Kamis, 12 Maret 2015

Rehabilitasi Dunia Pendidikan Menuju Wawasan Global

Berbicara mengenai pendidikan bagi bangsa Indonesia saat ini tak lepas dari berbagai masalah di dalamnya. Padahal sudah 63 tahun lebih kita merdeka dan pemimpin negeri ini pun sudah mengalami pergantian sebanyak empat kali. Namun tak bisa dipungkiri, untuk masalah pendidikan saja bangsa ini masih memerlukan pembenahan disegala aspek di dalamnya. Sebuah bangsa dapat dilihat perkembangan masa depannya dengan cara bangaimana bangsa itu menerapkan sistem pendidikan. Dapat dikatakan dan akui bahwa bangsa –bangsa diluar Indonesia seperti wilayah eropa—orang-orang menyebutnya bangsa Barat—ataupun asia—sekitar jepang, cina, korea, termasuk Malaysia dan lainnya yang saat ini terus berkembang pesat—meninggalkan kita sangat jauh. Mereka terus berupaya mengembangkan sistem pendidikan yang bervariasi, mereka ikut bersaing karna hal ini pun demi kemajuan bangsa mereka sendiri. Kembali berbicara mengenai pendidikan di Indonesia, ada salah satu contoh kasus yang belum lama ini terjadi. “Pemerintah menaikan standar nilai minimum untuk kelulusan dari 4,5 bagi setiap siswa menjadi 5, 01 ” (kompas.com : 5.12.2006) namun apa yang terjadi?! Hampir semua para pelajar Indonesia—siswa/siswi yang duduk dibangku SLTP ataupun SMA baik dari sekolah negeri ataupun swasta—takut mengahadapi ujian nasional yang menurut mereka “standar nilai kelulusannya terlalu tinggi”. Dari contoh kasus diatas dapat direnungkan. Apa yang salah dengan pendidikan di Indonesia sampai ini? Untuk meningkatkan standarisasi pendidikan agar setara dengan standar Internasional saja para pelajar merasa takut karna merasa cukup sulit. Adapun mereka yang paling banyak merasa keberatan akan keputusan pemerintah menaikkan satndar nilai adalah mereka yang tinggal dan belajar jauh dari kota, karna fasilitas belajar yang mereka dapatkan tidak sebaik dengan para pelajar yang belajar di kota. Untuk alasan ini patut dimaklumi karna kesejahteraan di Indonesia belum merata. Lalu selanjutnya muncul pertanyaan, “apakah berarti pemerintah salah dengan keputusan menaikan standar nilai?!” keputusan pemerintah menaikan standar nilai juga tidak dapat dikatakan salah, karna pemerintah mengeluarkan keputusan tersebut demi berkembangnya dunia pendidikan di Indonesia. Ada misskomunikasi antara pemerintah pusat denagn pemerintah daerah. Dimana dalam keputusan tersebut pemerintah daerah yang notabene masih tertinggal pendidikannya dipaksa ikut standar penilaian pendidikan yang ada di pusat yang lebih terfasilitasi segala aspeknya. Kini, Harus diakui wajib belajar 9 tahun yang dahulu menjadi tolak ukur pendidikan minimal bagi pelajar sudah sangat tidak relevan. Bagaimana tidak!? Yang belajar hingga pendidikan strata1 saja masih sulit mencari kerja, apalagi yang hanya SLTP?! Melamar kerja dimanapun, para pegawai bagian personalia (bagian perekrutan karyawan) akan berasumsi “hanya lulusan SLTP/SMA, bisa apa mereka?!”. Akhirnya adalah mereka hanya menjadi pegawai terendah di perusahaan tersebut. Moralitas yang rusak karena faktor eksternal. Harian Jogja, 14 Juli 2008. Tayangan TV favorit akan Hilang KPI menetapkan 4 tayangan TV bermasalah yaitu, Extravaganza, Ngelenong yuk, Suami-suami Takut Istri, dan One Piece. Diharapkan ke-4 acara ini dapat memperbaiki kualitas penyiarannya. Jika tidak maka akan dihentikan . . . . tayangan tersebut dianggap mengandung kekerasan, pelecahan terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu, tidak melindungi kepentingan anak-anak, tidak sesuai norma kesusilaan. Selain mempersoalkan isi tayangan, KPI juga mempermasalahkan waktu penyiaran. Acara yang ditayangkan pukul 19.00 s.d. 21.00 WIB sangat memungkinkan bagi anak-anak menyaksikan adegan yang dianggap tidak wajar tersebut. Acara-acara televisi yang kini ada sangat tidak berbobot. Masyarakat saat ini dicandui oleh acara-acara yang mengarahkan pola piker kepada hal-hal yang kurang penting. Acara yang membuat penontonnya terus tertawa, berkhayal, dan terjebak dalam khayalan dan kebodohan