Denah kota Yogyakarta
dirancang berdasarkan prinsip-prinsip Hindu-Jawa yang bersumber dari
naskah-naskah Sansekerta kuno Vastu Sastra, yang berpedoman pada keempat arah
mata angin dan ditata menurut dua poros besar yang saling berpotongan di
tengah-tengah sesuai dengan pola mancapat (kiblat
papat lima pancer). Di tengah-tengah, di jantung kota itulah berdiri Kraton
Yogyakarta. Membentang
antara Tugu sebagai batas utara dan Panggung Krapyak di batas selatan, antara
Sungai Code di timur dan Sungai Winongo sebelah barat. Antara Gunung Merapi dan
Laut Selatan, Kraton dalam pikiran masyarakat Jawa, diartikan sebagai pusat
dunia yang digambarkan sebagai pusat jagad. (http://www.yogyes.com/id)
Demikianlah Kraton
Yogyakarta dipandang sebagai mandala,
sebagai pusat dan replika alam semesta, kosmos.
Rangkaian bangunan dan halaman Kraton yang terpencar dari pusat melambangkan
daratan dan lautan. Kedua pintu gerbang utama menghadap utara dan selatan.
pintu gerbang utara menghadap gunung merapi, tempat kedudukan Kyai Sapu jagad,
sedang pintu gerbang selatan menghadap ke laut selatan, tempat tinggal Dewi
Laut Selatan, Nyai Rara Kidul, yang menurut legenda bertahta di kerajaan di
dasar Samudera selatan, yang sejak lama telah menjalin hubungan erat dengan
kerajaan Jawa, khususnya kerajaan mataram. Kedudukan sebagai raja secara
tradisional dianugerahkan oleh Nyai Rara Kidul, dan izin serta restunya menjadi
prasyarat untuk membangun sebuah Kraton. (Daliman, 2001:15)
Rangkaian bangunan dan
halaman Kraton juga tertata secara simetris dalam dua poros: satu sisi kearah
Utara-Selatan, dan pada sisi yang lain mengarah dari Barat ke Timur. Bangunan-bangunan
Kraton yang mengarah Utara-Selatan lebih bersifat sebagai ruang umum, resmi,
tempat upacara, dan tempat pertemuan dengan masyarakat dan rakyat umum, sedang
bangunan yang memanjang dari Barat ke Timur ditentukan sebagai ruang pribadi,
akrab dan keramat. (Daliman, 2001:18)
Poros Utara-Selatan
adalah yang paling nyata dan menghubungkan alun-alun Utara dan alun-alun
Selatan melalui tujuh halaman berturut-turut yang saling berhubungan lewat
pintu gerbang (regol). pintu gerbang
itu dengan nama yang sepadan berpasangan dua-dua dari luar, Utara atau Selatan,
ke dalam, menuju halaman pusat atau pelataran, tempat Kraton Hageng sebagai
pusat Kraton. ialah, dengan masuk dari Utara atau Selatan, haruslah melewati:
(1) Sitinggil Lor atau Sitinggil Kidul; kemudian
halaman-halaman: (2) Brajanala Lor atau Brajanala Kidul; (3) Kemandungan Lor atau Kemandungan Kidul; (4) Sri Manganti Lor atau Sri Manganti Kidul; dan barulah tiba di
halaman pusat atau pelataran, yang menjadi pusat Kraton. di Sitinggil Lor terdapat sebuah serambi
tinggi yang pada kesempatan tertentu menjadi tempat raja beraudensi, duduk
diatas tahta kebesaran, menghadap ke utara. disitulah raja dihadap oleh
pejabat-pejabat terpenting yang duduk di atas tikar (gelaran) yang terbentang
di Pagelaran dan di belakang mereka duduk pula seluruh rakyat yang berkerumun
di alun-alun. Di halaman-halaman luar di samping terdapat gardu-gardu penjagaan
dan beberapa banguna kecil tempat meriam dan gamelan keramat, terutama terdapat
bangsal-bangsal untuk menampung tamu-tamu yang akan menghadap raja. (Daliman, 2001:18)
Di pelataran tampak poros
yang satu lagi, dengan mengikuti arah Barat ke Timur serta tegak lurus pada
poros pertama, Utara-Selatan. Di pelataran inilah berdiri dua bangsal kebesaran
yang luas, ialah Gedhong Prabayaksa (Prabasuyasa)
dan Bangsal Kencana. Bangsal Prabayaksa adalah
tempat penyimpanan pusaka-pusaka kebesaran kerajaan. Bangsal Prabayaksa disebut pula Kraton
Hageng dan berfungsi sebagai pusat Kraton, yang di dalamnya terdapat sebuah
lampu besar yang bernama Kyai Wiji, yang menyala terus tidak pernah padam
sebagai simbol keabadian. Di depan Bangsal Prabayaksa
berdiri Bangsal Kencana yang
menghadap ke Timur. Bangsal Kencana
merupakan Bangsal yang terbesar dan berfungsi sebagai tempat upacara atau
resepsi besar seperti menerima tamu agung, upacara perkawinan dan sidang agung.
