LATAR BELAKANG MASALAH
Besarnya tantangan yang dihadapi manusia Indonesia masa depan, dunia yang terus berubah bahkan rasanya berlari semakin cepat, mengharuskan manusia Indonesia “tunggang-langgang” mengejar-kalau perlu mendahului maju di depan. Kalau tidak, seperti yang sudah terjadi sekarang terkaget-kaget dalam menerima perubahan global. Dengan berjalannya waktu seharusnya terjadi interpretasi dan reinterpretasi terhadap tradisi. "Namun, selama ini tradisi tidak diberi ruang untuk mengembangkan diri atau berinovasi. Inovasi tersebut justru dilakukan oleh kekuatan global. Ini, misalnya, terjadi pada wayang, keroncong, batik, tempe, dan tarian tradisional" (Yasraf Amir Piliang, op.cit. : kommpak.com)
berbagai kekayaan tradisi justru dikembangkan para pemikir dan peneliti dari negara lain. Hasil pengembangan itu kemudian menjadi produk unggulan dan diklaim sebagai hak kekayaan intelektual dalam wacana global. Hal itu dapat ditemui pada makanan, pengobatan, batik, tenun, dan kesenian lainnya.
Menurut Thodor Adorno seorang pemikir Frankfurt School, dalam bukunya the culture industri, ia membagi budaya menjadi 2 bagian yaitu high culture dan low culture. High culture atau budaya kelas tinggi yaitu budaya yang mempunyai standart (kualitas, selera dan estetika) yang tinggi, diciptakan dari kemampuan berkreatifitas dan daya inovasi tinggi sehingga menghasilkan sesuatu yang baru dan berbeda. Sedangkan low culture kebalikan dari high culture tersebut, mengandalkan pada teknik reproduksi, pengulangan dan imitasi dari apa yang ada sebelumnya. Misalnya budaya pop. (Rizky Wahyuni, 2007: duniawahyuni.blogspot.com ).
Tarian tradisional adalah salah satu aspek kebudayaan bangsa yang sarat akan nilai-nilai estetika, nilai-nilai etik dan nilai-nilai religius yang mencerminkan keluhuran moral. dengan demikian dapat dikatakan bahwa tarian tradisional merupakan high culture. Nilai-nilai dalam tari ini pastinya sangat memberiakn kontribusi yang berarti dalam usaha mempertahankan jati diri bangsa di era globalisasi ini saat ini dan di masa depan. hal ini karena persiapan dan perencanaan yang matang dan terarah sangat diperlukan bagi kelangsungan kehidupan berbangsa di masa depan terutama dalam aspek moral.
Kaum futurology sudah tidak bisa meramalkan masa depan,sebab masa depan selalu membawa sesuatu yang mengejutkan. Oleh karena kompleksitas dunia begitu besar. Segala ramalan dan proyeksi belum tentu benar. Masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang merupakan serangkaian proses kehidupan yang saling berhubungan. sehingga cara yang paling tepat untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan ini salah satunya adalah dengan melakukan akulturasi , interpretasi dan reinterpretasi terhadap kebudayaan.akulturasi adalah memilih dan memilah kebudayaan apa saja yang sesuai dan yang tidak sesuai bagi jati diri bangsa. Interpretasi adalah melakukan penafsiran terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam suatu kebudayaan. Reinterprestasi adalah penfsiran kembai nilai-nilai budaya tersebut dan di amalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tak dapat disangsikan bahwa kemajuan pemikiran manusia yang senantiasa berupaya untuk menghasilkan hal-hal baru dalam hidupnya adalah hal wajar yang dilakukan sebagai makhluk yang berakal. Globalisasi pun hal yang tak bisa dielakkan lagi, Namun demikian, maksud utamanya adalah bukan dengan menolak kebudayaan global yang sedang mendunia. Hal yang terpenting adalah “bertahan” menghadapi “ancaman” pengaruh kebudayaan yang melanda dari luar, sehingga mampu menyerap apa yang cocok dan menolak apa yang tidak cocok bagi jati diri bangsa (Ayatrohaedi, 1986: 19)
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka apat di kembangkan permasalahan pokok yang di teliti dalam penelitian ini, yaitu:
• Bagaimana proses perkembangan alam pemikiran dalam tari bedhoyo ketawang?
• Apa nilai luhur dalam tari yang sesuai untuk kehidupan modern?
• Upaya apakah yang dapat kita lakukan untuk memajukan kebudayaan bangsa?
• kualitas manusia Indonesia yang bagaimana yang diharapkan dapat bersaing di tingkat global?
KEASLIAN PENELITIAN
penelitian dan tulisan-tulisan tari bedhoyo ketawang pada umumnya membahas wayang secara deskriptif tentang jalannya pertunjukan, kostum, dan ritual. Tarian tersebut hanya dikaji sebagai sebuah hiburan dan unsur-unsurnya hanya dipandang sebagai pelengkap saja tanpa memandang makna dan nilai-nilai luhur dari tari bedhoyo ketawang itu sendiri.
penelitian yang akan dilakukan ini membahas tari bedhoyo ketawang dari sudut pandang Filsafat nilai, terutama konsep- konsep di bidang estetika.