yang dihisap terus-menerus. Coba cek n ricek sejenak mengenai acara favorit yang paling banyak digemari masyarakat saat ini? Sinetron-A dan aktrisnya adalah si-B atau acara reality show yang menceritakan “hubungan sepasang muda mudi yang sedang konflik karna salah satu dari mereka ada yang selingkuh”. Atau acara lawak yang membuat para penontonnya untuk terus tertawa dan tanpa sadar karakter atau celotehan artis tersebut ditiru dalam kehidupan sehari-hari. Acara untuk anak-anak pun hanya film-film kartun yang membuat anak-anak berimajinasi namun tidak mengalami perkembangan berarti untuk kecerdasan otak si-anak. Acara-acara tersebut justru lebih mengarahkan anak-anak tuk mengidolakan sesuatu yang fiksi, lalu yang menjadi pembeli aktif barang-barang mengenai karakter film kartun tersebut yang dijual dipasaran. Mengarahkan pola pikir anak-anak menjadi manusia konsumtif. Tidak bermaksud menolak acara-acara tersebut, namun dari sini dapat dilihat bahwa ada yang kurang tepat dengan acara-acara dan juga waktu penayangan acara televisi yang disajikan kepada masyarakat saat ini. Sudah tak ada lagi “Dunia dalam Berita” yang dahulu disiarkan serentak diseluruh stasiun televisi yang memberitakan masalah-masalah nasional dan juga internasional. Acara debat atau sesuatu yang sifatnya mendidik justru disiarkan pada jam yang kurang tepat, yaitu waktu dimana ketika orang-orang sedang sibuk beraktivitas atau juga waktu ketika orang-orang sudah merasa kelelahan setelah beraktivitas dan beristirahat. Kebijakan dengan tujuan peningkatan yang masih kurang tepat. Baru-baru ini Depdiknas mengeluarkan terobosan baru dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan bangsa. Program dengan nama Buku Sekolah Berbasis Internet (BSE) dimaksudkan mempermudah untuk semua siswa/siswi dalam memperoleh informasi yang bersumber pada buku sebagai materi pelajaran disekolah. Namun program yang ini dinilai belum mampu menyentuh daerah pinggiran. Perpustakaan online tidak sebagai pilihan realistis untuk mayoritas siswa/siswi tingkat sekolah di Indonesia karena mereka tidak punya computer. Atau akses ke Internet di rumah dan waktu untuk menggunakan computer di sekolah sangat terbatas (Harian Jogja : 10.07.2008). Menanggapi masalah ini, sebaiknya selain terus mengupayakan kemudahan akses untuk para pelajar dalam mengakses internet Depdiknas juga harus tetap mempertahankan perpustakaan sekolah di semua sekolah dan juga mensubsidi buku-buku yang bermutu dalam jumlah yang cukup. Tenaga pendidik yang kurang bermutu Faktor pendidik juga menjadi titik vital dalam merehabilitasi carut-marut dunia pendidikan di Indonesia. Para pengajar sepatunya sadar akan tanggung jawab yang mereka emban dalam membentuk pola pikir pelajar yang bertaraf internasional / berwawasan global. Para guru sebaiknya bisa menempatkan diri sebagai orang tua sekaligus teman demi terjalin hunbungan yang akrab dengan para siswa/siswi yang dididik. Mainset yang terjadi sampai saat ini adalah guru merupakan orang tua yang selalu benar. Biaya sekolah yang melambung tinggi. Biaya sekolah yang tinggi juga merupakan salah satu faktor yang membuat pendidikan di Indonesia lambat berkembang. Banyak anak-anak yang berasal dari keluarga —yang ekonominya—kurang mampu ingin melanjutkan sekolah hingga sampai pada perguruan tinggi namun karna keterbatasan ekonomi, seringkali para siswa-siswi tamatan SMA mengurungkan niatnya untuk melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Adapun beberapa dari mereka—para pelajar—tetap kuliah tapi nyambi kerja, atau juga menunda kuliah hingga dana yang dikumpulkan cuckup untuk melanjutkan pendidikan yang diinginkan. Penghentian dana subsidi pendidikan dari pemerintah kepada perguruan tinggi negeri juga menjadi faktor penyebab mahalnya pendidikan. Kompetisi yang tidak fair Dapat kita lihat realita saat ini, Sekolah-sekolah bonafit menawarkan harga yang cukup mahal bagi mereka yang berminat untuk belajar disana. Hal ini membuat para orang tua—bagi mereka yang hidup pas-pasan—berfifkir beberapa kali untuk menyekolahkan