Melalui proses
simbolisasi manusia mengembangkan budi (human mind), berfikir dan berekspresi.
Bahasa, musik, mitos, dan ritus adalah simbol-simbol, produk proses
transformasi simbolik (simbolic
transformation) pengalaman-pengalaman manusia. Simbolisme kraton mencakup
dua dimensi, dimensi bentuk dan dimensi sikap hidup. Kedua dimensi ini memancar
dari paham mistik jawa yang berpokok pada ajaran “manunggaling kawula gusti”
(menyatunya manusia dengan tuhan) dan “sangkan-para-ning
dumadi” (asal dan tujuan ciptaan) dengan prinsip pertama “urip mung mampir ngombe” (hidup hanya
sementara seperti minum sebagai bekal perjalanan). Ajaran ini pada hakikatnya
bersumber pada pengalaman religius manusia yang rindu untuk bersatu kembali
kepada sang khalik, Yang Ilahi, yang karenanya mendorong makhluk manusia untuk
menulusuri arus kehidupannya sampai menemukan serta mencapai sumber dan
muara-nya. Konsep mistik jawa dalam sejarahnya tidak terlepas dari pengaruh
agama-agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam beserta mistiknya yang khas,
seperti nampak dalam kitab-kitab tutur dan suluk. (Daliman,
2001:14)
Dari dimensi bentuk
secara kosmologis kraton dibangun sebagai simbol dan dan menurut bentuk mandala
(kosmos) dan berfungsi sebagai pusat
orientasi (kiblat) bagi manusia dan rakyatnya. Kraton menjadi simbol pusat
dunia (pusering jagad), pusat kosmos,
sedang raja adalah personifikasi Tuhan. Mandala tidak diartikan semata-mata
dalam makna wilayah lokasi geografis, tetapi lebi-lebih dalam makna kharisma, daya atau sumber kehidupan.
Karenanya kraton sebagai mandala
secara kosmis menjadi pusat atau kharisma (daya) kelangsungan hidup. (Daliman,
2001:14).
Simbolisasi kraton
sebagai pusat dunia dinyatakan pula dalam konsep-konsep kesatuan ruang atau
wilayah yang didasarkan pada arah mata angin. Konsep kiblat papat-lima-pancer dan kiblat wolu-sanga pancer adalah lambang
semesta alam, sedang konsep kesatuan desa manca-pat
(kesatuan desa, terdiri dari: 1 ditengah + 4 di luar), manca-lima dan
seterusnya melambangkan kesatuan pemerintahan desa sebagai miniatur tata alam
semesta. Oleh sebab itu, analisis makna bentuk bangunan kraton memerlukan
pendekatan metafisis. (Daliman, 2001:14)
Apabila bentuk kraton
secara keseluruhan adalah sebagai perwujudan bentuk (mandala: juga berarti
bentuk, form), rangkaian struktur dari tiap-tiap bagian bangunan kraton lebih
mencerminkan dimensi sikap hidup. Dasar sikap hidup itu juga bersumber pada
ajaran “manunggaling kawula gusti”.
Sikap hidup itu ialah bahwa mengabdi raja sama dengan mengabdi Tuhan karena
raja adalah pengganti Nabi, Nabi adalah pengganti Hyang Agung, raja dan Nabi
seakan-akan Hyang Maha Agung yang nampak. Sikap hidup raja, sebaliknya harus
berorientasi kepada rakyat. (Daliman, 2001:14)
Tiap-tiap bentuk bangunan
kraton seperti regol, bangsal,
ataupun gedhong diberikan nama-nama
yang mengungkapkan simbol-simbol sesuai fungsi, harapan, dan bentuknya. Bangsal
Sri-Manganti (Sri=raja, manganti=
menanti), misalnya, adalah tempat atau ruang tunggu bagi tamu-tamu Sri Sultan. Regol Brajanala (braja: tajam, nala:
hati) mengandung makna bahwa orang yang memasuki keraton berharap memiliki
perasaan yang tajam. Demikian pula nama Bangsal Trajumas meningatkan kepada
rakyat melalui arti nama, fungsi dan bentuk bangunannya (trajumas) (traju:
timbangan, mas atau kencana : suci atau bersih) bahwa
pertimbangan raja senantiasa suci, bersih, dan benar. Oleh sebab studi mengnai
dimensi sikap hidup rakyat dan raja sebagai cerminan ajaran manunggaling
kawula-Gusti yang diungkapkan mellui rangkaian struktur bangunan Kraton, lebih
banyak terkait pada nama dan makna bahasa, analisisnya jelas memerlukan
pendekatan etimologis. (Daliman, 2001:14)
3. Makna Tata Ruang
Kraton Yogyakarta
Setelah diguncang gempa tahun 1867, Kraton
mengalami kerusakan berat. Pada masa HB VII tahun 1889, bangunan tersebut
dipugar. Meski tata letaknya masih dipertahankan, namun bentuk bangunan diubah
seperti yang terlihat sekarang. Tugu dan Bangsal
Manguntur Tangkil atau Bangsal
Kencana (tempat singgasana raja), terletak dalam garis lurus, ini
mengandung arti, ketika Sultan duduk di singgasananya dan memandang ke arah
Tugu, maka beliau akan selalu mengingat rakyatnya (manunggaling kawula gusti). (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
Tatanan Kraton sama seperti Kraton Dinasti Mataram
pada umumnya. Bangsal Kencana yang
menjadi tempat raja memerintah, menyatu dengan Bangsal Prabayeksa sebagai
tempat menyimpan senjata-senjata pusaka Kraton (di ruangan ini terdapat lampu
minyak Kyai Wiji, yang selalu dijaga abdi dalem agar tidak padam), berfungsi
sebagai pusat. Bangsal tersebut dilingkupi oleh pelataran Kedhaton, sehingga
untuk mencapai pusat, harus melewati halaman yang berlapis-lapis menyerupai
rangkaian bewa (ombak) di atas lautan. (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
Tatanan spasial Kraton ini sangat mirip dengan konstelasi
gunung dan dataran Jambu Dwipa, yang dipandang sebagai benua pusatnya jagad
raya.
