Minggu, 19 April 2015

ETIKA DISKURSUS BAGI MASYARAKAT MULTIKULTURAL

ETIKA DISKURSUS BAGI MASYARAKAT MULTIKULTURAL:

Oleh: Supartiningsih[1]



Pembuka Wacana
            Dewasa ini, pembicaraan mengenai hidup bersama pada masyarakat yang multikultural menjadi topik yang tak kunjung selesai dibahas. Banyak pandangan yang ditawarkan untuk memberi rambu-rambu bagaimana hidup bersama harus ditata. Tentu munculnya berbagai pandangan itu tak dapat dilepaskan dari latarbelakang dan pengalaman subjektif yang berbeda-beda. Dalam konteks ini, ada hal yang biasa muncul, yakni tawar-menawar, kompromi, konsensus; bahkan juga konflik, dominasi dan pemaksaan.

            Heterogenitas masyarakat multikultural seringkali menyangkut perbedaan mengenai apa yang dipandang sebagai “hidup baik”. Etika yang berlaku internal dalam satu kelompok belum tentu saling sesuai dengan kelompok lain. Persoalan multikulturalisme terletak pada mencari dasar yang bisa menjadi alas berdirinya kepentingan umum. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana klaim kepentingan umum itu dapat dipertanggungjawabkan. Masyarakat modern demikian massif dan kompleks sehingga sulit memikirkan ide mengenai ‘masyarakat’ sebagai satu keseluruhan. Kritik metanaratif yang digulirkan oleh kalangan postmodernis semakin membuat status ontologis dari kepentingan umum makin meragukan.
            Dalam masyarakat multikultural, setiap kelompok memiliki adat kebiasaan, cita-cita dan nilai-nilai hidup yang berbeda. Yang sering terjadi adalah bahwa setiap kelompok cenderung menganggap kelompoknya berhak atas klaim kebenaran absolut. Paradigma “orang kita-orang asing” merupakan satu hal yang sering muncul ke permukaan. Implikasi lebih lanjut dari paradigma berpikir yang seperti ini adalah munculnya sejumlah pelabelan-pelabelan terhadap kelompok yang mengarah pada pembentukan stereotip yang cenderung negatif. Akibatnya muncul prasangka, intoleransi dan diskriminasi (Charris Zubair, 2005). Hal semacam ini juga biasa muncul dalam masyarakat Indonesia yang memang sangat multikultural.
            Salah seorang tokoh yang menaruh perhatian besar pada problem masyarakat multikultural adalah Jürgen Habermas. Melalui komunikasi, Habermas mengembangkan konsep rasionalitas kehidupan bersama. Karya Monumentalnya berjudul The Theory of Communicative Action (1984 dan 1987) yang terbit dalam dua jilid cukup memberi gambaran bahwa Habermas sangat berkompeten dalam hal berkomunikasi. Dialog rasional adalah salah satu basis paling penting untuk mewujudkan kehidupan bersama secara damai antar manusia dengan segala keragaman latarbelakangnya. Semua ini tergambar dalam konsepnya tentang etika diskursus.
            Dalam pandangan Habermas, dapat tidaknya suatu norma diberlakukan secara universal ditentukan dalam sebuah diskursus yang melibatkan semua pihak yang terkait. Habermas yakin bahwa diskursus dapat membongkar tembok-tembok etnosentrisme dan memperluas horizon solidaritas sampai pada nilai-nilai universal kemanusiaan.  Diskursus mengandaikan sikap bebas pamrih dan tidak bertolak dari suatu pandangan yang sudah menjadi harga mati.


Sekedar Bingkai Teoritis
Memahami Teori Kritis Jürgen Habermas, terlebih dahulu yang perlu diperhatikan adalah latar belakang historis dan teoritis yang mempengaruhi pemikiran Habermas.  Habermas merupakan pewaris tradisi Teori Kritis Masyarakat yang tergabung dalam Mazhab Frankfurt. Teori Kritis bermaksud untuk membebaskan manusia dari pemanipulasian para teknokrat modern. Ciri khasnya adalah Teori Kritis bertolak dari ilham dasar Karl Marx, tetapi sekaligus melampaui dan meninggalkannya, dengan cara memunculkan yang baru dan kreatif (Sindhunata, 1983: xiii). Sebagai pewaris cita-cita Karl Marx, Teori Kritis memiliki karakter yang berbeda dengan pemikiran filsafat tradisional. Hal yang menonjol dalam filsafat tradisional adalah corak pemikirannya yang kontemplatif, jauh dari kehidupan masyarakat. Sebaliknya, Teori Kritis justru berupaya untuk menjadi teori yang emansipatoris, yaitu mengembalikan kemerdekaan dan masa depan manusia.  Teori Kritis tidak cukup sekedar menjelaskan, mempertimbangkan maupun mengatur; namun lebih dari itu, Teori Kritis berusaha untuk mengubah (Magnis Suseno, 1992: 162).
Sejauh aliran ini dimengerti sebagai  arus pemikiran  yang sama, sebutan “Mazhab Frankfurt”  hanya dialamatkan pada Adorno, Horkheimer, Marcuse, Lowenthal dan Pollock. Di antara lima orang ini , hanya pada Adorno, Horkheimer dan Marcuse, para komentator menyebutnya “Generasi Pertama Teori Kritis”. Sementara pada Jürgen Habermas, para komentator menyebutnya “Generasi Kedua Teori Kritis” (Bottomore, 1984: 182). Teori Kritis secara khusus dipengaruhi oleh Hegel, Marx dan Freud. Karena pengaruh Marx yang paling dominan, maka Mazhab Frankfurt  sering ditunjuk sebagai “Neo-marxisme” (Bertens, 1983: 178).
Salah satu projek besar yang menyita perhatian dan pemikiran Habermas adalah upaya untuk menemukan komponen-komponen suatu program penelitian perkembangan masyarakat yang relevan bagi masa depan. Hal ini bukan merupakan barang baru dalam konstelasi pemikiran Jerman, baik di bidang filsafat maupun ilmu-ilmu sosial. Kecenderungan semacam ini bahkan sudah tampak sejak Hegel. Jane Braaten mengungkapkannya sebagai berikut.

German philosophy and social science has long been most interested in locating the telos or aim of human society. Since Hegel’s powerful argument that we are shaped by society, as well as shapers of society, it has been thought by Hegelians that reason itself is something that evolves, and that as it evolves, the ground rules of society change as well. The telos of human society is to be discovered by sifting through the patterns in our choices that reveal the character and direction of development, of human reason (Braaten, 1991: 3).

