Selasa, 07 April 2015

Bentuk-bentuk Bangunan Kraton dan Praksis Kehidupan.

Apabila tata letak secara keseluruhan bangunan Kraton Yogyakarta lebih merupakan sebagai simbol idealisasi jalan hidup manusia dalam mencapai kesempurnaan melalui konsep sangkan-paran dan manunggaling kawula lan Gusti, nama, bentuk dan fungsi masing-masing bangunan Kraton lebih memberikan makna metafisis, bagaimana jalan hidup yang ideal itu dapat diterapkan dan dihayati dalam kehidupan sehari-harinya. makna bentuk-bentuk bangunan lebih merupakan sebagai simbol dan visualisasi praksis kehidupan.
Pada dasarnya menurut serat selokapatra hanya ada dua bangunan utama dalam keraton, yakni bangsal dan regol. Yang dimaksud regol adalah pintu gerbang menuju suatu bangsal menurut Baoesastra djawa adalah bangunan terbuka yang besar di kraton, sedang bangunan yang tertutup (berdinding) disebut gedhong. Namun secara lebih rinci didalamnya terdapat banyak bangunan-bangunan, halaman-halaman dan lapangan-lapangan.Luas kraton Yogyakarta adalah 14.000 m². Kita mulai dari halaman kraton ke utara:
1. Kedaton/Prabayeksa
2. Bangsal Kencana
3. Regol Danapratapa (pintu gerbang)
4. Sri Manganti
5. Regol Srimanganti (pintu gerbang)
6. Bangsal Ponconiti (dengan halaman Kemandungan)
7. Regol Brajanala (pintu gerbang)
8. Siti Inggil
9. Tarub Agung
10. Pagelaran (tiangnya berjumlah 64)
11. Alun-alun Utara dihias dengan
12. Pasar (Beringharjo)
13. Kepatihan
14. Tugu
Angka 64 itu menggambarkan usia Nabi Muhammad 64 tahun Jawa, atau usia 62 tahun Masehi. (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
Kalau dari halaman kraton pergi ke selatan maka akan kita lihat:
15. Regol Kemagangan (pintu gerbang)
16. Bangsal Kemagangan
17. Regol Gadungmlati (pintu gerbang)
18. Bangsal Kemandungan
19. Regol Kemandungan (pintu gerbang)
20. Siti Inggil
21. Alun-alun Selatan
22. Krapyak
keterangan:
1. Regol =pintu gerbang
2. Bangsal =bangunan terbuka
3. Gedong =bangunan tertutup (berdinding)
4. Plengkung =pintu gerbang beteng
5. Selogilang =lantai tinggi dalam sebuah bangsal semacam podium rendah, tempat duduk Sri Sultan atau tempat singgasana Sri Sultan
6. Tratag =bangunan, biasanya tempat berteduh, beratap anyam-anyaman bamboo dengan tiang-tiang tinggi, tanpa dinding. Di pemerintahan Sri Sultan H.B. VII semua tratag kraton dimuliakannya dan diberi atap seng, tetapi arsitekturnya tetap tak berubah.
(http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
Di lingkungan kraton Yogyakarta terdapat banyak bangunan  bangsal yang besar dan luas. Di sekeliling alun – alun terdapat bangsal yang berjumlah 12, suatu hal yang mengingatkan kewajiban rakyat untuk menyerahkan upeti (pajak) setahun sekali, yang harus dilaksanakan menjelang bulan yang ke -12.
