Auguste Comte
Auguste Comte yang lahir di Montpellier, Perancis pada 19 Januari 1798,
adalah anak seorang bangsawan yang berasal dari keluarga Katolik. Namun,
diperjalanan hidupnya Comte tidak menunjukan loyalitasnya terhadap
kebangsawanannya juga kepada agamanya. Hal tersebut
merupakan pengaruh suasana pergolakan sosial, intelektual dan politik pada
masanya.
Hal-hal yang menarik
perhatiannya pun bukanlah yang berbau matematika tetapi masalah-masalah sosial
dan kemanusiaan. Saat minatnya mulai berkembang, Comte menerima tawaran
kerjasama dari Saint Simon yang ingin menjadikan Comte sekretaris. Simon adalah
pembimbing karya awal Comte. Akhirnya ada perpecahan juga antara kedua
intelektual ini perihal karya awal Comte karena arogansi intelektual dari
keduanya.
Pemikiran brilian Comte mulai terajut menjadi suatu aliran pemikiran yang
baru dibanding karya-karya filsafat sebelumnya ketika dengan kesadaran penuh ia
meyakini bahwa akal budi manusia terbatas. Ia mencoba mengatasi dengan
membentuk ilmu pengetahuan yang berasumsi dasar pada persepsi dan penyelidikan
ilmiah. Tiga hal yang menjadi ciri pengetahuan menurut Comte adalah: pertama,
membenarkan dan menerima gejala empiris sebagai kenyataan. Kedua, mengumpulkan
dan mengklasifika-sikan gejala itu menurut hukum yang menguasai. Ketiga,
memprediksikan fenomena-fenomena yang akan datang berdasarkan hukum-hukum itu
dan mengambil tindakan yang bermanfaat.
Keyakinan dalam
pengembangan yang dinamakannya positivisme semakin besar pengaruhnya.
Positivisme adalah faham filsafat yang cenderung untuk membatasi pengetahuan
manusia kepada hal-hal yang dapat diperoleh dengan memakai metoda ilmu
pengetahuan. Comte berusaha mengembangkan kehidupan manusia dengan menciptakan
sejarah baru. Ia merubah pemikiran-pemikiran yang sudah membudaya, tumbuh dan
berkembang pada masa sebelum Comte hadir. Comte mencoba dengan keahlian
berpikirnya untuk mendekonstruksi pemikiran yang sifatnya abstrak-teologis
maupun pemikiran yang pada penjalasan-penjelasannya spekulatif-metafisik.
Bentangan aktualisasi dari
pemikiran Comte, adalah dikeluarkannya pemikirannya mengenai “hukum tiga
tahap”. Hukum tiga tahap ini menceritakan perihal sejarah manusia dan
pemikirannya sebagai analisa dari observasi-observasi yang dilakukan oleh
Comte.
Versi Comte tentang perkembangan manusia dan pemikirannya, berawal pada
tahapan teologis. Pemikirannya didasarkan pada studi kasusnya pada masyarakat
primitif yang hidupnya masih menjadi obyek bagi alam. Masyarakat primitif belum
memiliki hasrat atau mental untuk menguasai alam. Dapat pula dikatakan bahwa
mereka belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal
yang membentuk pola pikir manusia. Dari sini kemudian beranjak kepada
politeisme. Manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur
kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitas
kesehariannya
Tahap pemikiran selanjutnya adalah tahap metafisik. Tahapan ini menurut
Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanan pada tahap ini adalah
upaya untuk menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang
spekulatif, bukan dari analisa empirik.
Tahap ketiga adalah tahap positif, yakni tahapan terakhir dari pemikiran
manusia. Perkembangan pada tahap ini diterangkan dengan akal budi berdasarkan
hukum-hukum yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris.
Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental.
Pemikiran Comte menampakkan ciri progresivitasnya dalam memperjuangkan
optimisme dari pergolakan realitas sosial pada masanya. Upaya itu dilakukan
dengan ilmu sosial yang sistematis dan analitis.
Comte memberikan stigma negatif terhadap konflik dalam masyarakat karena
akan menyebabkan tidak berkembangnya keteraturan sosial. Hal ini pada akhirnya
akan mempersulit perkembangan masyarakat. Ketertiban harus diutamakan apabila
masyarakat menginginkan kemajuan yang merata dan bebas dari anarkisme sosial
maupun anarkisme intelektual. Keteraturan sosial tiap fase perkembangan sosial
atau sejarah manusia harus sesuai perkembangan pemikiran manusia. Pada tiap
proses, fase-fasenya perkembangan bersifat mutlak dan universal. Ini merupakan
inti ajaran Comte.