 Di antara sekian banyak jasa Jürgen Habermas bagi filsafat sosial yang paling menonjol dan patut mendapat apresiasi yang tinggi adalah usahanya yang serius untuk menggali kompetensi komunikasi manusia. Karya Habermas “The Theory of Communicative Action“ bahkan oleh para komentator dianggap sebagai magnum opusnya. Melalui komunikasi, Habermas mengembangkan konsep rasionalitas kehidupan bersama. Dialog rasional adalah salah satu basis paling penting untuk mewujudkan kehidupan bersama secara damai antar manusia dengan segala keragaman latarbelakangnya. Kehidupan bersama masyarakat dengan segala keragamannya sangat ditentukan oleh apa yang terjadi dalam ruang publik.
Konsep ruang publik (public sphere) awalnya digagas oleh Jürgen Habermas. Kata “ruang publik” (public sphere) di sini merupakan istilah teknis yang khas Habermas, dan sudah barang tentu berbeda pengertiannya dengan penggunaan dalam bahasa sehari-hari. Habermas mengartikan ruang publik sebagai tempat yang di dalamnya perbedaan keyakinan dan pendapat dapat ditampung dan dibicarakan secara bebas. Dalam ruang publik, orang bisa bertemu, mempermasalahkan kepentingan bersama tanpa kekerasan dan paksaan, tanpa mengesampingkan seorang pun. Pemikiran Habermas tentang ruang publik secara lengkap dapat ditemukan dalam karyanya The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Borgeois Society yang terbit pertama kali dalam bahasa Jerman pada tahun 1962. Di buku ini Habermas menuliskan bahwa dalam bentuknya yang ideal, ruang publik (public sphere) “...is made up of private people gathered together as a public and articulating the needs of society with the state” (Habermas, 1989: 176).  Dalam buku tersebut, ruang publik yang muncul sekitar awal abad ke-18 digambarkan sebagai jembatan yang menghubungkan kepentingan pribadi dari individu-individu dalam kehidupan keluarga dengan tuntutan serta kepentingan kehidupan sosial dan publik yang muncul dalam konteks kekuasaan negara.
Dalam konteks kekinian, Habermas berupaya menawarkan untuk menghidupkan kembali ruang publik dengan cara memulai proses komunikasi publik yang kritis melalui organisasi-organisasi yang menjalankan fungsi komunikasi publik itu. Di sini ruang publik merupakan ‘asas demokrasi’, karena hanya dengannya melalui penalaran yang hadir, pendapat-pendapat pribadi dapat berubah menjadi ‘opinion publique’ (pendapat umum). Ruang publik bukan hanya dapat mencairkan berbagai perbedaan tapi juga mampu menciptakan budaya egaliter dan partisipasi setiap orang.
            Dalam ruang publik semacam ini, masyarakat yang multikultural dapat membangun suatu pola interaksi yang saling menghargai.

Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan multi-lingual" (el-Ma'hady, dalam artikel.us/muhaemin6-04.html)

Multikulturalisme berarti sikap normatif tertentu untuk mengakui fakta keragaman dalam masyarakat (Juliawan, 2004:35). Persoalan multikulturalisme terletak pada mencari dasar yang bisa menjadi alas berdirinya kepentingan umum. Di sini terjadi konvergensi persoalan antara multikulturalisme dan ruang publik.

Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan  Kajian-kajian mengenai corak kegiatan, yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia (Suparlan, dalam www.scripps.ohiou. edu/news/cmdd/artikel).

Dalam masyarakat yang multikultural semacam ini, Habermas memandang pentingnya etika diskursus. Menurut Habermas, dapat tidaknya suatu norma diberlakukan secara universal ditentukan dalam sebuah diskursus yang melibatkan semua pihak yang terkait.
Jürgen Habermas' theory of discourse ethics contains two distinctive characteristics: (i) it puts forth as its fundamental tenet a prerequisite of participation in argumentation for testing the validity of a norm and (ii) it transforms the individual nature of Kant's categorical imperative into a collective imperative by reformulating it to ensure the expression of a general will and by elevating it to a rule of argumentation. The proceduralism of the first characteristic sets Habermas' discourse ethics apart from the moral theory of John Rawls. The second characteristic differentiates it from Kantian moral theory and, again, from Rawls' theory of justice (Hoenisch dalam www.criticism.com/philosophy/habermas-ethics.html)

Merujuk pada tulisan Habermas yang berjudul Moral Consciousness and Communicative Action, Franz Magnis-Suseno menegaskan sebagai berikut.

Dengan demikian, prinsip diskursus menyatakan bahwa hanya norma-norma tindakan yang dapat disetujui oleh semua yang bersangkutan, sebagai partisipan dalam diskursus-diskursus rasional boleh dianggap sah. Tentu diskursus itu mengandaikan bahwa semua peserta sejak semula bersedia untuk mencari apa yang secara objektif adil dan bukan apa yang menguntungkan mereka masing-masing (Magnis-Suseno, 2004: 11).

            Terkait dengan pemahaman tentang multikulturalisme, B. Hari Juliawan (2004: 35-36) melihat ada tiga jenis rezim multikulturalisme. Pertama, rezim multikulturalisme yang menganut strategi asimilasi. Jenis rezim ini berupaya untuk menjadikan keberagaman yang ada di masyarakat, lebur menjadi satu entitas. Biasanya yang diadopsi adalah yang mayoritas. Bagi rezim ini, perbedaan hanyalah fenomena superfisial. Tujuan akhirnya adalah menghapus multikulturalisme itu sendiri. Jenis rezim kedua adalah rezim komunitarian. Rezim ini berkebalikan dengan yang pertama. Komunitarian percaya bahwa setiap individu atau kelompok bangsa mempunyai adat kebiasaan, cita-cita dan nilai hidup yang berbeda dan tak mungkin disatukan. Karena itu ia harus diberi kelonggaran untuk mempraktekkan dan mewujudkan cita-cita hidupnya. Rezim ketiga berusaha mencari keseimbangan di antara keduanya. Pencarian keseimbangan itu dipandu oleh philosophical primacy yang dianut oleh suatu rezim multikultural.  
            Jenis rezim multikulturalisme yang ketiga inilah agaknya yang selaras dengan pemikiran Habermas tentang             etika diskursus. Melalui diskursus, di satu sisi Habermas hendak memberi “wawasan solidaritas sosial” kepada individualisme; dan di sisi lain ia ingin memberi “wawasan kosmoplitan” kepada kolektivisme.

… orang yang berkomunikasi untuk saling pemahaman akan respek terhadap partner-nya sebagai suatu “aku” yang lain. Namun komunikasi itu sendiri sudah mengantisipasi suatu “kita”, sehingga dalam komunikasi intersubjektif, “aku” dan “kita” itu setara, karena keduanya memiliki asal-usul yang sama (gleichurspruenglich), yakni komunikasi itu sendiri (Hardiman, 2004: 21).

Habermas yakin bahwa diskursus dapat membongkar tembok-tembok etnosentrisme dan memperluas horizon solidaritas sampai pada nilai-nilai universal kemanusiaan.