Di belakang (Barat) Gedhong Prabayaksa terbentang sebuah Keputren yang luas
sebagai tempat tinggal sejumlah besar puteri Kraton di bawah pengawasan seorang
wanita yang menjabat sebagai wedana. Pada zaman dulu, raja adalah satu-satunya
yang dapat masuk ke tempat itu. Di situlah terletak kediaman para padmi dan
selir, kamar tidur raja, taman, serta sejumlah besar gedung seperti ruang-rung
makan, dapur, dan gudang. (Daliman, 2001:18)
Di sebelah Barat
Alun-alun Utara terdapat Mesjid Agung. Mesjid ini terbuka untuk umum. Seorang
pengulu yang relatif mandiri dan dipilih dari antara keluarga Abdi Dalem
Pamethakan tinggal di daerah Kauman yang berada di sekeliling mesjid, di luar
Kraton. Di bagian dalam ruang bertembok terdapat beberapa tempat ibadah bagi
raja dan keluarganya. Menurut Adam sekurang-kurangnya ada tiga masjid, Masjid Panepen dan Mesjid Kaputren. Di sebelah Barat Kaputren terdapat Mesjid Suranatan, yang namanya diambil dari
nama korps ulama bersenjata pengawal Sutan Demak. (Daliman, 2001:18)
Pola rangkaian keseluruhan
bangunan Kraton yang simetris serta dikelilingi oleh kedua alun-alun dan kedua
halaman yang luas mengingatkan T. Behrend akan struktur lingkaran konsentris
dalam konsep kosmologi Hindu-Jawa. Bentuk bangunan kraton yang demikian,
karenanya, ia sebut sebagi imago mundi, citra dunia.
Homologi
tata letak Kraton sebagai mandala juga menempatkan kedudukan raja sebagai pusat
kosmos (the hub of universe). Raja
sebagai penghubung mikro kosmos (jagad
cilik) dan makro kosmos (jagad gedhe).
Babad Tanah Jawi menyebutnya sebagai warananing
Allah. Raja dipandang sebagai penghubung atau perantara tunggal antara manusia
dengan Tuhan, sangkan paraning dumadi, asal dan tujuan makhluk. Tugas kosmis
raja adalah membangun tata tentreming jagad lahir dan batin sebagai perwujudan
rahmat Tuhan bagi manusia, sebaliknya juga raja berkewajiban membimbing serta
mengantarkan rakyat untuk menyatu dalam kawula lan Gusti sebagai sumber
kesejahteraan sejati makhluk manusia. (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0609/22/jogja)
Perjalanan
pulang ke Rahmatullah disimbolkan dengan poros dari Utara ke Selatan, dari Sitinggil Lor menuju Kraton Hageng atau Kraton Gedhong Prabasuyasa. Ketika perjalanan kita telah sampai di Kemandungan Lor terlihatlah pohon-pohon
Keben, yang mengingatkan bahwa saat tutup usia telah sampai (tangkeben: tutuplah). Di Bangsal Sri Manganti, amal-baik kita
ditimbang-timbang.). Di Gedhong Purwaretna, kita diingatkan akan asal-mula (sangkan) kita (Purwa: pertama, asal. Retna:
intan, cahaya Gedhong Purwaretna yang
bertingkat tiga menggambarkan ketiga Baitul Makmur, Baitul Mukaram dan Baitul
Mukaddas. Keempat jendelanya menjadi simbol keempat tahap ketuhidan, tingkat
syari’at, tarikat, hakikat, dan ma’rifat. Kalau telah mencapai ke Kraton Hageng atau Gedhong Prabasuyasa, sampailah sudah kita kepada tujuan yang sejati
(paran) ialah di Kraton surgawi. Di
surga inilah kita memperoleh kebahagiaan abadi, dekat serta manunggal dengan
Allah sendiri, dan menikmati cahaya keindahan dan kemuliaan Allah sebagai
divisualisasikan dengan simbol lampu Kyai Wiji tidak pernah padam. (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
GOOGLE search
Custom Search