Rabu, 29 Juni 2011

UNSUR-UNSUR ESTETIKA PADA SENI TARI BEDHOYO KETAWANG

Sumber tulisan: Parmono, Kartini. 2008. Horizon Estetika. Badan Penerbitan Pers Filsafat UGM: Yogyakarta dan http://www.karatonsurakarta.com/taribedhoyo.html
Sumber tulisan: Parmono, Kartini. 2008. Horizon Estetika. Badan Penerbitan Pers Filsafat UGM: Yogyakarta dan http://www.karatonsurakarta.com/taribedhoyo.htmlIndonesia memiliki ragam budaya yang beraneka ragam macamnya disetiap daerah. Keanekaragaman budaya ini ditunjukkan dengan seni tradisi pertunjukan yang digelar dalam acara-acara tertentu. Seni tradisi datang dari sumber-sumber yang tidak bisa lepas dari lingkungan sosial setempat meskipun terjadi pergeseran zaman. Seni tradisi tidak selalu berada dalam kondisi yang sama disepanjang zaman dan di lain tempat, maskipun nama yang dipakai bisa sama.
Menurut Soedarsono, anggota tari Indonesia, mendefinisikan tari adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak-gerak ritmis yang indah. Istilah indah bukan hanya berarti bagus tetapi dapat memberikan kepuasan kepada orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa gerak-gerak ritmis yang indah itu merupakan pancaran jiwa manusia. Tari Bedhoyo Ketawang juga merupakan salah satu aspek kebudayaan bangsa yang sarat akan nilai-nilai estetika, nilai-nilai etik dan nilai-nilai religius yang mencerminkan keluhuran moral.
Menurut kitab Wedbapradangga, Pencipta tarian Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645) raja pertama terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Konon penciptaan gendhingpun menjadi sempurna setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tari Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukan pada saat penobatan raja yang baru tetapi juga pertunjukan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau "Tingalan Dalem Jumenengan".
Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana ke-XII (sekarang), hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami perubahan pada berbagai aspek, walapun bentuk tatanan pertunjukannya masih mengacu pada tradisi ritual masa lampau. Namun nilainya telah bergeser menjadi sebuah warisan budaya yang nilai seninya dianggap patut untuk dilestarikan .. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana XII diselenggarakan pada hari kedua bulan Ruwah atau Sya'ban dalam Kalender Jawa ..
B. Unsur Estetika dan makna Tari Bedhoyo Ketawang
Yang membuat Bedhoyo Ketawang menarik ialah terkandungnya hal-hal yang memiliki daya khusus. Bedhoyo Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur Estetika dan makna serta sifat yang erat hubungannya dengan: (1) Adat Upacara (seremoni); (2) Sakral; (3) Religius; (4) tarian Percintaan atau tari Perkawinan