Pengertian Masyarakat Multikultural
            Penggunaan istilah multikulturalisme secara etimologis mulai marak digunakan sekitar tahun 1950-an di Kanada. Dalam Longer Oxford Dictionary istilah “multiculturalism” merupakan deviasi dari kata “multicultural” (el-Ma'hady, dalam artikel.us/muhaemin6-04.html). Ungkapan dalam surat kabar Kanada, Montreal Times, dirujuk ketika menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat ‘multikultural dan multi-lingual’.
            Parsudi Suparlan (2002: 1) dalam penelusuran terminologisnya terhadap Brian Fay (1996), Jary and Jary (1991) serta C.W. Watson (2000), mengartikan multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini. Suatu masyarakat dilihat sebagai hal yang mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik itu tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar.
            Alo Liliweri (2005: 68-69) melihat multikulturalisme sebagai kondisi kemajemukkan kebudayaan (pluralisme budaya) dari suatu masyarakat. Kondisi ini diasumsikan dapat membentuk sikap toleransi. Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme bisa dikatakan sebagai gagasan bertukar pengetahuan dan keyakinan yang dilakukan melalui pertukaran kebudayaan atau perilaku budaya setiap hari. Ini berarti, daripada seseorang hidup dalam “tempurung” kebudayaannya sendiri; maka akn lebih baik kalau ia mempelajari kebudayaan orang lain. Melalui ideologi multikulturalisme, manusia diajak untuk menerima standar umum kebudayaan yang dapat membimbing kehidupan dalam sebuah masyarakat yang majemuk.
            Merujuk pernyataan Inglis, Mathias Koenig membedakan multikulturalisme dalam tiga pengertian, yakni secara demografis-deskriptif, ideologis-normatif, dan programatis politis.

The term “multiculturalism”, as it used in public debate, comprises mainly three different meaning. In its demographic-descriptive meaning it refers to the fact of cultural or ethnic diversity, in its ideological-normative sense it applies to philosophical arguments underlining the legitimacy of claims to the recognition of particular identity grours, and in its programmatic-political sense it pertains to policies designed to respond to the problems posed by diversity (Koenig, dalam www.unesco.org/In2pol2.htm)

Prasangka dan konflik dalam masyarakat multikultural
            Dalam masyarakat multikultural, setiap kelompok memiliki adat kebiasaan, cita-cita dan nilai-nilai hidup yang berbeda. Yang sering terjadi adalah bahwa setiap kelompok cenderung menganggap kelompoknya berhak atas klaim kebenaran absolut. Paradigma “orang kita-orang asing” merupakan satu hal yang sering muncul ke permukaan. Implikasi lebih lanjut dari paradigma berpikir yang seperti ini adalah munculnya sejumlah pelabelan-pelabelan terhadap kelompok yang mengarah pada pembentukan stereotip yang cenderung negatif. Akibatnya muncul prasangka, intoleransi dan diskriminasi (Charris Zubair, 2005).

1. Prasangka
Definisi klasik “prasangka” pertama kali diperkenalkan oleh Gordon Alport dalam bukunya “The Nature of Prejudice” (1954). Istilah ini berasal dari kata praejudicium yang berarti pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu. Sementara Johnson (1986) berpendapat bahwa prasangka adalah sikap positif maupun negative berdasarkan keyakinan stereoti seseorang tentang anggota dari kelompok tertentu. Prasangka meliputi keyakinan untuk menggambarkan jenis pembedaan terhadap orang lain sesuai dengan peringkat nilai yang diberikan oleh orang yang bersangkutan. Jones (1986) melihat prasangka adalah sikap antipati yang berdasarkan pada cara menggeneralisasi yang salah dan tidak fleksibel. Prasangka merupakan sikap negative yang diarahkan kepada seseorang atas dasar perbandingan dengan kelompok sendiri.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa prasangka mengandung sikap, pikiran, keyakinan, kepercayaan; dan bukan tindakan. Jadi prasangka tetap ada di pikiran. Kalau mengarah pada tindakan, lebih-lebih jika dilakukan secara sistematis, maka itu disebut “diskriminasi”. Ketika prasangka berubah menjadi tindakan nyata, ia berubah menjadi diskriminasi, yaitu tindakan menyingkirkan status dan peran sekelompok orang dari hubungan, pergaulan, serta komunikasi antar manusia. Beberapa bentuknya semisal dengan cara mengurangi peran dan fungsi, memisahkan tempat tinggal, mengadakan mutasi penduduk dan lain sebagainya.

1.1.Sebab-Sebab Prasangka
Sebab-sebab prasangka bisa berasal dari sejumlah faktor yang berbeda meskipun semua sama-sama didasarkan pada generalisasi yang keliru pada perasaan atau pikiran. Johnson (1986) mengemukakan bahwa prasangka dapat disebabkan oleh empat hal.
  1. Gambaran perbedaan antar kelompok
  2. Nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh kelompok mayoritas sangat mengusai kelompok minoritas.
  3. Stereotip antar etnik
  4. Kelompok etnik atau ras yang merasa superior sehingga menjadikan etnik atau ras lain inferior.
Sementara Zastrow (1989) berpandangan bahwa prasangka bersumber dari
  1. proyeksi atau upaya mempertahankan ciri kelompok secara berlebihan
  2. frustasi, agresi, kekecewaan yang mengarah pada sikap menentang
  3. ketidaksamaan dan kerendahdirian
  4. kesewenang-wenangan
  5. alasan historis
  6. persaingan yang tidak sehat dan cenderung menjurus ke eksploitasi
  7. cara-cara sosialisasi yang berlebihan
  8. cara memandang kelompok lain dengan pandangan sinis.
Gundykunst (1991) yang mengutip pendapat van Dijk, mengatakan bahwa prasangka bersumber dari timbulnya kesadaran terhadap sasaran prasangka (bisa etnis, ras dan lainnya), yakni kesadaran bahwa:
  1. mereka adalah kelompok lain yang berbeda latar belakang kebudayaan, serta keadaan mental-kesadaran: “kami” versus “mereka”.
  2. kelompok lain tidak mampu beradaptasi
  3. kelompok lain selalu terlibat dalam tindakan negative (penganiayaan, kriminalitas dan sebagainya)
  4. kehadiran kelompok lain dapat mengancam stabilitas.