Comte melihat agama memiliki ikatan emosional yang tinggi berdasarkan
sistem kepercayaan yang satu. Hal itu mendorong kebersamaan umat manusia dalam
menjalankan ritual keagamaan dengan penuh disiplin, menuju hal yang bernuansa
transendental dengan mengutamakan solidaritas sosial dan konsensus. Menurut
Comte hal ini tepat bila akan digunakan sebagai satu formulasi untuk
mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi yakni perubahan secara
cepat atau revolusi sosial. Namun, Comte tidak dapat mengandalkan agama yang
konvensional dalam mengadakan sinkronisasi dan konsisten dalam pengembangan
ilmu pengetahuannya yang positivistis.
Berbicara tentang keluarga, Comte berpendapat bahwa keluarga merupakan
kesatuan organis yang dapat menyusun pemikiran-pemikiran sejak awal bagi
manusia-manusia baru. Keluarga menjadi tempat bagi internalisasi nilai-nilai
baru. Comte percaya bahwa perubahan tidaklah akan begitu tiba-tiba datangnya
dalam masyarakat. Comte pun percaya bahwa humanitas keseluruhan akan dapat
tercipta dengan kesatuan lingkungan sosial yang terkecil, yaitu keluarga.
Keluarga-keluarga merupakan satuan masyarakat yang asasi bagi Comte. Keluarga
yang mengenalkan pada lingkungan sosial. Eskalasi keakraban yang meningkat akan
menyatukan dan mempererat keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.
Hal tersebut membentuk pengalaman yang didominasi oleh altruisma, yakni
terarah pada ketaatan, kerjasama dan keinginan untuk mempertahankan yang telah
dicapai. Manusia memiliki kecendrungan terhadap dua hal, yaitu egoisme dan
altruism. Kecendrungan petama terus melemah secara bertahap, sedang yang kedua
makin bertambah kuat. Comte menganggap keluargalah yang menjadi sumber
keteraturan sosial. Nilai-nilai kultural pada keluarga (kepatuhan) yang
disinkronisasikan dengan pembagian kerja akan selalu mendapat tuntutan kerja
sama. Tuntutan kerjasama berarti saling menguntungkan. Ia menumbuhkan persamaan
dalam mencapai suatu kebutuhan.
Comte meyakini bahwa ilmu pengetahuan yang ditebarkannya mencoba
mensinkronisasikan altruisma unsur kebudayaan teologis. Konsensus sosial dan disiplin merupakan landasannya atas aktivitas
sehari-hari umat manusia. Demikian pula dengan kesatuan organis terkecil di
masyarakat. Menurut Comte, ia merupakan institusi yang dapat mempengaruhi
pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam pembentukan sosial orde pada
masyarakat luas. Comte merumuskan suatu pola dan bentuk penyebaran dari satu
sosial orde yang sangat mempengaruhi umat manusia. Comte menciptakan agama baru
yang sesuai dengan idealismenya.
Idealisasinya berbentuk agama dapat dikatakan sekuler. Comte melengkapinya dengan
ritus, hari raya, pemuka agama serta lambang. Agama gaya baru ini dinamakan
agama humanitas yang dimaksudkan untuk memberikan cinta yang lebih terhadap
manusia-manusia yang menghasilkan karya dalam sejarah perkembangan manusia.
Menurut Comte, mencintai kemanusian semacam ini adalah hal yang dapat menyebabkan
lahirnya keseimbangan dan integrasi, baik dalam individu maupun masyarakat.
Kemanusian adalah sesuatu yang kudus dan sakral, bukanlah Tuhan. Banyak
penjelasan dalam agama konvensional yang bersifat abstrak dan spekulatif serta
hanya memberi impian. Institusi agama pun hanya menjadi alat propaganda
kepentingan politik dari kekuatan politik tertentu.
Comte dengan konsistensinya mensosialisasikan agama humanitas-nya dan hukum
tiga tahap yang memaparkan perkembangan kebudayaan manusia hingga akhir
hayatnya. Comte meninggal di Paris pada tanggal 5 September 1857.
Custom Search