Minggu, 14 Desember 2008

MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL REOG PONOROGO

"Inilah Negeriku, Negeri cintaku, Indonesiaku.. Apabila aku menyaksikan budaya-budaya di sini, aku selalu melihat berbagai keindahan. Niscaya kamu akan mengira keindahan-keindahan ini.. mutiara yang bertaburan. Apabila aku meresapi makna dari budaya-budaya di negeri ini, aku pasti akan berkata betapa luhurnya negeri ini. Budaya ini milikku... warisan dari para leluhurku... maka aku akan melakukan yang terbaik yang dapat aku lakukan dan aku pastikan tak akan ada yang mampu merebutnya dariku...karena Budaya ini Jiwaku... Budaya ini Ragaku... dahulu, kini, nanti dan Selamanya...

Tema :
“Ponorogo di Matamu”


MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL REOG PONOROGO
Sesuatu yang Spesial dari Indonesia
(oleh: Muzdakir Muhlisin, Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM)
kata kunci (keyword): reog, ponorogo, dan grebeg suro


Dari judul yang saya angkat di atas dapat diketahui bahwa Objek Material atau bahan kajian pada karangan bebas yang saya buat kali ini adalah “REOG PONOROGO”, sedangkan Objek formal atau sudut pandang yang saya gunakan adalah “LOCAL WISDOM” atau “KEARIFAN LOKAL”. Bagi saya, Reog Ponorogo tidak sekedar tradisi pertunjukan tetapi juga salah satu kesenian budaya yang penuh makna dan nilai-nilai luhur dari bangsa Indonesia untuk menghayati kehidupan ini secara penuh. Makna kehadiran kesenian Reog ini bukan hanya pada keindahan dan kekhasan dari sisi penampilannya yang memang menjanjikan kemegahan, tetapi lebih dari itu adalah pada nilai-nilai kultural atau kearifan lokal yang visualisasinya nampak dalam simbol-simbol fragmen tarian yang disajikan dalam penampilan kelompok reog yakni tari warok, Tari jathil, Bujangganong, Tari Klana, dan Topeng Dadak Merak. Melalui pementasan tersebut nilai-nilai luhur yang hendak disampaikan, divisualisasikan agar meresap di dalam diri setiap generasi dalam memperjuangkan martabat bangsa.

Local Wisdom atau kearifan lokal merupakan penanda yang menunjukan identitas kita yang berbeda dengan suku bangsa yang lain. Dengan perspektif local Wisdom dapat diketahui bahwa secara epistemologi Nusantara tidak sampai wilayah Malaysia, Singapura, Thailand dan negara-negara lainnya. Term “Nusantara” melambangkan kekhasan yang membedakan budaya Indonesia dengan budaya bangsa lain bahkan dengan bangsa serumpun seperti Malaysia sekalipun. Meskipun secara politik dalam sejarah sama tapi yang membedakan Indonesia dengan negara lain adalah Lokal Wisdom atau kearifan lokalnya. Local Wisdom, “aku adalah aku” dalam kaitannya dengan Epistemologi (Pengetahuan), Metafisika (Makna yang tersirat pada Simbol-simbol reog tersebut) dan Axiologi (nilai-nilai luhur yang melatarbelakangi pertunjukan reog tersebut). Kearifan lokal inilah yang membedakan antara budaya kita dengan yang lain.






INSPIRASI HARI INI



"AKU TIDAK INGIN MATI SAMPAI AKU SECARA TEPAT BERBUAT YANG TERBAIK UNTUK NEGERI INI SEMAMPU BAKATKU
DAN KAN SELALU KU JAGA WARISAN PARA LELUHURKU
DENGAN JIWA DAN RAGAKU SAMPAI NAFAS TERAKHIR BERHEMBUS DALAM KEHIDUPANKU