1.2. Bentuk-Bentuk Prasangka
Bentuk-bentuk prasangka secara garis besar bisa nampak dalam tiga hal, yakni stereotip, jarak sosial dan diskriminasi.

a. Stereotip
Stereotip adalah pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif, hanya karena ia berasal dari kelompok tertentu. Pemberian ini bisa positif bisa negatif. Verdeber (1986) berpendapat bahwa stereotip merupakan sikap, bahkan karakter, yang dimiliki seseorang untuk menilai karakteristik, sifat-sifat negatif atau positif orang lain, semata-mata berdasarkan keanggotaan orang itu pada kelompok tertentu.
Johnson (1986) mengemukakan bahwa stereotip adalah keyakinan seseorang untuk menggeneralisasi sifat-sifat tertentu yang cenderung negatif tentang orang lain karena dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman bersama. Keyakinan itu bisa membawa seseorang untuk memperkirakan perbedaan antar kelompok yang mungkin terlalu tinggi atau sebaliknya terlalu rendah, sebagai ciri khas individu atau kelompok sasaran.

Miles Hewstone dan Rupert Brown (1986) mengemukakan tiga aspek esensial dari stereotip.
  1. Acapkali keberadaan individu dalam suatu kelompok telah dikategorisasi. Kategorisasi itu selalu teridentifikasi dengan mudah melalui karakter atau sifat tertentu, misal: perilaku, kebiasaan bertindak, seks dan etnisitas.
  2. Stereotip bersumber dari bentuk atau sifat perilaku turun-temurun sehingga seolah-olah melekat pada semua anggota kelompok.
  3. Berdasar asumsi tersebut, individu yang merupakan anggota kelompok diasumsikan memiliki karakteristik, ciri khas dan kebiasaan bertindak yang sama dengan kelompok yang digeneralisasi itu.

Hendrij Tajfel (1981) membedakan secara tegas stereotip individual dan stereotip social. Sebagaimana dipahami bahwa stereotip merupakan generalisasi yang dilakukan seorang individu dengan menarik kesimpulan atas karakteristik orang lain dengan ukuran yang luas dan jarak tertentu, melalui proses kategorisasi yang bersifat kognitif (dalam hal ini berdasarkan pengalaman individu). Inilah yang disebut sebagai stereotip individu. Sementara stereotip sosial terjadi tatkala stereotip itu telah menjadi evaluasi terhadap kelompok tertentu dan telah meluas dan menyebar pada kelopok sosial lainnya. Dengan demikian  stereotip sosial tampak telah tersistematisasi sedemikian rupa sehingga isi stereotip itu menjadi sikap yang tertata dengan baik.

b. Jarak Sosial
            Seringkali kehidupan sosial antar sesama manusia selalu ditandai oleh perasaan psikologis, misalnya seseorang merasa sangat dekat dengan si A, tapi tidak terlalu akrab dengan si B. Hal ini menggambarkan bahwa hubungan antar manusia seringkali dipengaruhi oleh perasaan emosi tertentu. Inilah yang disebut jarak sosial antar personal.
            Deaux (1985) mengemukakan bahwa jarak sosial merupakan aspek lain dari prasangka sosial yang menunjukkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain dalam hubungan yang terjadi di antara mereka. Doob (1995) lebih lanjut mengemukakan bahwa jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan. Secara teoritis Emory Bogardus mengukur jarak sosial dengan menakar penerimaan seseorang terhadap orang lain dalam unsur-unsur:
  1. kesediaan untuk menikah dengan orang lain
  2. bergaul rapat sebagai kawan
  3. penerimaan sebagai tetangga
  4. penerimaan sebagai rekan seprofesi/jabatan
  5. penerimaan sebagai warga negara
  6. penerimaan sebagai pengunjung negara.

c. Diskriminasi
            Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa diskriminasi adalah satu bentuk prasangka yang telah diwujudkan dalam tindakan nyata. Tindakan diskriminasi biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki sikap prasangka sangat kuat akibat tekanan tertentu, misalnya tekanan budaya, adat istiadat, kebiasaan atau hukum.
            Prasangka dan diskriminasi  merupakan the vicious cycle (lingkaran setan). Keduanya saling menguatkan: di mana ada prasangka, di sana akan ada diskriminasi. Konsep hubungan conditioning antara prasangka dan diskriminasi bukan disebabkan karena individu rendah diri tetapi karena adanya social inferiority. Zastrow (1989)  melihat bahwa diskriminasi merupakan faktor yang merusak kerjasama antar manusia dan komunikasi di antara mereka. Lebih jauh, Doob (1995) bahkan melihat diskriminasi menjadi perilaku yang ditujukan untuk mencegah atau membatasi suatu kelompok lain yang berusaha memiliki atau mendapatkan sumber daya. Ia dapat dilakukan dengan mengurangi, memusnahkan, menaklukkan, atau mengasimilasi kelompok lain. Ini berarti, sikap diskriminasi tidak lain adalah suatu kompleks berpikir
           
2. Konflik
            Hakikat kehidupan adalah perubahan, dan jika ada yang abadi dalam kehidupan, maka itu adalah perubahan itu sendiri. Tak pernah ada kehidupan tanpa perubahan. Sementara dalam perubahan itu sendiri selalu muncul konflik: konflik antara yang akan diubah, pengubah, dan kebaruan yang lahir dari perubahan itu sendiri. Musa Asy’arie berpendapat bahwa proses konflik itu akan selalu terjadi dimana pun, siapa pun dan kapan pun. Konflik merupakan realitas permanen dalam perubahan. Perubahan adalah realitas permanen dalam kehidupan; dan dialektika adanya konflik, perubahan dan kehidupan akan bersifat permanen pula (Musa Asy’arie dalam www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546.htm).
            Meskipun demikian, konflik tidak boleh dibiarkan. Terlebih dalam konteks masyarakat multikultural yang memang sangat rentan bagi timbulnya konflik. Ketika konflik dibiarkan berkembang menjadi liar, maka itu akan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat.
            Alo Liliweri (2005: 249-250) menginventarisir sejumlah pengertian konflik. Apa yang dimaksud dengan konflik dua di antaranya adalah:
  1. Bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena perbedaan sikap, kepercayaan, nilai atau kebutuhan.
  2. Hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih yang memiliki, atau merasa memiliki, sasaran tertentu namun diliputi pemikiran , perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan.
Bertolak dari definisi tersebut, Liliweri melihat bahwa dalam setiap konflik terdapat unsur-unsur berikut:
  1. Ada interaksi antara dua pihak atau lebih yang terlibat.
  2. Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik. Tujuan inilah yang menjadi sumber konflik.
  3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan di antara pihak yang terlibat dalam mencapai tujuan.
  4. Ada situasi konflik antara pihak-pihak yang bertentangan.

2.1. Sebab-Sebab Konflik
            Ada beberapa kondisi yang memungkinkan terjadinya konflik. Merujuk dari pendapat Dahrendorf, Liliweri (2005: 260-261) menyimpulkan ada empat kondisi:
  1. Ada sejumlah individu atau kelompok yang merasa bahwa mereka dipisahkan atau dibedakan dari suasana kebersamaan pada semua level.
  2. Tidak ada interaksi. Interaksi mengandalkan kontak dan komunikasi. Ketka mekanisme ini tidak ada maka akan terjadi konflik.
  3. Ada perbedaan posisi dan peran. Perbedaan akan tajam ketika  didalamnya juga ada hirarkhi relasi. Semakin kaku hirarkhi, maka makin terbuka kemungkinan konflik.
  4. Ada kelangkaan kebutuhan dan keinginan terhadap sumber daya. Ini memicu timbulnya ketidakpuasan atas ketidakadilan distribusi sumber daya. Ketidakpuasan ini bias memicu konflik.