Dari utara ke selatan area Kraton berturut-turut terdapat Alun-Alun Utara,
Siti Hinggil Utara, Kemandhungan Utara, Srimanganti, Kedhaton, Kemagangan,
Kemandhungan Selatan, Siti Hinggil Selatan dan Alun-Alun Selatan (pelataran
yang terlindung dinding tinggi). Sedangkan pintu yang harus dilalui untuk
sampai ke masing-masing tempat berjumlah sembilan, disebut Regol. Dari
utara terdapat gerbang, pangurukan, tarub
agung, brajanala, srimanganti, kemagangan, gadhung mlati, kemandhungan dan gading. (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
Brongtodiningrat memandang penting bilangan ini,
sebagai bilangan tertinggi yang menggambarkan kesempurnaan. Hal ini terkait
dengan sembilan lubang dalam diri manusia yang lazim disebut babahan hawa
sanga. (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
Kesakralan setiap bangunan Kraton, diindikasikan dari
frekuensi serta intensitas kegiatan Sultan pada tempat tersebut.
Alun-Alun, Pagelaran, dan Siti Hinggil, pada tempat ini Sultan hanya hadir tiga kali dalam
setahun, yakni pada saat Pisowan Ageng,
Grebeg Maulud, Sawal dan Besar, Serta
kesempatan yang sangat insidental yang sangat khusus misal pada saat penobatan
Sultan dan Penobatan Putra Mahkota atau Pangeran Adipati Anom. (YogYES.COM)
Rangkaian bangunan Kraton
yang mengikuti poros Utara-Selatan yang berpadanan dua-dua dengan Kraton Hageng sebagai pusatnya merupakan
simbolisasi dan visualisasi perjalanan hidup manusia di dunia dan akhirat untuk
mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan dengan mengabdikan dirinya (kawula) sesuai dengan martabat
ke-kesatria-annya kepada raja (Gusti). (Daliman, 2001:15)
Poros dari Selatan ke
Utara, ialah dari Sitinggil Kidul
sampai ke Pelataran Kraton Hageng
adalah sebagai simbol perjalanan hidup manusia di dunia. Poros dari Utara ke
Selatan, yakni dari Sitinggil Lor
menuju Pelataran Kraton Hageng
menjadi simbol perjalanan pulang ke Rahmatullah. Kraton Hageng menjadi simbol
keduanya, Kraton duniawi dan Kraton surgawi. (Daliman, 2001:15)
Perjalanan dari Sitinggil Kidul
ke Utara dengan melalui gerbang (regol)
Brajanala akan sampai di Kemandungan. Bila perjalanan ini diteruskan, setelah
melewati regol Gadhungmlati tibalah di Kemangangan. Perjalanan ini mengandung
makna seorang bayi yang telah selamat lahir dari kandungan ibu menjadi magang
(calon) manusia. Hendaknya anak tersebut dididik mengarahkan cita-citanya lurus
ke Utara, ke Kraton, tempat bersemayamnya raja atau sultan. Di Kraton inilah ia
akan mencapai apa yang dicita-citakannya, ialah derajat keksatriaan
(sinatriya), asal mau bekerja dengan baik, patuh pada aturan-aturan, setia dan
senantiasa ingat dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Murah. Dia pun akan merasa
bahagia dan tenteram karena dekat dan menyatu dengan Gusti (raja)-nya. (Daliman, 2001:15)
GOOGLE search
Custom Search