Kraton Yogyakarta bukan saja terbesar
di antara keempat keraton dinasti Mataram Islam di Jawa Tengah, tetapi juga
yang kharisma, kewibawaan, serta kekayaan makna budayanya tidak pernah pudar
oleh zaman modern ini. Makna kehadiran bangunan keraton Yogyakarta bukan hanya
terletak pada keindahan dan kekhasan
Arsitektur Jawa, Tetapi lebih dari itu adalah pada nilai-nilai kultural
atau kearifan lokal yang visualisasinya nampak dalam simbol-simbol. Melalui
Bangunan kraton nilai-nilai luhur yang tersaring dari berbagai rekaman sejarah
dan budaya secara non-verbal divisualisasikan agar menjadi sumber inspirasi
yang tidak pernah kering bagi setiap generasi dalam memperjuangkan martabat
bangsa. (Daliman, 2001:10).
Sejarah perjuangan kraton dan
masyarakat Yogyakarta yang senantiasa berpihak pada perjuangan rakyat untuk
memperbaharui dan meluruskan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara hingga
kini, haruslah dipahami sebagai identifikasi dan aktualisasi kesetiaan terhadap
tradisi dan ajaran-ajaran para pendahulu atau leluhur, sebagaimana
divisualisasikan dalam simbol dan fungsi bangunan kraton. Studi metafisis ini
dimaksudkan untuk mengungkapkan makna-makna nilai-nilai kearifan lokal agar
dapat dijadikan inspirasi dan motivasi bagi tekad perjuangan bersama untuk
membangun bangsa.
Lebih dari 200 tahun yang lalu, tempat
dimana Kraton Yogyakarta sekarang berada merupakan daerah rawa landai dan
bertempat di hutan beringin yang dikenal dengan nama Umbul Pachetokan, yang
kemudian dibangun menjadi pesanggrahan yang bernama Ayodya. Kraton Yogyakarta
menghadap ke arah Utara, pada arah poros Utara-Selatan, antara gunung merapi
dan laut selatan. (http://www.tasteofjogja.com/webida/inside
.asp)
Sebelum mempunyao kraton, Mangkubumi
(Sultan Hamengku Buwana I) enempati Istana Ambarketawang. Pembangunan kraton
dimulai pada tanggal 3 syura tahun Wawu 1681 atau 9 Oktober 1755. Pada tanggal
13 Syura tahun jimakir 1682 atau tanggal 7 oktober 1756. Disamping bangunan
kraton, dibangun pula benteng berparit disekitarnya, tempat tinggal Patih,
masjid agung, dan tempat-tempat lain sebagai
pelengkap pusat kerajaan Yogyakarta. (Jandra, 1990:20)
Di dalam balairung Kraton, dapat disaksikan adegan
pisowanan (persidangan agung) dimana Sri Sultan duduk di singgasana dihadap
para pemangku jabatan istana. Regol Donopratomo yang menghubungkan halaman Sri
Manganti dengan halaman inti kraton, dijaga oleh dua patung dwarapala yang diberi nama
Cingkarabala dan Balaupata, yang melambangkan kepribadian baik manusia, yang
selalu menggunakan suara hatinya agar selalu berbuat baik dan melarang
perbuatan yang jahat. Di dalam halaman inti kraton, dapat dilihat tempat
tinggal Sri Sultan yang biasa digunakan untuk menerima tamu kehormatan dan
menyelenggarakan pesta. Di tempat ini juga terdapat keputren atau tempat
tinggal putri-putri Sultan yang belum menikah. (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
Bangunan Kraton dengan arsitektur Jawa
yang agung dan elegan terletak di pusat kota Yogyakarta. Bangunan ini didirikan
oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I,
pada tahun 1775. Beliau yang memilih tempat tersebut sebagai tempat untuk
membangun bangunan tersebut, tepat di antara sungai Winongo dan sungai Code,
sebuah daerah berawa yang dikeringkan. Bangunan Kraton membentang dari utara ke
selatan. Halaman depan dari Kraton disebut alun-alun utara dan halaman belakang
disebut alun-alun Selatan. Desain bangunan ini menunjukkan bahwa Kraton, Tugu
dan Gunung Merapi berada dalam satu garis/poros yang dipercaya sebagai hal yang
keramat. Pada waktu lampau Sri Sultan biasa bermeditasi di suatu tempat pada
poros tersebut sebelum memimpin suatu pertemuan atau memberi perintah pada
bawahannya. Setiap bagian dari bangunan mempunyai nama tersendiri. Bangsal
pertemuan Kraton disebut Pagelaran. Ini adalah tempat diadakannya pertemuan
resmi pegawai Kraton. Bangsal Manguntur Tangkil adalah singgasana Sultan.