2.2. Persepsi manusia atas konflik
            Ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan konflik yang sering muncul, yakni pandangan primordialis, instrumentalis, dan konstruktivis (el-Ma'hady, dalam artikel.us/muhaemin6-04.html).
Kelompok primordialis menganggap bahwa perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.
Kelompok instrumentalis berpandangan bahwa suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, baik dalam bentuk materi maupun non materi.
Kelompok konstruktivis, beranggapan bahwa identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang dibayangkan oleh kaum primordialis. Etnisitas dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial. Karena itu etnisitas merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling mengenal dan memperkaya budaya. Dalam konteks multikulturalisme, kelompok ketiga ini lebih berpeluang untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik.
Pada ranah sosial, Liliweri (2005: 247) melihat bahwa relasi antara masyarakat dan konflik menampakkan diri pada empat kategori:
  1. Masyarakat tanpa konflik atau masyarakat ideal.
  2. Masyarakat dengan konflik laten (tersembunyi)
  3. Masyarakat dengan konflik di permukaan
  4. Masyarakat dengan konflik terbuka.





Etika Diskursus Jürgen Habermas

Di antara sekian banyak jasa Jürgen Habermas bagi
filsafat sosial kiranya jasa paling menonjol yang patut diperingati secara khusus, yakni perjuangannya yang
tak kenal lelah untuk menggali potensi komunikasi manusia. Bagi Habermas, komunikasi bagaikan harta karunyang tak pernah habis digali. Karena itu sampai usianya yang sudah mulai senja, tak pernah ia berputus asa untuk terus mencamgkuli lahan komunikasi itu.
(Sindhunata)

            Ungkapan yang cukup menggambarkan sosok Jürgen Habermas itu ditulis Sindhunata untuk mengawali tulisannya dalam salah satu artikelnya di Majalah BASIS. “Komunikasi” menjadi satu kata kunci yang tidak bisa dilepaskan dari berbagai ide brilian tokoh ini ketika bicara tentang banyak hal. Hans-Georg Gadamer bahkan menjuluki Habermas sebagai “master komunikasi”. Lebih lanjut, Sindhunata menggambarkan sebagai berikut.

… Habermas bukan hanya menuliskan teori komunikasi. Ia menghidupinya. Dalam diri dan aktivitasnya, teorinya telah menginkorporasikan diri. Sungguh ia adalah seorang teoritikus komunikasi yang mempertanggungjawabkan kebenaran teorinya bukan hanya dalam rasionalitas dan penalaran, tapi juga dengan menuntut dirinya sendiri untuk siap dan bisa memahami dan mengerti orang lain yang menjadi lawan bicaranya (Sindhunata, 2004: 49).

            Salah satu pemikiran Habermas yang menonjolkan aspek komunikasi ini adalah konsepnya tentang etika diskursus. Perlu dipahami bahwa komunikasi di sini bukanlah semata-mata dipahami sebagai teknik seperti yang terdapat dalam media; tetapi yang lebih dimaksud Habermas dengan komunikasi di sini adalah sesuatu yang demikian khas dan secara dasariah melekat pada masyarakat. Karena itu, tanpa komunikasi masyarakat tak akan pernah ada. Dalam konteks ini, etika diskursus dipandang sebagai cara yang komunikatif untuk menentukan patokan-patokan moral bagi kehidupan bersama masyarakat yang plural (baca: multikultural). Pada karyanya “Moral Consciousness and Communicative Action, Habermas menegaskan bahwa etika diskursus bukanlah sebuah pendasaran etika seperti yang biasa ditemui dalam wacana etika tradisional pada umumnya. Etika diskursus tidak menjawab pertanyaan mengapa orang harus bertindak moral. Etika diskursus tidak menghasilkan jawaban siap pakai atas pertanyaan-pertanyaan moral. Etika diskursus lebih merupakan metode untuk memastikan kembali arti norma-norma moral yang dipertanyakan (Magnis-Suseno, 2004: 10).
            Pada periode modern, putusan moral cukup dikembalikan pada suara hati dan rasionalitas universal (Kantianisme), atau bisa juga dikembalikan pada rasionalitas kemanfaatan umum (Utilitarianisme).  Semua itu dapat dipertimbangkan secara apriori dan ditangani oleh subjek sendiri. Namun dalam pemikiran Habermas, pertimbangan moral perlu melibatkan unsur-unsur empiris lainnya yang muncul melalui diskusi rasional. Diskusi rasional ini dimaksudkan Habermas sebagai upaya diagnosa dalam membongkar sebab-sebab kemacetan sosial.
            Dimensi etis yang termuat dalam pemikiran ini bukan mewujud dalam norma-norma yang menjadi absolut, sebagaimana dimengerti dalam pemahaman etika tradisional. Dimensi etis di sini lebih dihasilkan dalam gerak sosial yang bersama-sama menentukan nilai-nilai mana yang patut diterima masyarakat. Menentukan nilai tersebut melalui apa yang disebut diskursus rasional, yakni satu diskursus dengan kaidah-kaidah validitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Terbentuknya nilai-nilai baru dalam diskursus akan mengarah pada terbentuknya dunia baru, yang objektif, dan merupakan dunia kehidupan yang dihayati bersama.

            Memahami etika diskursus Habermas tidak sepenuhnya dapat ditangkap tanpa memahami hubungannya dengan konsep etika Immanuel Kant.

Habermas situates the moral point of view within the communication framework of community of selves. He moves Kant’ categorical imperative beyond its ‘monological’ reflection by demanding that we emphatically take into consideration the viewpoints of all who would be affected by the adoption of a certain moral action or normative claim (Cavalier dalam caae.phil.cmu.edu/Cavalier/Forum/meta/background/HaberIntro.html).

