BIOGRAFI
Pada suatu
waktu, ketika hanya sedikit ahli agama yang mampu dengan seksama mengkaji
sebuah Hadis Rasul secara benar, itu pun hanya terbatas pada orang-orang tua,
al-Ghazali telah diangkat sebagai seorang Profesor pada universitas terkenal,
Nizhamiyah di Baghdad, saat ia berusia tiga puluh tiga tahun. Intelektualitasnya benar-benar berada di
tingkatan yang sulit dilampaui dalam Islam. Baginya, obyek pendidikan yang
sebenarnya tidak semata untuk memberikan informasi, tetapi juga memberikan
stimulasi terhadap kesadaran batin, sebuah konsep yang sangat revolusioner bagi
pengajaran yang ada saat itu. Ia telah mengemukakan teorinya itu dalam bukunya,
Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama). Dibanding Rumi (yang baru
menyatakan tentang batas-batas puisi setelah menjadi penyair besar), al-Ghazali
saat itu telah mampu menunjukkan keterpelajarannya. Tak kurang dari tiga ratus
ribu Hadis Nabi saw. ia hafal, dan telah mendapat predikat Hujjatul-Islam
(Pembela Islam).
Kekuatan-kekuatan intelektualnya yang telah menyatu dengan kegelisahan
pikirannya, seperti yang ia kemukakan dalam tulisan-tulisan otobiografinya,
membuatnya melakukan penyelidikan tanpa kenal lelah pada setiap dogma dan
doktrin yang ia rasakan bertentangan. Ini semua dilakukan pada saat ia masih muda
belia.
Selama masih mengajar, al-Ghazali telah membuat kesimpulan bahwa canon
law, prinsip utama hukum (seperti yang telah ia tulis dalam buku-buku yang
terpercaya) adalah basis yang tak cukup untuk mewadahi realitas, dan ia pun
jatuh ke dalam Skeptisisme.
Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, al-Ghazali menggunakan dua belas
tahun periode darwisnya — untuk mengembara dan melakukan meditasi, kembali ke
latar belakang Sufinya untuk menemukan jawaban-jawaban yang tidak ia dapati
dari dunia kebiasaan yang berlaku.
TEORI
Ia menjelaskan bahwa segala sesuatu memiliki arti “bagian luar” dan arti
“bagian dalam”. Keduanya tidak dapat beroperasi
bersama-sama, walaupun keduanya bekerja secara konsisten dalam berbagai segi
masing-masing. Versi yang berlaku dalam kelompok-kelompok umum, itu benar,
tidak mengandung penafsiran yang dirancang oleh perwakilan-perwakilan
persaudaraan kaum darwis yang ada; tetapi itu hanya karena kunci untuk membuka
buku yang luar biasa itu tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata, karena ia
merupakan sebuah bentangan pengalaman pribadi. Dengan kata lain, itu praktek yang merupakan hasil
spesialisasi Sufi.
Teknik-teknik
Sufisme tertentu untuk mencapai kemampuan mempelajari dan pembelajaran itu
sendiri, seperti hikmah yang merupakan pencapaian terakhir, adalah hasil
pendekatan kongkret. ‘Ada
banyak tingkat pengetahuan,” tandas al-Ghazali. “Manusia secara fisik semata
laksana semut berjalan di atas kertas, yang mengamati tulisan tinta dan hanya
menghubungkan penulisannya dengan pena.” (Kimiyya’us-Sa’adah).
Apa hasil
spesialisasi ini, selama dunia menjadi perhatian? Al-Ghazali menjawab dengan
istilah-istilah khusus dalam Kimiyya. Sebagian orang mengendalikan tubuh
mereka sendiri. “Para individu yang mencapai
puncak kemampuan tertentu itu (mampu) mengendalikan tubuh mereka sendiri,
demikian pula terhadap orang lain. Seandainya sebuah cacat di tubuh mereka
ingin dipulihkan, maka ia tentu memulihkannya … Mereka mempunyai daya tarik atas orang lain karena
suatu pengaruh kehendak.”
