Selasa, 07 April 2015

DIMENSI ONTOLOGI DALAM UPACARA MANGONGKAL HOLI

`Kata batak acapkali dialamatkan kesuku yang tinggal di Sumatra Utara. Istilah ini merujuk kebeberapa suku yang lazim disebut suku karo, pakpak-dairi, simalungun, toba(termasuk binsaran, silindung, humbang, uluan, dan samosir), serta angkola-mandailing. Suku-suku di atas memiliki persamaan dari segi bahasa, sistem
kekerabatan, keagamaan, dan kebudayaan. Meskipun demikian, beberapa
kajian mendalam akan berhasil mencermati karakter kuat perbedaaan
antarsuku. Akibat pengaruh-pengaruh agama yang datang dari luar,
semakin langka dan sulit kita temui Agama Batak Asli yang masih
dipraktikkan. Kini posisi agama asli itu digantikan dengan agama
Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan Parmalim. Sekarang hanya Suku Batak
Toba yang menyebut diri sebagai Batak, sedangkan suku-suku lain
menyebut dirinya sesuai dengan nama suku seperti tertulis di atas.
Dengan demikian ada banyak acara atau kegiatan yang terdapat didalamnya kebudayaan tersebut, akan tetapi banyak kebudayaan yang berbeda dari macam-macam suku batak yang terterah diatas. Yang dimaksud berbeda disini adalah adanya suatu susun acara yang terdapat didalam suatu acara adat, mungkin karna dilatorbelakangi oleh bahasa yang berbeda. Dalam makalah ini membahas tentang suatu proses pembongkaran kuburan leluhur yang disebut mangongkal holi.      
Kebudayaan “Mangongkal Holi” merupakan salah satu dari banyak jenis kebudayaan yang dimiliki masyarakat Batak, yang secara tidak langsung telah mempengaruhi pemikiran masyarakat Batak itu sendiri.  Kebudayaan Mangokkal Holi itu sendiri berarti menggali kembali dan memindahkan tulang belulang leluhur ke suatu tempat yang telah ditentukan oleh pihak keluarga, yang biasanya dipindahkan kesebuah tugu. 
Kebudayaan Mangongkal Holi ini bila ditelaah secara detail akan menimbulkan berbagai kontroversial.  Hal ini sangat terlihat jelas bila kita mengamati tugu yang ada di daerah Batak itu sendiri.  Jika kita melihat secara kasat mata saja, kita akan melihat berdiri tugu-tugu sebagai makam leluhur yang megah dan indah.  Masalah utama yang timbul disini adalah, semakin megah, mewah, dan indah tugu yang dibangun, maka nampaklah status dari sebuah keluarga dan mengagkat martabat sebuah marga(nama belakang dari masyarakat Batak yand diambil dari nama sang leluhur).
            Hal diatas memang seperti menyombongkan diri dengan ingin menunjukkan keberhasilan seseorang, padahal belum tentu seluruh keluarga mereka sudah mapan.  Sebagai orang awam kita jelas menganggap kebudayaan Mangokkal Holi ini adalah sebuah pemborosan atau hal ini bisa mengajarkan anak cucu kita untuk melakukan pemborosan tanpa pernah menabunga untuk masa depan.  Tetapi dibalik semua itu ebudayaan Mangokkal Holi sangatlah mengandung arti yang sangat penting bagi masyarakat Batak itu sendiri, karena tujuan utama dari Mangokkal Holi adalah untuk menghormati orang tua atau leluhur kita yang sudah meninggal.
Sebelum membahas lebih mendalam tentnang kebudayaan Mangongkal Holi, ada baiknya kembali dijelaskan apa itu yang dimaksud dengan Mangongkal Holi dan bagaimana prosesnya.  Mangongkal Holi berarti menggali kembali kuburan dan memindahkan tulang belulang leluhur ke suatu tempat yang telah ditentukan oleh pihak keluarga, yang biasanya dipindahkan kesebuah tugu.  Saya akan mengambil contoh dari sebuah keluarga yang inigin melakukan ritual Mangongkal holi ini dengan singlkat saja mengingat ritual ini memakan waktu paling tidak selama 3 hari.
            Di Samosir, kampung atau huta dihuni berdasarkan hubungan darah. Huta bagi orang Tapanuli, identik dengan marga, yang merupakan turunan satu leluhur pria. Dengan menyebut marga, berarti menyebutkan kampung halaman leluhur.Huta Batugordang ini merupakan huta tanah leluhur Ompu Raja Napir Simbolon.    Kampung yang diperkirakan sudah berumur ratusan tahun ini, sedang sibuk, mempersiapkan ritual puncak mangokkal holi yang akan berlangsung selama 3 hari.  Saat disembelih, darah kerbau sengaja ditumpah ke atas tanah. Agar para pemilik tanah di huta, mendapat rejeki atau berkat, dari acara mangokkal holi yang akan diselenggarakan. Karena dari tanahlah, semua tumbuh.  Malam harinya, anak-anak muda marga Simbolon menonton rekaman ritual penggalian tulang belulang leluhur mereka. Mangokkal holi adalah rangkaian ritual yang cukup panjang.