            Prinsip penguniversalisasian Kant dijadikan Habermas sebagai titik tolak dalam konsep etika diskursusnya. Menurut Kant, tugas etika bukan untuk menetapkan sederetan norma moral, melainkan untuk memeriksa pertimbangan-pertimbangan moral yang nyata-nyata dilakukan oleh masyarakat, apakah secara moral memadai atau tidak (Magnis-Suseno, 2004:11). Yang menjadi tolok ukur sebuah pertimbangan moral diterima adalah apakah pertimbangan itu dapat dikehendaki untuk berlaku universal. Di sini tampak bahwa tolok ukurnya bersifat murni-formal. Di sini tidak ditetapkan “tindakan apa” yang bermoral, tetapi “mana syarat keberlakuan” sebuah pertimbangan moral. Hanya sebuah norma yang saya sadari berlaku di mana pun dan kapan pun, boleh saya anggap memadai secara moral.
            Meskipun Habermas bertolak dari pandangan Kant, ia menyangkal bahwa kesadaran saya dapat menjadi kriteria keberlakuan universal sebuah norma. Bagi Habermas, apakah sebuah norma dapat diberlakukan secara universal “hanya dapat dipastikan dalam sebuah diskursus” yang semua pihak yang bersangkutan terlibat. Dan inilah inti etika diskursus.

Karakteristik etika diskursus
            Antje Gimmler berpendapat bahwa etika diskursus Habermas menampakkan tiga karakteristik, yakni kognitivisme, nilai adil yang dihadapkan pada nilai baik, serta prinsip universalitas (Gimmler dalam caae.phil.cmu.edu/Cavalier/Forum/meta/background/ agimmler.html).

1. Kognitivisme
Etika diskursus bertolak dari asumsi bahwa persoalan-persoalan moral dapat diselesaikan melalui cara yang kognitif dan rasional. Pandangan ini tentu bertentangan dengan skeptisisme moral yang menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan rasio-praktis tidak dapat diputusan di atas dasar-dasar rasional. “ The non-cognitivistic conceptions are reducing the value of the whole world of moral intuitions based in everyday life”, demikian dijelaskan dalam “Moral Consciousness and Communicative Action”.
Berdasarkan hal tersebut, Gimmler kemudian menunjukkan dua konsekuensi dari pemikiran Habermas.

... There is obvious difference between “You ought not kill” and “The grass is green”, Hence the term “moral truth” is quite difficult one , as Habermas himself recognizes. And thus he claims for normative sentences only the ‘weaker assumption of  a validity claim that is analogous to the validity claim of truth’. This weaker assumption implies two consequences. First, with this restriction Habermas take a step back from transcendental foundation as ‘final grounding’ [Letzbegründung]. Secondly Habermas situates the validity claim of normative sentences in a social-evolutionary context: the differentiation of the validity claims of normative justification and of truth is the result of the process of modernization. Discourse ethics is a normative ethics for pluralistic societies which no longer have a single, overarching moral authority (Gimmler dalam caae.phil.cmu.edu/Cavalier/Forum/meta/background/agimmler.html).

2. Nilai adil yang dihadapkan pada nilai baik
            Konsekuensi lebih lanjut dari corak teori etika yang kognitivistik adalah: pertanyaan-pertanyaan moralitas didefinisikan sebagai pertanyaan-pertanyaan tentang penjustifikasian norma-norma. Struktur mediasi dari ‘etika substantif’ [Sittlichkeit] pada teori Habermas hanya dianggap penting bagi bentuk-bentuk partikular dari kehidupan [Lebensformen].

Thus Habermas differentiates Thus Habermas differentiates strictly between ‘questions of the good life’ and ‘questions of justice’. (In this direction lies also the difference between ‘norms’ and ‘values.’) This is quite plausible because determining  what a ‘good life’ is, under condition of a value pluralism, has to be necessarily a limited determination. For that reason, Habermas emphasizes the role of formal moral theory, such as discouse etics, in creating the ‘free space’ [Freiräume] needed for a pluralism of many different ‘good lives’ (Gimmler dalam caae.phil.cmu.edu/Cavalier/Forum/meta/background/agimmler.html).

            Pertanyaan moral muncul dalam konteks dunia kehidupan, yang di dalamnya segala kepercayaan dan keputusan kita dibentuk oleh nilai-nilai, kebiasaan dan prasangka-prasangka. Di sini kemudian muncul pertanyaan: sampai pada tataran mana teori moral harus transenden terhadap partikularitas dunia kehidupan tanpa harus menjadi general dan universal, yang hal tersebut tidak lagi relevan sebagi sebuah kriteria bagi adanya konflik moral?

3. Prinsip universalisasi
            Poin mendasar dari etika diskursus oleh Habermas diformulasikan dalam the principle of universalization yang dalam hal ini dinamakan juga the principle of discourse. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa Habermas dalam prinsip universalisasi ini merumuskan kembali pendapat Kant dalam term-term intersubjektivitas.

For Habermas, the principle of universalization and these concomitant postulates should be applicable to the critical examination of practical, everyday norms. The principle of universalization is applied in the principle of discourse: “only those norms can claim to be valid that meet (or could meet) with the approval of all affected in their capacity as participants in a practical discourse” (Gimmler dalam caae.phil.cmu.edu/Cavalier/Forum/meta/background/agimmler.html).

            Dalam etika diskursus, situasi yang sering muncul adalah konflik moral. Dalam hal konflik moral di sini, etika  diskursus baru dipakai apabila jawaban-jawaban yang secara tradisional diberikan, tidak lagi diterima begitu saja. Dalam etika diskursus, sebuah norma moral hanya boleh dianggap sah kalau segala akibat dan efeknya dapat disetujui oleh semua tanpa paksaan. Akibat dan efek yang dimaksud adalah segala hal yang diperkirakan akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa saja tatkala norma itu ditaati secara umum. Di sinilah cara untuk memastikan syarat itu adalah dengan diskursus, yakni perbincangan bersama yang memungkinkan semua orang yang bersangkutan boleh ikut tanpa ada tekanan apapun. Tentu diskursus ini mengandaikan bahwa semua partisipan sejak semula bersedia untuk mencari apa yang objektif dan bukan apa yang menguntungkan mereka masing-masing. Artinya, diskursus mengandaikan sikap “bebas pamrih”.
            Habermas memang menyadari bahwa dalam kenyataannya, sebuah diskursus tidak pernah ideal. Akan selalu ada bermacam tekanan dan partisipan pun sulit untuk sama sekali bebas dari pamrih. Meskipun demikian, etika diskursus tetap memiliki arti praktis yang besar. Dalam situasi pluralisme kultural dan ideologis, tidak cukup kalau hanya tercapai kompromi-kompromi pragmatis dalam menata kehidupan bersama, seperti apa yang dikemukakan oleh teori keadilan John Rawls (Magnis-Suseno, 2004: 11). Perdamaian dalam masyarakat plural akan semakin kokoh ketika semua pihak semakin bisa menerima tatanan politik, ekonomi dan sosial sebagai sesuatu yang adil. Untuk mencapai konsensus moral seperti  inilah, diskursus Habermas menjadi satu-satunya cara