Tiap – tiap bangunan memiliki nama dan bentuk sesuai dengan fungsi masing – masing. Pada dasarnya makna simbolik bentuk – bentuk bangunan itu dimaksudkan untuk mengingatkan kepada setiap orang agar  senantiasa ingat akan tuhan, setia, hormat, dan mantap mengabdi raja sebagai personifikasi tuhan di dunia. Bentuk bangunan kutuk ngambang misalnya, seperti tampak dalam bangunan gedhong prabayaksa (prabasuyasa), yang tepatnya berbentuk limasan sinom lambing gantung rangka kutuk ngambang  mengandung makna simbolik untuk mengingatkan agar tidak mengambang dan tidak ragu – ragu dalam mengabdi raja. Bentuk bangunan trajumas terdapat pada bangunan bangsal trajumas. Kata trajumas atau trajukencana mengandung makna hati yang suci, bersih, tanpa salah (traju: timbangan, mas atau kencana : suci atau bersih). Maksudnya apabila raja duduk di bangsal trajumas, yang terletak  di halaman bangsal Sri Manganti ini, hatinya akan bersih suci sehingga segala perkataannya selalu benar. Oleh karena itu, bangsal ini dipakai untuk mengangkat patih sehingga di tempat ini diharapkan agar raja tidak salah pilih dalam mengangkat patih. (Daliman, 2001:17)
Kata ‘kencana’ pada bangunan Bangsal Kencana mengandung makna sifat-sifat atau unsur-unsur yang bercahaya. Bangunan Bangsal Kencana menjadi lambang menyatunya antara kawula (hamba) dan Gusti (Tuhan), Sang Cahaya Sejati. Maka dari itu berdirinya Bangsal Kencana ditandai dengan candrasengkala: “Trus satunggal pandhita-ningrat” yang bermakna tahun 1719 Jawa atau 1797 Masehi. Bentuk bangunan bangsal ini adalah joglo Mangku Rat dengan atapnya bersusun tiga merenggang: atas brunjung, tengah penanggap, dan bawah penitih, yang antara penanggap dan penitih dihubungkan dengan balok yang disebut lambangsari. Jumlah tiangnya (saka) sebanyak empat puluh empat buah, dan empat diantaranya terletak di tengah sebagai tiang utama (saka guru). (Daliman, 2001:17)
Symbol keillahian ditunjukkan pula oleh bangunan besar bercat kuning yang terletak di sebelah kanan Gedhong Prabayaksa dan disebut Gedhong Jene (Gedhong Kuning). Kuning adalah warna segala sesuatu yang bersifat ketuhanan. Bangunan gedung ini menjadi symbol tempat roh-roh yang telah menikmati rasa hening, bening, dan murni, yakni surga abadi. Seperti halnya Gedhong Prabayaksa, bangunan Gedhong Jene menggunakan bentuk limasan sinom lambang gantung rangka kutuk ngambang. (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
Regol memberikan lambang bahwa orang masuk Kraton dan mengabdi raja untuk mendapatkan kebaikan, keselamatan, serta kesejahteraan lahir-batin dari raja. Gelar Sinuwun (tempat nyuwun: meminta, dan nenuwun: memohon) menjelaskannya. Regol Brajanala (braja berarti tajam dan nala berarti hati) mengandung makna symbolic bahwa orang yang mengabdi raja harus dengan ketajaman hati mau mempercayakan diri kepada raja dan tak usah khawatir karena raja sebagai wakil dan alat Tuhan Yang Mahakuasa akan menjalankan hukum Negara secara benar dan adil. Regol Sri Manganti (menganti berarti menanti) yang berbentuk Semar Tinandhu memiliki makna bahwa semua rakyat menunggu berkah dari raja dengan berdoa siang dan malam agar raja selamat dan sejahtera. Di seluruh Kraton terdapat lima regol. (Daliman, 2001:18)
Fungsi bangunan disesuaikan dengan bentuk, kegunaan, dan kepentingannya. Demikian pula bangunan-bangunan di lingkungan Kraton fungsinya disesuaikan dengan kebutuhan Kraton seperti untuk menunjukkan keagungan raja, tempat berdialog dengan rakyat, dan tempat pengadilan, dan lain-lain.