Reog ponorogo beberapa waktu lalu menjadi bahan pembicaraan karena di-klaim sebagai warisan budaya Malaysia. Sebenarnya kontroversi ini secara faktual dapat diselesaikan dengan menganalisis runtut sejarah asal-mula budaya reog tersebut dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya. Malaysia bisa saja memainkan tarian reog tersebut sefasih dengan yang dilakukan oleh masyarakat Ponorogo akan tetapi tidak mampu menunjukan nilai-nilai yang melatarbelakangi seni pertunjukan reog ini diciptakan karena budaya ini khas Indonesia dimana budaya tersebut diciptakan sesuai nilai-nilai yang diyakini masyarakat setempat yakni masyarakat Ponorogo yang tidak terdapat di daerah lain. Kalau Malaysia berdalih bahwa Reog yang di sana dinamakan Barongan merupakan warisan suku Jawa yang bermigrasi ke negeri jiran tersebut maka Barongan tersebut sudah semestinya tidak boleh di klaim asal Malaysia dan hak kepemilikan dari suku Jawa yang bermigrasi tersebut atas budaya Reog telah gugur dengan sendirinya karena ia telah secara resmi keluar atau pindah kebangsaan dari negeri dimana Reog itu lahir dan berkembang yakni di Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia.
Hak kepemilikan Imigran Jawa dimalaysia itu saya katakan gugur karena Budaya Indonesia (Reog Ponorogo termasuk didalamnya) adalah budaya hasil karya asli Manusia Indonesia. Manusia Indonesia yang saya maksud adalah manusia Indonesia yang terdiri atas jiwa dan raga ke-Indonesiaan. Penduduk Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang diakui secara formal, mempunyai tradisi yang khas Indonesia, mempunyai karakter-karakter manusia Indonesia yang tercermin dalam budaya-budaya yang diciptakannya misalnya Reog ini dan termasuk juga karya-karya sastra pujangga Indonesia.
Meskipun demikian, yang saya maksud gugur disini bukan berarti para Imigran dari Jawa di Malaysia tersebut tidak boleh memainkan kesenian Reog. Mereka tetap diperbolehkan karena bagaimanapun darah mereka adalah darah Jawa, sampai mati mereka tetap keturunan Jawa. Akan tetapi mereka hanya diperbolehkan memainkan kesenian ini sebagai “Pewaris Budaya” secara personal bukan “Pewaris Budaya” dalam arti teritorial atau Negara sehingga tidak boleh dikomersilkan apalagi dipatenkan di Negara baru tempat ia tinggal saat ini. Kalau inggin mengkomersilkan Reog ini maka mereka (para Imigran) harus mendapatkan izin dan memberikan royalty kepada negara asal Reog ini lahir atau diciptakan, dalam hal ini adalah Indonesia karena Ponorogo secara teritorial berada di wilayah Indonesia. Kalau hal demikian tidak dilakukan maka krisis multidimensial dan disintegrasi bangsa dan negara akan semakin parah. Indonesia dan Negara-negara lain di dunia ini pun juga bisa meng-klaim budaya bangsa lain (budaya malaysia misalnya) dengan alibi yang sama bahwa ada Imigran Malaysia yang tinggal di Indonesia sebagai pewaris budaya dari negara asalnya. Kalau demikian apa gunanya HAK CIPTA COBA?. Reog itu yang menciptakan masyarakat Ponorogo dan diciptakan di Ponorogo, Indonesia pula. Jadi Sudah semestinya Budaya ini milik Ponorogo, milik Indonesia dong!. Kalau mau jadi pewaris resmi Reog ponorogo ya Pindah lah Ke INDONESIA.
Epistemologis dan Axiologis kearifan lokal reog mencakup pengetahuan dan sejarah asal-muasal terbentuknya budaya tersebut serta nilai-nilai luhur yang khas yang membedakan dengan bangsa lain. Reog Ponorogo tentunya memiliki nilai-nilai yang melatarbelakanginya berasal dari nilai bangsa Indonesia yang berbeda dengan Malaysia.Untuk menggali nilai-nilai yang tercermin dalam pertunjukan Reog Ponorogo, alangkah baiknya jika kita tahu sejarah yang melatarbelakanginya seperti yang saya kutip dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas berikut ini:
Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya.

Cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu diatas menurut saya melambangkan kepribadian baik manusia, yang selalu menggunakan suara hatinya agar selalu berbuat baik dan melarang perbuatan yang jahat yakni pesan politis Ki Ageng Kutu atas perilaku raja yang korup। Ia juga mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Kita tidak bisa memungkiri bahwa saat ini banyak terjadi tindakan korupsi. Oleh karena itu, menurut saya nilai-nilai luhur tersebut sangatlah bermanfaat untuk membangun kembali Indonesia yang lebih manusiawi, madani, bermartabat, lahir dan batin, serta lebih terhormat dalam tata pergaulan global.