1. Adat Upacara
Bedhoyo Ketawang jelas bukan suatu tarian yang untuk tontonan semata-mata, karena hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang resmi sekali. Seluruh suasana menjadi sangat khudus, sebab tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan berhubungan dengan peringatan ulang tahun tahta kerajaan saja. Jadi tarian ini hanya sekali setahun dipergelarkannya Selama tarian berlangsung tiada hidangan keluar, juga tidak diizinkan orang merokok. Makanan, minuman atau pun rokok dianggap hanya akan mengurangi kekhidmatan jalannya upacara adat yang suci ini.
2. Religius
Segi religius jelas dapat diketahui dari kata-kata yang dinyanyikan oleh suarawatinya. Antara lain ada yang berbunyi: ... tanu astra kadya agni urube, kantar-kantar kyai, ... yen mati ngendi surupe, kyai? "(...... Kalau mati kemana tujuannya, kyai?).
3. Tari Percintaan atau Tarian Perkawinan
Bedhoyo Ketawang melambangkan curahan cinta asmara Kangjeng Ratu kepada Sinuhun Sultan Agung. Semuanya itu terlukis dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Namun demikian cetusan segala lambang tersebut dibuat demikian halusnya, hingga mata publik kadang-kadang sulit akan dapat memahaminya. Satu-satunya yang jelas dan memudahkan dugaan tentang adanya hubungan dengan suatu perkawinan ialah, bahwa semua penarinya dirias sebagai lazimnya mempelai akan dipertemukan. Tentang hal kata-kata yang tercantum dalam hafalan nyanyian yang mengiringi tarian, jelas sekali menunjukkan gambaran curahan asmara Kangjeng ratu, yang merayu dan mencumbu. Bila ditelaah serta dirasakan, maka menurut penilaian atau pandangan pada masa kini, kata-katanya mungkin sekali dianggap kurang senonoh, sebab sangat mudah membangkitkan rasa birahi. Tentang kapan dimulainya pergelaran Bedhoyo Ketawang ini diadakan untuk peresmian peringatan ulang tahun kenaikan tahta Sri Susuhunan, belum ada yang dapat dipakai sebagai pedoman. Aslinya pergelaran ini berlangsung selama 2 1/2 jam. Tetapi sejak jaman Sinuhun Paku Buwana X diadakan pengurangan, sampai akhirnya menjadi hanya 1 1/2 jam saja. Bagi mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan yang khudus ini terjadi suatu kewajiban khusus. Sehari sebelumnya para anggota kerabat Sinuhun menyucikan diri, lahir dan batin. Peraturan ini di masa-masa dahulu ditaati benar. Meskipun dirasa sangat memberatkan dan meyusahkan, namun berkat kesadaran dan ketaatan serta pengabdian pada keagungan Bedhoyo Ketawang yang khudus itu, segala peraturan tersebut dilaksanakan juga dengan penuh rasa tulus dan ikhlas. Yang penting ialah, bahwa bagi mereka ini Bedhoyo Ketawang merupakan suatu pusaka yang suci. Untuk inilah mereka semua mematuhi setiap peraturan pengaturan yang berlaku.
Bagi para penari ada peraturan yang lebih ketat lagi, sebab menurut adat kepercayaan, mereka ini akan langsung berhubungan dengan Kangjeng Ratu Kidul. Karena itu mereka juga selalu harus dalam keadaan suci, baik pada masa-masa latihan maupun pada waktu pergelarannya.Sebagai telah dikemukakan di depan, Kangjeng ratu Kidul hanya dapat dirasakan kehadirannya oleh mereka yang langsung disentuh atau dipegang, bila cara menarinya masih kurang tepat. Oleh karena itu, pada setiap latihan yang diadakan pada hari-hari Anggarakasih (Selasa Kliwon), setiap penari dan semua pemain gamelan beserta suarawatinya harus selalu dalam kondisi suci.Persiapan-persiapan untuk suatu pergelaran Bedhoyo Ketawang harus dilakukan sebaik-baiknya, dengan sangat teliti . Bila ada yang merasa menghadapi halangan bulanan, lebih baik tidak mendaftarkan diri dahulu. Selain sejumlah penari yang diperlukan selalu diadakan juga penari-penari cadangan. Bila para penari ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan. Karena itu dipandang lebih bijaksana untuk memilih penari-penari yang sudah cukup dewasa jiwanya, sehingga kekhusukan dan ketekunan menarinya akan lebih dapat terjamin. Keseluruhan ini akan menambah keagungan suasananya.
IKLAN GAMBAR
4. Sakral
Bedhoyo Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratu diantara seluruh mahluk halus. Bahkan orang pun percaya bahwa setiap kali Bedhoyo Ketawang ditarikan, sang pencipta selalu hadir selalu hadir juga serta ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya pada mereka yang peka saja sang pencipta menampakkan diri.Konon dalam latihan-latihan yang dilakukan, sering pula sang pencipta ini membetul-betulkan kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka penari yang bersangkutan saja yang merasakan kehadirannya.Dalam hal ini ada dugaan, bahwa semula Bedhoyo Ketawang itu adalah suatu tarian di candi-candi.
Tetapi menurut RT Warsadiningrat (abdidalem niyaga), sebenarnya Kangjeng Ratu Kidul hanya menambahkan dua orang penari lagi, sehingga sembilan orang, kemudian dipersembahkan kepada Mataram.Menurut beliau, penciptanya adalah Bathara Guru, pada tahun 167. Semula disusunlah satu rombongan, terdiri dari tujuh bidadari , untuk menarikan tarian yang disebut "Lenggotbawa". Iringan gamelannya hanya lima macam; berlaras pelog, Pathet lima, dan terdiri atas:
1. gending - kemanak 2, disesuaikan jangga kecil / manis penunggul;
2. kala - kendhang
3. sangka - gong
4. pamucuk - kethuk
5. sauran - kenong.

Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Bedhoyo Ketawang disebut juga Ketawang Gedhe. Gendhing ini tidak dapat dijadikan gendhing untuk klenengan, karena resminya memang bukan gendhing, melainkan termasuk tembang Gerong Gamelan iringannya, sebagai telah dijelaskan di depan, terdiri dari lima macam jenis: kethuk, kenong, kendhang, gong dan kemanak. Dalam hal ini yang jelas sekali terdengar adalah suara kemanaknya. Tarian yang diiringi dibagi menjadi tiga adegan (babak). Anehnya, di tengah-tengah seluruh bagian tarian larasnya berganti ke slendro sebentar (sampai dua kali), kemudian kembali lagi ke laras pelog, sampai akhirnya. Pada bagian (babak) pertama diiringi sindhen durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari keluar dan masuk lagi ke Dalem Ageng Prabasuyasa alat gamelannya ditambah dengan rebab, gender gambang dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana. Selama tarian dilakukan sama sekali tidak digunakan keprak. Keluarnya penari dari Dalem Ageng Prabasuyasa menuju ke Pendapa Ageng. Sasanasewaka, dengan berjalan berurutan satu demi satu. Mereka mengitari Sinuhun yang duduk di singgasana (dhampar) .Demikian juga jalannya kembali ke dalam. Yang berbeda dengan kelaziman tarian lain-lainnya, para penari Bedhoyo Ketawang selalu mengitari Sinuhun, sedang ia duduk di sebelah kanan mereka (meng- "kanan" kan). Pada tarian Bedhoyo Ketawang biasa, penari-penari keluar-masuk dari sebelah kanan Sinuhun, dan kembali melalui jalan yang sama.



GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search