anak tersebut di sekolah yang diinginkannya. Permasalahan ini menjadi runtut dan terus menimbulkan permasalahan baru yang semakin kompleks. Biaya yang mahal membuat para anak-anak terpaksa merasa cukup mengenyam pendidikan sampai bangku SMA. Mereka merasa bila mereka terus melanjutkan kuliah hingga perguruan tinggi, maka hal ini menambahkan beban bagi orang tua mereka. Kemudian dilain pihak, perguruan-perguruan tinggi swasta semakin menjamur. Mulai dari harga yang paling murah hingga sampai kisaran jutaan rupiah per-semesternya. Bagi mereka yang berasal dari kalangan bawah, tentunya akan memilih kuliah di perguruan tinggi yang biayanya murah, “yang penting kuliah dan bisa melanjutkan pendidikan”. Sedangkan bagi mereka yang kaya secara materi akan memilih perguruan tinggi yang terkenal dan tentunya dengan biaya yang relative mahal, alasannya Karena anggapan mereka “fasilitas yang ada di perguruan tinggi tersebut lebih lengkap, tenaga pengajarnya lebih baik dari pada tenaga pengajar yang ada di tempat kuliah yang murah, dan juga karena perguruan tinggi ini namanya sudah terkenal, tentunya akan mempermudah bagi mahasiswanya untuk melamar pekerjaan”. Bahkan dibeberapa perguruan tinggi yang bonafit, siap menyalurkan mahasiswanya untuk bekerja setelah lulus. Dari sini terjadi persaingan yang menurut kami tidak fair. Sepatutnya setiap orang berhak bersaing secara terbuka dan fair. Berusaha dengan kemampuan yang dimiliki demi pekerjaan yang diinginkan. Tidak perduli dari mana ia bersekolah. Dari kampong yang sangat jauh dan sangat sulit segala akses informasi ataupun transportasinya pun kalau orang tersebut mau bersaing dan dapat bersaing mengalahkan semua yang tinggal di kota sekalipun, kenapa tidak!?
Upaya rehabilitasi Esai-esai di atas tadi hanya beberapa permasalahan dari sekian banyaknya permasalahan yang membuat pendidikan di Indonesia lambat berkembang. Pembenahan dilakukan bukan hanya dalam system pendidikan tetapi juga dari kehidupan social masyarakat yang terus berkembang.Pembenahan pola hidup di lingkungan masyarakat juga perlu diubah. Para siswa-siswi yang notabene masih “dibawah umur” hidup ditengah masyarakat, setisp sikap individu terbentuk berdasarkan lingkungan. Maka dari itu, lingkungan yang sehat—yang menjujung tinggi pendidikan—perlu diciptakan, dikembangkan, dan juga dipertahankan. Secara teknis, perlunya ada hubungan komunikasi yang baik antara para pelajar dengan DEPDIKNAS, baik itu melalui perwakilan daerah atau mungkin para siswa bisa langsung mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap memeberatkan para siswa/siswi dalam menjalankan tugasnya sebagai pelajar. Bukan hanya komunikasi dua arah, ini juga menimbulkan sikap kritis para pelajar untuk ikut bersuara mengenai permasalahan dimasyarakat karna, para pelajar—dibawah umur sekalipun—juga merupakan bagian dari masyarakat yang menempati ruang di Negara ini. Secara personal/individu, yang diperlukan para calon penerus bangsa ini hanya 2. Yaitu: 1).skill disatu bidang tertentu yang dikuasai secara mendalam; 2).Sifat/jiwa yang haus bersaing, pantang menyerah, dan mau untuk selalu berkembang. Lebih lanjut. Para pelajar yang saat ini dicetak adalah untuk menjadi kaum pekerja! Ya, kaum pekerja yang bisa bekerja apa saja asalkan ada upahnya. Pertanyaan yang dapat diajukan kepada khalayak luas saat ini adalah; “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi dan setelah lulus hendak kemana?” “mencari Kerja, apapun itu yang penting kerja dan digaji”. ini adalah jawaban yang seringkali terdengar. Sudah sangat Jarang ada jawaban “setelah lulus saya akan menjadi designer yang terkenal” atau “saya akan menjadi penulis yang mendunia” atau mungkin “saya akan menjadi presiden dan kelak negara yang saya pimpin akan menjadi kiblat bagi perkembangan dunia!”. Masyarakat dewasa saat ini sudah lupa dan kehilangan cita-cita yang dahulu sering ditanyakan oleh guru-guru sewaktu duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar.






GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search