Etika Diskursus Sebagai Tantangan Masyarakat Indonesia yang Multikultural
            Dalam multikulturalisme, sebuah masyarakat -- termasuk Indonesia --, dilihat sebagai hal yang mempunyai satu kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat yang bersangkutan. Corak demikian seperti mosaik  Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan founding fathers bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan kebudayaan bangsa. Hal ini terungkap dalam penjelasan pasal 32 UUD 1945: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan daerah”.
            Namun konsep seperti ini terdengar menjadi sumbang tatkala kita menengok perjalanan bangsa. Wajah bangsa sangat tidak jarang menampilkan realitas konflik sosial yang mengambil bentuk kekerasan. Pada gilirannya bila hal ini tidak segera diatasi tentu akan mengancam persatuan dan eksistensi bangsa.
Menurut Agus Rahmat W. (2000: 46-47), harmoni internal yang tampak dalam suatu masyarakat tidak pernah terjadi secara otomatis-alamiah. Ia dapat terwujud karena suatu ketaatan dan kesepakatan (konsensus) yang sadar dan bebas. Konsensus yang menjadi tulang punggung persatuan masyarakat mempunyai dua segi yakni konsensus teleologis dan konsensus struktural.
Konsensus teleologis adalah kesepakatan bersama mengenai nilai-nilai yang melandasi kehidupan bermasyarakat dan tujuan-tujuan yang hendak diraih oleh suatu masyarakat. Konsensus teleologis ini mengungkapkan tekad dan persetujuan masyarakat mengenai tujuan yang diidamkan dan segala sesuatu yang tidak diharapkan.
Konsensus struktural adalah kesepakatan mengenai sarana, proses dan prosedur guna mewujudkan nilai, mencapai tujuan, serta menyelesaikan konflik yang mungkin timbul. Di sini persoalannya berhubungan dengan norma-norma hukum, dengan legitimasi kerangka konstitusional dan prosedur pelaksanaan. Dalam rumusan yang lebih singkat: pelaksanaannya itu dikehendaki atau tidak dikehendaki.
Menengok kembali sejarah realitas kehidupan berbangsa di Indonesia, terjadi pasang surut dalam keharmonisan hidup anak bangsa. Di masa kemerdekaan, persatuan bangsa begitu mengakar kuat yang pada gilirannya melahirkan semangat dan kekuatan perlawanan terhadap penjajah. Agama pun bahkan memberikan legitimasinya dalam memperkuat perlawanan. Namun setelah tercapai kemerdekaan dan tiba waktu menata bangsa dan Negara, muncullah akar-akar konflik yang berbasis pada faham kedaerahan dan keagamaan terutama ketika dihadapkan pada pembagian kekuasaan. Fanatisme ras, suku dan keagamaan menjadi tak terelakkan mencoreng wajah bangsa.

Pendidikan Multikulturalisme: Upaya menumbuhkan Etika Diskursus
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, namun tidak semua anak bangsa ini saat ini memahami apa yang digagas oleh para pendahulunya. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. (Suparlan, dalam www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/art). Ulasan mengenai multikulturalisme akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Fenomena divergen-disintegratif yang kian nyata dalam hidup bermasyarakat, menimbulkan fragmentasi kelompok dan konflik horizontal yang sebelumnya tidak muncul ke permukaan. Fenomena divergen-disintegratif tersebut berupa menguatnya rasa kedaerahan, identitas kesukuan, kelompok dan agama. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Samuel Huntington dalam Clash of Civilization (1993) bahwa proses kontemporer modernisasi dan globalisasi secara aktif menyumbang pada berkembangnya masalah-masalah etnisitas. Hal ini terutama dikaitkan dengan kemunculan kembali persoalan komunitarian secara signifikan (Hartiningsih dalam www.kompas.com/ kompas-cetak/0411/09/sorotan/1370915.htm).
Ini merupakan ancaman riil bangsa Indonesia. Karena itu perlu dipupuk toleransi, inklusivisme dan penolakan berbagai jenis fundamentalisme. Upaya memupuk semua itu hanya bisa dilakukan bila ada pengakuan terhadap multikulturalisme. Keberadaan budaya harus dipandang sama tinggi dan sama bernilai di dalam suatu masyarakat yang pluralis. Di sinilah kemudian etika diskursus ala Habermas menjadi relevan. Kemampuan untuk mengembangkan diskursus dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia menjadi suatu hal yang mendesak untuk diupayakan.
Kemampuan diskursus bukanlah merupakan satu hal yang otomatis tumbuh dengan sendirinya. Diperlukan institusi yang mampu untuk menumbuhkan kesadaran hidup bersama dalam kemajemukan. Satu institusi yang bisa sangat diharapkan perannya dalam hal ini adalah pendidikan. Pendidikan merupakan media strategis untuk menumbuhkan kesadaran multikultural dalam kehidupan nyata.
Konsep pendidikan multikultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis, seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan merupakan hal baru. Mereka telah menerapkan konsep tersebut terutama dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam. Tujuannya adalah untuk memajukan dan memelihara integritas nasional.
Secara sederhana, pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan (el-Ma'hady dalam artikel.us/muhaemin6-04.html).
Istilah "pendidikan multikultural" dapat digunakan baik pada tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif ini, maka kurikulum pendidikan multikultural mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis dan pluralitas;  kemanusiaan universal dan  subjek-subjek
lain yang relevan.
Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis.