MANFAAT PENELITIAN
1. bagi Ilmu Pengetahuan
dengan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam tari bedhoyo ketawang, para ilmuan mempunyai pedoman dan orientasi pada nilai-nilai luhur kehidupan. sehingga senantiasa berkarya dalam bidang pengetahuan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur tersebut.
2.Bagi Filsafat
Tari bedhoyo ketawang dapat dijadikan sebagai bahan kajian Filsafat. Filsafat dapat memberikan makna fungsional yang terkandung dalam tarian bedhoyo ketawang yang pada awlanya bersifat abstrak menjadi jelas. Filsafat dapat mengkaji secara mendalam sampai pada suatu hakikat bahwa isi nilai dalam sebuah tarian yang merupakan nilai-nilai budaya daerah merupakan nilai-nilai fisafat pancasila. atau dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam tarian bedhoyo ketawang adalah bagian dari puncak-puncak budaya daerah.
3. Bagi Bangsa Indonesia
Dengan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam tari bedhoyo ketawang serta mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari, bangsa Indonesia tidak akan kehilangan jati diri bangsanya di era globalisasi ini dan bahkan mampu bersaing di tingkat global.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut kitab Wedbapradangga, Pencipta tarian Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645) raja pertama terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Konon penciptaan gendhingpun menjadi sempurna setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukan pada saat penobatan raja yang baru tetapi juga pertunjukan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau "Tingalan Dalem Jumenengan".
Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana ke-XII (sekarang), hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami perubahan pada berbagai aspek, walapun bentuk tatanan pertunjukannya masih mengacu pada tradisi ritual masa lampau. Namun nilainya telah bergeser menjadi sebuah warisan budaya yang nilai seninya dianggap patut untuk dilestarikan.. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang pada masa Sri Susuhunan Paku Buwana XII diselenggarakan pada hari kedua bulan Ruwah atau Sya'ban dalam Kalender Jawa..
Yang membuat Bedhoyo Ketawang menarik ialah terkandungnya hal-hal yang memiliki daya khas. Bedhoyo Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur dan makna serta sifat yang erat hubungannya dengan : (1) Adat Upacara(seremoni); (2) Sakral; (3) Religius; (4) tarian Percintaan atau tari Perkawinan
keistimewaan Bedhoyo Ketawang, letaknya terdapat dalam hal:
1. Pilihan hari untuk pelaksanaan dan latihan-latihannya, yaitu hanya pada hari Anggarakasih.
2. Jalannya penari di waktu keluar dan masuk ke Dalem Ageng. Mereka selalu mengitari Sinuhun dengan arah menganan.
3. Pakaian penari dan kata-kata dalam hafalan sindhenannya.
Busana Tari Bedhoyo Ketawang menggunakan Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan yang menjadikan penarinya terasa anggun. Sebagai lapisan bawahnya dipakai cindhe kembang, berwarna ungu, lengkap dengan pending bermata dan bunta. Riasan mukanya seperti riasan temanten putri. Sanggulnya bokor mengkureb lengkap dengan perhiasan-perhiasannya, yang terdiri atas: centhung, garudha mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul dan memakai tiba dhadha (untaian rangkaian bunga yang digantungkan di dada bagian kanan).
4. Gamelannya berlaras pelog, tanpa keprak. Ini suatu pertanda bahwa Bedhoyo Ketawang ini termasuk klasik.
Gamelan yang mengiringinya sangat khusus yaitu gamelan "Kyai Kaduk Manis" dan "Kyai Manis Renggo". Instrumen gamelan yang dimainkan hanya beberapa yakni Kemanak, Kethuk, Kenong, Kendhang Ageng, Kendhang Ketipung dan Gong Ageng. Istrumen-istrumen tersebut selain dianggap khusus juga ada yang mempunyai nama keramat. Dua buah Kendang Ageng bemama Kanjeng kyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar, dua buah rebab bemama Kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng Kyai Lipur serta sehuah Gong ageng bernama Kanjeng Nyai Kemitir.
Gendhing yang dipakai untuk mengiringi Beghaya ketawang disebut juga ketawang Gedhe. Gendhing ini tidak dapat dijadikan gendhing untuk klenengan, karena resminya memang bukan gendhing, melainkan termasuk tembang gerong Gamelan iringannya, sebagai telah diterangkan di depan, terdiri dari lima macam jenis: kethuk, kenong, kendhang, gong dan kemanak. Dalam hal ini yang jelas sekali terdengar ialah suara kemanaknya. Tarian yang diiringi dibagi menjadi tiga adegan (babak). Anehnya, di tengah-tengah seluruh bagian tarian larasnya berganti ke slendro sebentar (sampai dua kali), kemudian kembali lagi ke laras pelog, hingga akhirnya. Pada bagian (babak) pertama diiringi sindhen Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi jalannya penari keluar dan masuk lagi ke Dalem Ageng Prabasuyasa alat gamelannya ditambah dengan rebab, gender gambang dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana. Selama tarian dilakukan sama sekali tidak digunakan keprak. Keluarnya penari dari Dalem Ageng Prabasuyasa menuju ke Pendapa Ageng Sasanasewaka, dengan berjalan berurutan satu demi satu. Mereka mengitari Sinuhun yang duduk di singgasana (dhampar).Demikian juga jalannya kembali ke dalam. Yang berbeda dengan kelaziman tarian lain-lainnya, para penari Bedhaya ketawang selalu mengitari Sinuhun, sedang beliau duduk di sebelah kanan mereka (meng-“kanan”kan). Pada tarian bedhaya atau serimpi biasa, penari-penari keluar-masuk dari sebelah kanan Sinuhun, dan kembali melalui jalan yang sama.
