta, 28 November 2008
Pemimpin Acara Notulis1
Nama... Muzdakir Muhlisin
Notulis2
Bimo Trianggoro W
________________________________________________________________________
NOTULEN
Acara : Workshop “Bedah Filsafat Nusantara”
Menggali Tradisi Merumuskan Metodologi
Hari/ Tanggal : Sabtu / 29 November 2008
Tempat : Ruang Sidang Gedung C Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta
Waktu : 09.00- 12.00 WIB
Hadir : 45 peserta
Acara : 1. Pembukaan
2. Pembahasan
3. Pemaparan abstraksi peserta
4. Pertanyaan dan tanggapan
5. Penutup
Jalan Acara :
1. Pembukaan (dibuka oleh...)
2. Pembahasan:
a. Workshop sesi ke-2 ini diawalai oleh pemaparan oleh Narasumber Dr. P. M. Laksono. Apakah Filsafat Nusantara berwujud kapitalistik atau “kantong bolong?”
Nusantara tidak sama dg Indonesia. Soekarno mengklaim menjadi penyambung lidah rakyat, rakyat bagian dr retorika, sejarah dan budi bahasanya. Sedangkan Soeharto sangat peduli dengan uang. Ia mengedepankan asas kekeluargaan, Rakyat = keluarga.
Pada persoalannya, perbedaan cara pandang dalam memahami suatu perspektif. Filsafat nusantara pernyataan kenyataan yang obyektif (seperti Sukarno) atau subyetif (seperti Soeharto)?. Hal tersebut digambarkan oleh Dr. Laksono dengn kasus ketika Soeharto dituduh anak petani yang tidak baik, maka Soeharto langsung mengumpulkan Pers. Sedangkan Sukarno ketika dituduh keturunan Belanda, ia menanggapi dengan cara yang berbeda. Dalam kasus ini menurut Dr. Laksono, Soeharto tidak memandang dimensi masa lalu dan masa depan yang penting kebutuhan saat ini terpenuhi. Sebaliknya, Sukarno sangat mementingkan masa lalu dan masa depan. Ini berarti ada sudut pandang yang berbeda dalam memahami Indonesia.
Keyakinan dasar paradigma penelitian alternatif pada tabel merujuk pada;
Aras ontologis, realitas yang ada pada realisme naif dalam positivisme dan dapat dipahami sebagai pernyataan kehidupan sehari-hari ataupun realisme kritis (post-positivist) ataupun historis (teori kritis) serta (relativisme dlm dekonstruksi).
Aras epistemologis, mengacu pada temuan-temuan yang benar dalam dualis yang dimodifikasi, temuan yang termediasi nilai, serta temuan yang sudah diciptakan.
Aras metodologi, eksperimental, menguji mentalitas yang terverifikasi hipotesis dan metode yang kwantitatif, adapun yang sudah dimodifikasi yang mellibatkan metode kualitatif, dialogis/dialektika, dalam konstruktivisme menggunakan metode hermeneutik/ dialektik.
b. Narasumber kedua pada sesi ini adalah Dr. Arkom Kuswanjono.
Tinjauan mengenai metode penelitian, Dr. Arkom Kuswanjono memaparkan materi yang berjudul “Metode Penelitian Kepustakaan Filsafat” yang sudah terlampir dalam pembahasan dalam workshop.
Membahas tentang penelitian kepustakaan yang membatasi kegiatannya hanya pada koleksi pustaka saja tanpa melakukan riset lapangan.
Peneliti berhadapan langsung dengan teks yang bukan kejadian langsung dengan saksi mata sehingga memiliki kelemahan teks tersebut tidak sesuai dengan realitas saat ini.
Dalam penelitian ini, peneliti memiliki pengaruh yang kuat, sehingga ada kemungkinan terjadinya kesalahan dalam studi literatur yang diantaranya, terlalu banyak mengadalkan sumber sekunder daripada primer. Jika dikaitkan dengan penelitian yang berkaitan dengan fakta sejarah, maka sangatlah multi-tafsir karena nilai sejarah tersebut tergantung pada sudut pandang penulisnya. Untuk meminimalisir kesalahan yang ada, perlu disusun strategi dan langkah-langkah dalam penelitian kepustakaan supaya tepat dan akurat.