Bangsal Witana misalnya dimaksudkan untuk menggambarkan keagungan raja yang disimbolkan serta divisualisasikan dalam kesemarakan dan kebesaran Kraton. Bangsal ini terletak di tengah-tengah Sitinggil, berbentuk joglo tajuk Mangku Rat dan terdapat banyak ukiran dengan prada kuning, emas, dan merah yang menggambarkan pertemuan Panembahan Senapati dengan Ratu Kidul. Kata witana berasal dari kata: wiwit (mula) dan ana (ada). Hal ini mengandung makna bahwa raja dalam memulai segala sesuatu senantiasa diawali dengan samadi untuk memperoleh pikiran dan hati jernih, sehingga apa yang dilakukan sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Murah yang senantiasa menjamin keselamatan raja dan rakyatnya. Saat samadi raja dihadap abdi dalem Keparak yang duduk di depan bangku penyangga kaki Sri Sultan. Hal ini mengandung arti bahwa Sri Sultan sudah keparek (dekat) dengan Tuhan, untuk atas nama-Nya menjalankan hukum Negara bagi rakyatnya. (Daliman, 2001:18)
Bangsal Mangunturtangkil yang terletak di tengah-tengah Bangsal Witana berfungsi sebagai tempat raja sinewaka pada saat grebegan. Makna mangunturtanggil ialah tempat yang tinggi untuk anangkil, yakni menghadap Tuhan untuk bersamadi atau mengheningkan cipta agar Tuhan berkenan memberikan berkah keselamatan kepada rakyat yang sowan untuk mendoakan keselamatan raja dan Negara. (Daliman, 2001:18)
Dalam bersemadi raja disertai dengan Sembilan ampilan dalem (regalia) yang dibawa oleh Sembilan manggung, gadis pembawa benda upacara tersebut. Angka Sembilan mengingatkan sifat semadi yang harus menyatukan seluruh kepribadian dihadapan Illahi dengan menutup wiwara sanga (kesembilan lubang) dalam dirinya untuk dapat memohon kesembilan keutamaan seorang raja sebagai dilambangkan dengan kesembilan ampilan dalem (regalia), ialah (1) banyak (angsa)sebagai symbol kesucian dan kewaspadaan; (2) dhalang (kijang): symbol kebijaksanaan; (3) sawung (ayam jantan): symbol keberanian, (4) galing (merak): symbol kewibawaan; (5) hardawalika (naga): symbol penyangga atau pembawa tanggung jawab; (6) kacu mas (saputangan emas): symbol penghapus segala kotoran atau dosa duniawi; (7) kutuk: symbol daya pesona; (8) kandil: symbol terang bagi rakyat; dan (9) saput (tempat segala macam alat): symbol kesiap-siagaan. Kesembilan warna pakaian abdi dalem manggung bermakna kesembilan cahaya yang dapat dilihat orang dalam saat samadi. Candrasangkala berdirinya Gedhong Prabasuyasa, tempat pusaka-pusaka Kraton, yang berbunyi: “warna sanga rasa tunggal” (1694 tahun Jawa) kiranya mendukung penjelasan termaksud. (Daliman, 2001:18)
Tempat pengadilan dilaksanakan di Bangsal Agung dan di Balemangu. Bangsal Agung sering disebut juga Pagelaran Bangsal Agung. Letaknya di Selatan alun-alun membujur ke Selatan, dan berada di sebelah Timur dan Barat Tratag Rambat, keduanya sama besar. Fungsinya pada waktu dahulu ialah untuk menggelar pengadilan kerajaan. Pengadilan hukum agama mengenai warisan dilaksanakan di Balemangu. Bangsal ini letaknya mengapit regol mesjid. (Daliman, 2001:19)

Demikianlah secara singkat pengungkapan beberapa makna simbolik bangunan Kraton. Sekalipun tidak menyeluruh, diharapkan cakupan makna metafisisnya telah mampu menggambarkan bagaimana raja dan rakyat bersatu mewujudkan manunggaling kawula (rakyat) lan Gusti (raja) menghayati dan melaksanakan tugas pengabdian kepada kerajaan (Negara) dengan mendasarkan diri pada konsep sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan makhluk manusia, ialah Tuhan YME, Allah SWT). Raja dengan kebijaksanaan (kawicaksanaan dan kawaskithan)-nya yang jauh ke depan memberikan arah, teladan, serta bimbingannya, sedang rakyat dengan ikhlas mengabdikan seluruh pribadinya bagi kebesaran serta kejayaan Negara dan bangsa.

GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search