Ada tiga kualitas sebagai hasil dari spesialisasi Sufi yang dapat
diungkapkan dengan istilah yang dapat dipahami pembaca awam:
- Kemampuan ekstra
persepsi, yang secara dasar dikerahkan.
- Kemampuan
mengeluarkan diri dari lingkungannya.
- Kesadaran langsung
atas pengetahuan. Bahkan apa yang biasanya sulit dicapai, mereka
memahaminya melalui iluminasi atau pengamatan batiniah.
Al-Ghazali menjelaskan, manusia mampu hidup dalam beberapa taraf yang
berbeda. Manusia biasanya tidak cukup tahu tentang kemampuannya untuk
membedakan. Manusia (biasanya) berada pada salah satu taraf berikut ini. “Taraf
pertama, ketika ia seperti seekor ngengat. Mempunyai penglihatan, tapi tidak
mempunyai memori. Ia akan terus-menerus melapukkan (kain) dengan cara yang sama.
Taraf kedua, ibarat seekor anjing, walaupun sedang lelah ia akan lari
tunggang-langgang ketika melihat sebuah tongkat (pemukul). Taraf ketiga,
seperti seekor kuda atau domba, keduanya akan segera lari ketika melihat seekor
singa atau serigala yang merupakan musuh alami mereka. Namun keduanya tidak
akan lari karena seekor unta atau kerbau, meskipun hewan tersebut lebih besar
dari musuh turun-temurunnya itu.” Taraf keempat, manusia sepenuhnya melampaui
keterbatasan-keterbatasan binatang tersebut. Kini ia mampu menggunakan beberapa
kedalaman pandangan inderawi secara fungsional. Hubungan antara taraf yang
berkenaan dengan daya penggerak tersebut dapat disetarakan dengan:
- Berjalan di atas tanah.
- Menumpang perahu.
- Naik kereta.
- Berjalan di atas laut.
Selain semua
ini, ada yang mungkin menyatakan bahwa pada fase tertentu manusia dapat terbang
di udara dengan kekuatan dirinya sendiri.
Orang biasanya
berada pada salah satu dari dua taraf yang pertama. Dalam hal ini mereka tidak
bertahan sebagaimana seharusnya. Dalam keadaan statis, mereka senantiasa bertentangan dengan orang-orang
yang senantiasa dinamis.
Dalam karya metafisisnya, al-Ghazali jarang sekali mempersulit diri untuk
memaksa orang mengikuti langkah Sufi. Namun, dalam satu ulasan pendek, ia
benar-benar menandaskan satu argumen: “Jika apa yang dikatakan para Sufi itu
benar — bahwa ada upaya sangat penting dalam hidup yang menunjuk suatu hubungan
dengan masa depan manusia — maka ada banyak perkara di dunia masa depan itu. Di
sisi lain, jika tidak ada hubungannya, maka sama sekali tidak ada persoalan.”
Oleh karena itu, al-Ghazali mengajukan, “Tidakkah lebih baik membebaskan
prasangka itu dengan menunjukkan sudut pandang tersebut? Selebihnya akan sangat
terlambat.”
Apabila seseorang memahami tentang cinta religius, ia tentu akan
mengungkapkannya dengan cara sendiri, bukan menurut cara yang lazim bagi
orang-orang yang tidak mengetahuinya. Setiap orang akan terangkat
(kedudukannya) atau sebaliknya sesuai dengan kemampuan dirinya dan apa yang
diakrabinya.
