Pandangan Tentang Etika
Al-Ghazali juga membahas tentang etika yang dapat dilihat pada ajaran tasawufnya. Menurut Al-Ghazali orang sufi benar-benar berada diatas jalan yang benar, berakhlak yang baik dan berpengetahuan yang benar.
Mengenai tujuan pokok etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal, al-takhluq bitakhalluq bi-akhlaqillahi ’ala thaqatilbasyariyah, atau pada semboyannya yang lain, al- isyafu bi-shifatirrahman ala thaqalil-basyariyah.
Maksud semboyan itu ialah agar manusia sejauh kesanggupan meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun, (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ihklas, beragama, dsb.
Dalam Ihya ’Ulummuddin itu Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa dan haji, kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan rohani.
Al-Ghazali melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa akrabnya (taqarrub) terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsipIslam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi sekalian alam. Dalam hal ini ia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali.
Al-Ghazali, sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar dimana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan.
Bagai mana cara ber-taqarrub kepada Allah itu, Al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Di antaranya yang penting ialah Al-muraqabah, yakni mereka diawasi terus oleh Tuhan, dan al-muhasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri.
Menurut Al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan yaitu kepuasan dan kebahagiaan (lazzat dan sa’adah ). Kepuasan ialah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang yang merasakan kebahagiaan.
Ahkirnya kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa syak sedikit juga, dengan penyaksian hati, yang sangat yakin (musyahadatul galbi). Apabila sampai kepada penyaksian itu, manusia akan merasakan suatu kebahagiaan yang begitu memuaskan sehingga sukar dilukiskan.
Al-Ghazali menyatakan dengan terus terang bahwa ia telah beberapa kali mengalami sendiri penyaksian itu.
KEBESARAN AL-GHAZALI
Al-Ghazali dipandang sebagai ahli pikir Islam yang mampu meninggalkan pengaruh yang besar dan memunculkan modal baru dalam. Al-Ghazali hidup pada masa para ulama fikih serta ilmu kalam mengajarkan kepada masyarakat upacara-upacara lahiriah belaka. Sedangkan para ahli filsafat Islam dan tasawuf tidak dapat melepaskan dirinya dari pertalianmereka dengan syiah batini. Dalam keadaan seperti ini, Al-Ghazali muncul dengan pemikiran kefilsafatan dan pemahaman agam tanpa mengikuti aliaran atau mazhab tertentu.
Ia sendiri hidup dalam masa, di mana jiwa keislaman yang sebenarnya sudah merosot sedemikian rupa, dan keimanan akan pokok kenabian dan hakikatnya, serta mengamalkan ajaran-ajarannya sudah mengalami kekendoran. Kekrisisan agama sudah menimpa orang banyak dan mereka hampir-hampir binasa, sedang dokter pengobatnya tidak ada. Maka keperluan akan pembaharuan agama mendesak sekali yaitu yang dapat memberikan nilai-nilai rohaniah serta moral terhadap perbuatan-perbuatan lahir. Pembaharu tersebut tidak lain adalah Al-Ghazali.
Ulama kalam sebelum Al-Ghazali telah memerangi filsafa, tetapi tidak ada seorang pun yang dapat mengubahkan filsat dari dasarnya sama sekali dengan metode yang teratur rapi, seperti yang dikerjakan oleh Al-Ghazali. Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, ia telah menguji setiap pikiran filsafat dan menunjukkan kelemahannya. Meskipun memerangi filsafat, namun ia tetap seorang filosof yang kadang-kadang menjelaskan kepercayaan Islam berdasarkan teori-teori Platonisme. Ia juga mengikuti pikiran-pikiran al-Farabi dan Ibnu Sina tentang kejiwaan, sebagaimanaia tetap setia kepada logika Aristoteles, dan selalu mengemukakan dalil-dalil pikiran di samping dalil-dalil syara’, sampai pun dalam soal-soal kepercayaan. Meskipun ia selalu berbeda dengan filosof-filosof, namun perbedaan itu kadang-kadang dalam istilah dan pikirantertentu, yang boleh jadi dalam bukunya yang lain dipertahankannya.
Al-Ghazali juga menentang ilmu kalam dan ulama kalam, namun ia tetap menjadi seorang tokoh kalam. Tantangannya hanya ditujukan kepada tingkah laku mereka dan kejauhan hati mereka dari agama yang dipertahankan oleh mereka dengan mulut.
Al-Ghazali juga mengambil jalan tasawuf, tetapi membebaskan tasawuf dari setiap tindakan yang dapat menjauhkannya dari Islam, seperti pikiran hulul (Tuhan bertempat pada manusia), ittihad (menunggalnya manusia dengan Tuhan),dan wihdat al-wujud (kesatuan wujud-wujud itu hanya satu, yaitu Tuhan). Al-Ghazali juga dengan jelas menentang pikiran tasawuf yang mengatakan bahwa seorang tasawuf apabila telah mencapai tingkatan ma’rifat, tidak lagi mengenal batas larangan dan sudah menjadi bebas dari ikatan-ikatan Syara’.
Dalam setiap langkahnya, baik berhadapan dengan filosof atau dengan ulama kalam atau orang-orang tasawuf, ia hanya mempunyai tujuan satu saja, yaitu menghidupkan semangat baru bagi Islam.
Referensi Buku : Sudarsono,. 1997, Filsafat Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Custom Search