Dari sedikit uraian diatas kiranya sudah jelas, bahwa Reog memang bukan penentu pokok baik atau tidaknya bangsa kita, mengingat banyak hal yang jauh lebih berpengaruh dalam hal ini. Namun, suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri pula, bahwa Reog ini akan banyak memberi pengaruh bagi masa depan bangsa karena nilai-nilai luhur yang tersirat didalamnya bisa menjadi bahan renungan bagi masyarakat agar dapat memperoleh kembali makna-makna hidup manusiawinya baik secara eksistensial maupun secara transidental.
Sampai hari ini, kita masih mendengar ungkapan bahwa bangsa kita adalah bangsa besar, dengan khazanah alam-lingkungan maupun alam-budaya yang Sangat kaya, namun jarang kita temukan orang yang dapat menjelaskan seperti apa kekayaan budaya yang kita miliki. (Damardjati Supadjar, 2001: -)
Pernyataan dari kutipan diatas bukanlah pernyataan yang tanpa ada bukti. Banyak kebudayaan bangsa kita yang tidak kita kenal. Kita baru merasa memiliki setelah kebudayaan tersebut diakui sebagai buah karya bangsa lain. Seperti kasus baru-baru ini, kita meluapkan emosi kita setelah lagu daerah, Batik, dan Reog kita diakui oleh malaysia. Padahal kita sendiri tidak mau mempelajari dan menghayati warisan kebudayaan yang kita miliki tersebut. Jangan sampai kasus-kasus diatas terulang pada kebudayaan kita yang lain.
Dari uraian-uraian yang telah saya jelaskan tersebut, saya dapat menarik kesimpulan bahwa Reog Ponorogo harus tetap kita jaga, kita lestarikan dan kita hayati makna yang terkandung didalamnya. Dengan penghayatan tentang pentingnya generasi-generasi yang tangguh dan bermoral semestinya Reog tidak kita tinggalkan begitu saja lantaran tidak modern. Perlu ditegaskan pula bahwa tidak semua yang kuno itu jelek dan sebaliknya tidak semua yang modern itu baik. Perlu adanya sintesa baru dalam akulturasi budaya khususnya. Budaya yang baik dipertahankan dan budaya yang mengancam kedaulatan bangsa harus ditinggalkan. Dengan demikian bangsa Indonesia akan mampu bersaing dengan bangsa lain. bangsa Indonesia akan tetap menjadi bangsa yang modern namun tetap religius dan berbudaya.
Reog, sering diidentikkan dengan dunia mistis dan kekuatan supranatural. Tapi kita tidak boleh memandang sebelah mata dan meng-cap reog hanyalah kebudayaan primitif. sebelum menganalisis pernyataan tersebut alangkah baiknya jika kita membaca terlebih dahulu kutipan berikut ini:
Tidak fair bila kita hanya mengungkapkan hal-hal muram dalam memandang dunia. Kesempatan dan peluang tetap terbuka lebar, bukan saja dalam ekonomi, ‘tradisional’ seperti pariwisata karena kita diberkahi dengan aset alam dan budaya yang jarang ada bandingannya (Ninok leksono, 2000: xvi)
Dari kutipan diatas saya harap kita bisa bersama-sama membuka mata hati kita bahwa dunia mistis tidak bisa dipandang melulu sebagai sesuatu yang tidak baik. Tradisi yang berbau mistis lainnya Grebeg Suro. Setiap tanggal 1 Muharam Suro, di kota Ponorogo diselenggarakan Grebeg Suro yang juga merupakan hari lahir Kota ini. Dalam acara Grebeg Suro ini diadakan Kirab Pusaka yang biasanya diselenggarakan sehari sebelum tanggal 1 Muharram. Pusaka peninggalan pemimpin Ponorogo jaman dulu,saat masih dalam masa Kerajaan Wengker tersebut diarak dari Makam Batoro Katong (pendiri Ponorogo) ke Pendopo Kabupaten. Dalam acara ini juga tersirat berbagai nilai-nilai luhur. Argumen ini akan saya tegaskan lagi dengan kutipan berikut ini
Dalam paham mistik ini, bukanlah tata lahir yang penting, akan tetapi kebersihan dan kejernihan batin sebagai faktor kondusif hidup di bumi demi tercapainya keteraturan kosmos. Untuk itulah dibutuhkan pengetahuan sejati, yang dapat dicapai dengan melatih rasa sebagai satu-satunya sarana, dalam konteks mana kehidupan moral akan dapat dihayati dengan pengambilan jarak terhadap dunia lahir, dunia kasar, yang fenomenal sifatnya.(Slamet Sutrisno, 1985:24)
Oleh karenanya kita harus tetap menjaga kekayaan kita tersebut. Tuhan Yang Maha Esa telah secara adil menebarkan bakat kepada manusia. Kita pasti berubah menjadi lebih baik bila kita mau berusaha sungguh-sungguh. Reog ini milik kita, budaya kita, tanggungjawab kita. Mari kita jaga dan kita lestarikan bersama-sama. Kita harus menjadikan budaya kita ini sebagai sebuah filosofi kehidupan, identitas bangsa yang tercermin dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menyelamatkan krisis multidimensial dan disintegrasi bangsa dan negara yang hingga kini belum menunjukan tanda-tanda teratasi. 





GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search