6. Rakitan tari dan nama peranannya berbeda-beda.
Dalam melaksanakan tugasnya para penari Bedhoyo Ketawang yang berjumlah sembilan orang penari putri ini harus dalam keadaan bersih secara spritual (tidak dalam keadaan haid). Selain itu beberapa hari sbelumnya para penari diwajibkan untk berpuasa. Komposisi penari Bedhoyo Ketawang terdiri dari, Endhel, Pembatak, Apit Najeng, Apit Wingking, Gulu, Enhel Weton, Apit Meneng, Dadha dan Buncit. Dari ke sembilan penari tersebut, Pembatak dan Endhel sangat memegang peranan panting Pada salah satu adegan, kedua penari ini melakukan adegan percintaan. Ditelaah dari syair yang dilantunkan oleh Sindhen dan Waranggana, tari Bedhoyo Ketawang ini menggambarkan percintaan antara raja Mataram dengan Kanjeng Ratu Kencanasari/Kidul. Hanya saja semuanya diwujudkan secara abstrak dan sangat simbolis. Karena pertunjukan tari Bedhoyo Ketawang bertujuan mereaktualisasikan hubungan cinta secara spiritual antara Raja Mataram dengan Ratu Kencanasari maka kebanyakan sesaji yang ditempatkan di atas beberapa nampan berupa busana serta alat-alat kecantikan.
LANDASAN TEORI
Hasil Penelitian tentang tari Bedhoyo Ketawang akan dianalisis dari sudut pandang Filsafat nilai, terutama konsep-konsep dibidang Estetika yang secara etimologis dapat diartikan sebagai teori tentang ilmu penginderaan.
Seorang filosof dari jerman ,Soren Kierkegaard menyatakan bahwa seluruh kehidupan manusia sesungguhnya terbagi dalam 3 taraf yaitu taraf kehidupan estetik, taraf kehidupan etis dan taraf kehidupan religius.
Dengan kehidupan estetiknya, manusia mampu menangkap dunia sekitar ini sebagai suatu kenyataan yang mengagumkan, dimana selanjutnya di representasikan dalam wujud karya-karyanya yang indah, misalnya seni tari.dengan kehidupan etiknya manusia senantiasa berupaya untuk mampu meningkatkan taraf kehidupan estetiknya menjadi suatu kenyataan yang lebih manusiawi. Gambarannya tercermin dalam bentuk pengambilan keputusan yang bebas dan dapat dipertanggungjawabkan, termasuk di dalam keputusan-keputusan tersebut adalah ketentuan-ketentuan normatif yang mengatur aktivitas kehidupan manusia.
Tari merupakan suatu bentuk pernyataan imaginatif yang tertuang lewat kesatuan simbol-simbol gerak, ruang dan waktu. pola-pola yang tersimpul dalam imaginasi seseorang penata tari merupakan”idea” yang mendasari terwujudnya suatu “bentuk” dan “gaya” dari karya tarinya. Dari pembicaraan tersebut jelas bahwa sesungguhnya pembicaraan estetika tari, baik secara perspektif maupun konseptual senantiasa tidak mungkin dipisahkan dari pembicaraan mengenai koreografi tarinya. keduanya, yaitu estetika dan koreografi hadir sebagai suatu jalinan yang tunggal yang hanya dapat dihayati lewat bentuk kesatuan simbol-simbol gerak, ruang dan waktu.
Sisi lain yang dapat dihayati guna mendukung kehadiran konsep estetikanya adalah di dalam keselarasan hubungan yang terwujud karena jalinan yang terjadi di dalam bentuk dan gaya tarinya serta jalinan antara bentuk dan gaya tari itu sendiri.
Estetika ecara konseptual dapat dihayati dari pemilihan motif-motif gerakannya, kesinambungan antara motif satu dengan yang lainnya, dan dari kesatuan seluruh jalinan motif gerak. sedangkan estetika dalam gaya tariannya terlihat dari keselarasan tata busana dan tata riasnya, dari penggunaan irama dan ritme gerak tarinya dan dari pemilihan pola lantainya dalam keselarasannya dengan motif-motif gerak yang digunakannya.
Antara bentuk dan gaya tarian tersebut tumbuh suatu jalinan yang saling mengikat. secara konseptual akan hadir di dalam keselarasan ikatan-ikatan tersebut hubungan gerak, ritme gerak, dan irama gerak musik pengiringnya.
GOOGLE search
Custom Search