Bangsal ini disebut Siti Hinggil. Siti berarti tanah, Hinggil berarti tinggi.
Jadi tempat ini disebut Siti Hinggil karena dibangun lebih tinggi dibanding
dataran di sekitarnya. (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
Pada waktu yang lampau tempat ini
merupakan pulau kecil di tengah rawa. Gerbang depan disebut Danapratopo, gerbang ini dikawal
oleh dua patung yang disebut Gupala. Salah satunya bernama Cingkorobolo dan
lainnya Boloupoto. Kedua arca tersebut dimaksudkan untuk menjaga Kraton dari
gangguan atau niat jahat. (YogYES.COM)
Bagian utama dari bangunan disebut Purworetno,
yaitu tempat Sultan melakukan tugas-tugasnya. Selain Purworetno ada dua gedung yang
digunakan untuk menyimpan barang-barang yang disebut Panti Sumbaga. Gedung ini
merupakan perpustakaan pribadi Sultan sedangkan bangunan yang merupakan tempat
tinggal Sri Sultan adalah Gedong Kuning. (Keraton-Yogyakarta.htm)
Yang disebut Kraton adalah tempat
bersemayam ratu-ratu, berasal dari kata : ka + ratu + an = kraton. Juga disebut kadaton, yaitu ke
+ datu + an = kedaton, tempat datu-datu atau ratu-ratu. Bahasa Indonesianya
adalah istana, jadi kraton adalah sebuah istana, tetapi istana bukanlah kraton.
Kraton ialah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, arti filsafat dan
arti kulturil (kebudayaan). (Keraton-Yogyakarta.htm)
Dan sesungguhnya kraton yogyakarta
penuh dengan arti-arti tersebut diatas. Arsitektur bangunan-bangunannya, letak
bangsal-bangsalnya, ukiran-ukirannya, hiasannya, sampai pada warna
gedung-gedungnyapun mempunyai arti. Pohon-pohon yang ditanam di dalamnya bukan
sembarangan pohon. Semua yang terdapat disini seakan-akan memberi nasehat
kepada kita untuk cinta dan menyerahkan diri kita kepada Tuhan yang Maha Esa,
berlaku sederhana dan tekun, berhati-hati dalam tingkah laku kita sehari-hari
dan lain-lain.
Kraton Yogyakarta dibangun pada tahun
1256 atau tahun Jawa 1682, diperingati dengan sebuah condrosengkolo memet di
pintu gerbang Kemagangan dan di pintu Gading Mlati, berupa dua ekor naga
berlilitan satu sama lainnya. Dalam bahasa jawa : "Dwi naga rasa
tunggal" Artinya: Dwi=2, naga=8, rasa=6, tunggal=I, Dibaca dari arah belakang
1682. warna naga hijau, Hijau ialah symbol dari pengharapan. Disebelah luar
dari pintu gerbang itu, di atas tebing tembok kanan-kiri ada hiasan juga
terdiri dari dua (2) ekor naga bersiap-siap untuk mempertahankan diri. Dalam bahasa Jawa: "Dwi naga
rasa wani", artinya: Dwi=2, naga=8, rasa=6, wani=1 jadi 1682. (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
GOOGLE search
Custom Search