Sebuah Catatan Kritis
            Meski diyakini sebagai solusi yang dipandang baik untuk memecahkan berbagai persoalan menyangkut pluralitas suatu bangsa, diskusi tentang multikulturalisme masihlah sangat panjang untuk dibincangkan. Kenyataannya, sejarah juga menunjukkan bahwa terjadi persaingan yang luar biasa ketat antara pandangan yang multikulturalis dan pandangan yang uniformis pada suatu bangsa.
            Nathan Setiabudi bahkan mengingatkan bahwa pengertian multikulturalisme sendiri bukan merupakan sesuatu yang “sudah jadi”. Multikulturalisme terus bergerak di antara yang paradoks-paradoks. Pencarian definisi tentangnya bisa memungkinkan orang tersesat dalam rimba paradoks. Multikulturalisme merupakan konsep besar yang masih mencari bentuknya karena “kebelum-jadiannya” (Hartiningsih dalam www.kompas.com/ kompas-cetak/0411/09/sorotan/1370915.htm).
Alois A. Nugroho juga berpendapat bahwa multikulturalisme memang memuat banyak kelebihan etis maupun praktis, namun dia mengandung kekurangan dalam satu hal besar, yakni membatasi fungsi rasio hanya sebagai sebuah strategi untuk mempertahankan hidup dan hidup lebih sejahtera. Rasio sebenarnya dapat beroperasi dengan bertolak dari pangkalan yang sama sekali tak berhubungan dengan pengalaman langsung, berkelana di wilayah-wilayah abstrak dan berhenti pada oasis-oasis abstrak dari gurun abstrak tanpa tepi. Rasio adalah operasi imajinasi, namun imajinasi itu adalah imajinasi rasional, artinya imajinasi yang memiliki disiplin diri (Nugroho dalam www.kompas.com/kompas-cetak/0304/04/Bentara/ 229955.htm).
            Hal yang relevan bagi multikulturalisme adalah kewajiban untuk menghormati hak-hak atas keanekaragaman budaya atau hak-hak untuk berbeda secara budaya. Multikulturalisme dengan demikian memproklamasikan emansipasi budaya-budaya kecil yang masing-masing juga memiliki hak hidup yang wajib dihormati. Pada tingkat praktis, multikulturalisme juga menunjuk kemungkinan “penyesuaian budaya” atau “dialog budaya” dalam pengalaman individual maupun kelompok.
            Namun permasalahan yang tetap membayang-bayangi multikulturalisme adalah sifatnya yang pragmatis. Sikap pragmatis itu membuatnya berhenti pada konvensi, pada kultur local, pada rasionalitas komuniter dan menolak untuk berkelana lebih jauh (Singer, 1981: 87-124). Rasio memang punya fungsi instrumental untuk mempertahankan hidup dan untuk membuat hidup menjadi lebih sejahtera. Untuk itu, rasio mengambil jarak dari pengindraan-pengindraan dan pengalaman-pengalaman faktual dan menyusun "strategi" budaya untuk menyiasati lingkungan lokal. Karakteristik dari rasio ialah kemampuan mengambil jarak dari pengalaman langsung (Singer, 1981: 88). Rasio pragmatis merupakan aktualisasi diri dari rasio yang diterapkan untuk menyelesaikan tekanan lingkungan lokal dan langsung. Dalam pergaulan komuniter, rasio ini melibatkan proses belajar masyarakat, mempelajari warisan local wisdom, menemukan cara baru untuk menghadapi tantangan baru dan mewariskannya pada generasi berikut
Namun rasio tidak menuntaskan dirinya dengan aktivitas-aktivitas memecahkan masalah-masalah mendesak saja. Rasio juga menjelajahi wilayah-wilayah abstrak, pangkalan jelajahnya pun bukan lagi persoalan konkret, dan perhentian-perhentian yang ditemukannya juga berupa oasis-oasis dalam gurun abstraksi tanpa tepi. Inilah rasio dalam kepenuhan aktualisasi hakikatnya. Rasio teoretis semacam ini dapat bersifat konsisten dan impartial, tanpa harus dikompromikan dengan kebutuhan mempertahankan hidup dan kebutuhan hidup sejahtera secara sosial
Multikulturalisme, dengan segala kelebihan berupa pembebasan dari hegemonisme modernitas dan hormatnya kepada sikap toleran dan hak atas keanekaan budaya, pada kenyataannya telah mengekang gerak hakiki dari rasio (Nugroho dalam www.kompas.com/kompas-cetak/0304/04/Bentara/229955.htm). Kerinduan pada universalitas paling abstrak, pada realitas yang ultim, yang ada di balik semua lokalitas dan partikularitas, adalah kerinduan rasio teoretis-baik itu pada agama, pada sains, pada seni maupun pada kebudayaan secara umum. Rasio teoretis lebih enak bila disebut sebagai rasio imajinatif. Rasio pragmatik maupun teoretik pada hakikatnya adalah imajinasi, namun imajinasi yang memiliki disiplin yang oleh budaya Yunani disebut logic
of discovery.

Kesimpulan
            Multikulturalisme yang akhir-akhir ini makin marak dibicarakan tidak bisa dilepaskan dari keadaan objektif bahwa saat ini masyarakat tengah menuju pada satu kecenderungan untuk mengupayakan kehidupan bersama yang saling menghormati. Masyarakat dengan segala kemajemukan yang ada di dalamnya cenderung untuk menghindari ketegangan yang diakibatkan oleh kemajemukan itu sendiri. Untuk mewujudkan satu kehidupan bersama yang saling menghargai dan sedapat mungkin menutup celah yang berpeluang bagi timbulnya konflik, dibutuhkan kesadaran bersama untuk menghidupkan diskursus. Dengan diskursus, semua berpeluang untuk menentukan nilai-nilai apa yang dianggap baik untuk kebersamaan hidup. Di sinilah inti dari apa yang ditawarkan oleh Habermas dengan etika diskursusnya. Konsep etika diskursus Habermas ini menjadi sangat relevan bagi kondisi masyarakat yang multikultural, seperti halnya Indonesia.
            Beberapa hal dapat disimpulkan dari pembahasan etika diskursus pada masyarakat multikultural, yakni sebagai berikut.
  1. Masyarakat multikultural adalah sebuah masyarakat yang mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik itu tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar. Masyarakat dengan model multikulturalisme mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
  2. Dalam masyarakat multikultural, setiap kelompok memiliki adat kebiasaan, cita-cita dan nilai-nilai hidup yang berbeda. Yang sering terjadi adalah bahwa setiap kelompok cenderung menganggap kelompoknya berhak atas klaim kebenaran absolut. Paradigma “orang kita-orang asing” merupakan satu hal yang sering muncul ke permukaan. Implikasi lebih lanjut dari paradigma berpikir yang seperti ini adalah munculnya sejumlah pelabelan-pelabelan terhadap kelompok yang mengarah pada pembentukan stereotip yang cenderung negatif. Akibatnya muncul prasangka, intoleransi dan diskriminasi.
3.      Dimensi etis menjadi hal yang urgen dalam situasi yang cenderung tidak harmonis. Dalam etika diskursus dimensi etis lebih dihasilkan dalam gerak sosial yang bersama-sama menentukan nilai-nilai mana yang patut diterima masyarakat. Menentukan nilai tersebut melalui apa yang disebut diskursus rasional, yakni satu diskursus dengan kaidah-kaidah validitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Terbentuknya nilai-nilai baru dalam diskursus akan mengarah pada terbentuknya dunia baru, yang objektif, dan merupakan dunia kehidupan yang dihayati bersama.
4.      Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan founding fathers bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan kebudayaan bangsa. . Keberadaan budaya harus dipandang sama tinggi dan sama bernilai di dalam suatu masyarakat yang pluralis. Di sinilah kemudian etika diskursus ala Habermas menjadi relevan. Kemampuan untuk mengembangkan diskursus dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia menjadi suatu hal yang mendesak untuk diupayakan.
5.      Pendidikan merupakan media strategis untuk menumbuhkan kesadaran multikultural dalam kehidupan nyata. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
6.      Sungguhpun demikian, meski multikulturalisme memang memuat banyak kelebihan etis maupun praktis, namun dia mengandung kekurangan dalam satu hal besar, yakni membatasi fungsi rasio hanya sebagai sebuah strategi untuk mempertahankan hidup dan hidup lebih sejahtera.



[1] Dosen Fakultas Filsafat UGM
GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search