3. Pemaparan abstraksi peserta
Abstraksi Bpk. Febri tentang “Epistemologi Minang Kabau”
Paradigma Filsafat Barat yang popular sebagai psiko-analisis dijadikan metode untuk local wisdom. Objek materi yang diteliti adalah budaya minang yaitu ptata-ptiti. Objek formalnya adalah epistemogi. Filsafat sebagai way of life bukan way of thinking seperti Barat. Minang merupakan etnis yang unik ditinjau dari sisi kekrabatan paranial. Terjadi degradasi nilai dan norma agama. Minang dianalogi sebagai sumur dengan sumber air jernih tetapi sekarang menjadi timbal (budaya rantau). Budaya minang lebih menonjol sebelum Islam masuk. Ketika Islam masuk terjadilah perpaduan norma adat dengan norma agama. Local wisdom dimaknai bagamana melihat alam dengan konteks syarat qouniyah. Petata-petiti adalah konsep tidak baku tetapi dinamis karena pada satu sisi bersifat universal ( berlaku sepanjang masa) dan yang partikular (ketentuan-ketentuan yang universal dapat diterjemahkan). Akan tetapi dalam bidang politik sekarang kurang digali.
Jawaban dari Dr. P. M. Laksono: Minangkabau yang mana? studi lapangan dikaitkan dengan studi epistemologi meneliti kehidupan sehari-hari? Petata-petiti itu ungkapan hidup sehari-hari, hidup sehari-harinya ranah politik. Mulailah dari sesuatu yang tidak tunggal. Jawa dan minang tidak tunggal. Peneliti yang menunggalkan dalam studi pustakanya. Membayangkan epistemogi minang hanya personal itu omong kosong. Meneliti epistomologi minang semestinya dengan pendekatan positivistik. Penelitian saudara memberikan pemikiran kritis atas kepalsuan-kepalsuan sejarah tetapi buat apa? Sekarang yang berharga adalah yang palsu. Tetapi kan digunakan untuk menutup ketelanjangan-ketelanjangan nilai. Ada problem dalam dimensi waktu/ historisitas pada penelitian saudara terkait epistemologi. Positivistik dimensi waktu flat. Penelitian saudara bukan kajian reflektif tapi kajian ideologis.
4. Pertanyaan dan tanggapan
a) Tanggapan Dr. Arqom terhadap jawaban Dr. P. M. Laksono pada abstraksi peserta: kritik metodologi filsafat secara umum belum mendapatkan bentuk yang tentu. Sejarah aspek dialektika dapat di contoh. Kalau pilihannya epistemologi maka pandangan epistemologi harus lebih kuat masalah sumber ilmu seperti apa? kepustakaan harus diperkuat baru direfleksikan. Penelitian ini semoga bisa menjadi tawaran, jawaban baru bukan hanya barat sentris seperti ini. Kritik terhadap epistemologi saat ini juga bahwa epistemologi tidak hanya diperoleh dari empiris tapi dari sumber lain.
b) Segi pluralisme, perbenturan nilai-nilai moral. misalnya: jawa dan batak. Dalam perspektif moral Nusantara mana yang dipakai?
Jawaban Dr. Arqom: jangan digabungkan/ disintesiskan tapi Filsafat Nusantara hanya sebagai wadah saja. Yang ada filsafat yang lebih khusus yaitu filsafat Batak dan sebagainya. Konflik tadi bukan ranah filsafat tapi sosial atau yang lainnya. Tidak semua dapat difilsafatkan. Dikaji dulu objeknya lebih baik diteliti dari ranah mana, peneliti mestinya mengambil jarak dari objek yang di teliti. Jadi kalo orang Jawa jangan meneliti Jawa tetapi yang lain agar lebih objektif dsb.
c) Bpk. Ari: filsafat banyak cabangnya, ilmu filsafat sebenarnya luar biasa. Filsafat itu rasional, ilmiah bukan imajinasi. Membangun dialektika antar dimensi ilmu sangat penting tidak harus dengan antropologi (mengkaji manusia dengan lingkungan saja). Kalau berbenturan dengan ilmunya maka akan langsung ditolak, semisal masalah metafisika.
Tanggapan Dr. Arqom: antropolog itu segalanya serba fokus dan harus jelas formulasinya. Ada wilayah yang berbeda dengan kita, jadi maklum aja. Antropolog biasanya berlandaskan Auguste Comte. Konsep tentang kedalaman penelitian berbeda. misalnya: sastra datanya harus lengkap tetapi filsafat tidak perlu banyak-banyak yang penting dianalisis secara mendalam menyeluruh.
yang penting membut alur logis. penelitian di nilai oleh subjek lain / diuji secara intersubjektif sehingga ditemukan fakta. Paradigma mempengaruhi sikap dan lain-lain.



GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search