DIRI
“Diri” adalah suatu serapan personalitas manusia, yang digunakan untuk
menangkap kesan-kesan dan mempergunakan kesan-kesan untuk pemuasan (jiwa),
namun juga berarti kualitas individu yang batiniah dan hakiki. Menurut
kapasitas ini, nama formanya berbeda sesuai dengan fungsinya. Manakala esensi
itu menjalankan secara benar reorganisasi kehidupan emosional dan mencegah
kebingungan, maka itulah yang dikenal sebagai “Diri yang Tentram” [an-Nafs
al-Muthma'innah]. Dalam penerapan kesadaran, ketika ia sedang menyadari
laki-laki atau perempuan sebagai materi yang berbeda, maka kesadaran itu
disebut “Diri yang Cenderung”. Namun dalam hal ini, ada persoalan yang sangat
pelik karena, untuk tujuan penjelasan dan pengajaran, “Diri yang Hakiki” itu
harus dinamai. Kendati demikian, pembedaan cara kerjanya sesuai dengan
penampilan dapat memberikan kesan bahwa ada sejumlah hal yang berbeda atau
bahkan ada tingkat perkembangan yang berbeda. Adalah absah merepresentasikan
proses itu sebagai tahap-tahap yang secara sadar disusun, tetapi paling jauh
hanya sebagai perbedaan ilustratif Kesadaran Sufi yang diterapkan secara benar
akan melihat berbagai tahap transmutasi hakikat itu dengan cara yang istimewa
dan khas, yang secara memadai, tidak disalin dengan terminologi yang lazim.
Manakala hakikat itu diterapkan secara normal bagi orang yang terbelakang
(secara mental), maka ia mengarahkan potensialitasnya pada mekanisme yang
(hanya) memperturutkan kepuasan-kepuasan bersahaja, dan kesadaran ini dikenal
sebagai “Diri yang Terpimpin”.
Al-Ghazali menandaskan, “Keadaan-keadaan khusus itu mudah dipahami dan
mengesankan bahwa setiap hal juga mudah dipahami. Akan tetapi ada
situasi-situasi yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang meniliknya dengan
suatu cara tertentu (yang istimewa). Ketidaktahuan pada (mekanisme) ini
menimbulkan kesalahan-kesalahan umum yang menganggap segala hal sebagai sesuatu
yang seragam.”
Dalam Ihya’ al-Ghazali menyatakan bahwa individu mengalami
tahap-tahap perkembangan batin yang analog dengan manusia yang tumbuh dewasa.
Perkembangan bertahap ini menyebabkan penggunaan cara-cara yang berbeda dalam
pengalamannya. Karena itu, seorang Sufi tidak membutuhkan pengalaman fisik
tertentu, sebab perkembangannya telah menyulih suatu kemampuan menjadi lebih
logis, pengalaman yang lebih bermutu. “Sebagai contoh, setiap tingkat kehidupan
ditandai dengan suatu kesenangan yang baru. Anak-anak senang bermain dan tidak
mempunyai konsepsi tentang perkawinan yang menyenangkan itu, yang akan mereka
alami suatu saat. Selanjutnya orang dewasa, pada waktu mudanya, tidak akan
mempunyai kemampuan (merasakan) kesenangan (memiliki) kekayaan dan kemasyhuran
yang dialami kelompok usia setengah baya. Kemudian yang terakhir ini, mungkin
menganggap kegembiraan terdahulu tidak lebih nyata daripada saat sekarang.
Individu pada perkembangannya, tentu, akan menyadari ketaksempurnaan,
ketidakpekaan atau kebiasaan sporadis masa remaja yang menyenangkan itu
dibandingkan dengan kemampuan-kemampuan apresiasi mereka yang baru.”
Kebahagiaan manusia
Kebahagiaan manusia, menurut al-Ghazali, secara berturut-turut menjalani
pemurnian sesuai dengan “keadaan wujud”-nya. Ajaran ini, yang tidak akan
terpahami pandangan manusia biasa tentang adanya bentuk standar kebahagiaan,
sebagai suatu abstraksi, merupakan suatu ciri-ciri yang kuat dari pengetahuan
Sufi.
Manusia mempunyai beberapa kemampuan, masing-masing menanggapi tipe
kesenangannya sendiri. Pada mulanya ada tipe fisikal. Demikian pula ada
fakultas moral, yang saya sebut akal sejati, yang menyenangi perolehan
pengetahuan sebanyak mungkin. Jadi ada kegemaran lahir dan batin. Demikian pula
keduanya akan dipilih menurut pemurniannya.
“Seorang
manusia yang mempunyai suatu kemampuan menerima kesempurnaan Wujud akan memilih
kontemplasi. Bahkan dalam kehidupan ini, kebahagiaan pengembara yang sejati
adalah tiada tara — lebih agung daripada yang
mungkin dibayangkan.”