            Setidaknya pada keluarga besar Ompu Raja Napir Simbolon ini, mangokal holi sudah berjalan hampir 6 bulan.  Ada 7 makam leluhur yang harus digali, semuanya tersebar di berbagai tempat. Proses penggalian butuh waktu yang lama, karena harus berurusan dengan pihak hula-hula, atau keluarga dari pihak istri, untuk meminta ijin.  Singkatnya ritual Mangongkal Holi berawal dari menggali kembali makam leluhur yang sudah puluhan tahun lamanya.  Seluruh kerangka tulang belulang yang sudah puluhan tahun tertanam di dalam tanah ini lalu dicuci dengan air jeruk, dan dilumuri kunyit, agar tampak bersih, dan segar. Lalu dibawa pulang untuk selanjutnya diadakan upacara adat.
            Malam harinya, diisi dengan kebaktian. Walau tradisi leluhur masih mereka jalankan, orang Batak Toba juga kebanyakan adalah penganut agama Kristen dan Katolik. Sebuah kontradiksi yang mungkin hanya bisa dipahami mereka.  Bunyi musik gondang mengiringi acara ibadah yang dipimpin seorang pastor. Dalam alunan musik khas Batak ini, semua berharap, acara penguburan di tugu makam besok, mendapat restu dari debata atau Tuhan dan leluhur. 
Hari inilah ritual puncak mangokkal holi akan berlangsung. Pagi hari, tiang borotan ditanam di depan rumah leluhur. Tiang borotan ini semacam tiang pancang bagi hewan yang akan dikurbankan. Di pucuk tiang, dipasang kain putih sebagai lambang kesucian.  Selain kain putih, juga ada ulos pengiring. Maksudnya berkah akan terus mengiringi setiap keturunan. Sementara daun silinjuang yang dipasang, bermakna, setiap generasi Simbolon akan menang melawan musuh, dan mengalah terhadap kawan.  Seekor kuda berwarna hitam, yang disebut huda Debata, atau kuda Tuhan, menjadi simbol persembahan buat Yang Maha Kuasa. Tujuh peti leluhur akhirnya dikeluarkan, dijunjung diatas kepala para boru Simbolon yang paling tua dan yang bungsu.  Suasana kian semarak, ketika keluarga yang hadir menari marnotor, mengelilingi tiang borotan, sebagai ungkapan sukacita. Ritual untuk membawa tulang belulang ke tempat yang baru, Tugu Ompu Raja Napir Simbolon, segera dimulai.
            Tujuh peti tulang belulang leluhur akhirnya dibawa ke tempat persemayaman yang baru. ketika tulang belulang para leluhur ditempatkan di tugu, langit pun menurunkan tetesan airnya. Mengiringi prosesi tersebut. Menurut kepercayaan, jika hujan turun ketika mangohal holi, berarti berkah akan turun melimpah bagi kehidupan mereka. Kebahagiaan usai menjalani ritual mangohal holi, dengan memasukkan tulang belulang leluhur ke tempat persemayaman yang baru, kembali berlanjut. Huda debata, atau kuda Tuhan, akhirnya dipotong, dan disajikan kepada para tamu undangan.  Bagian kepala, dan buntut untuk hula-hula. Satu paha kuda untuk tuan rumah, sedangkan bagian perut dan daging di bagian leher kuda untuk pihak boru. Bagian yang tidak bertulang lainnya untuk disantap bersama. 
Kebudayaan Mengongkal Holi memang akan memakan biaya yang lumayan besar, tetapi walaupun demikian hal ini terlalu dihiraukan mengingat rasa hormat kepada orang tua.  Hal ini secara tidak langsung akan mengajarkan kita betapa pentingnya menghargai jasa-jasa ornga yang telah sayang kepada kita, karena ada juga falsafah Suku Batak yang mengatakan, Tinaba hau toras bahen sopo di balian; Na burju marnatoras ingkon dapotan parsaulian, yang artinya: Orang yang mengasihi orangtuanya dan selalu melayani mereka sebaik-baiknya akan mendapat segala yang indah-indah.
Kebudayaan Mangongkal holi ini sangat mengandung nilai yang sangt tinggi bagi masuyarakat Batak, karena tradisi ini sudah berjalan sejak dulu.  Hal ini bisa diartikan bahwa seberapa besar bakti kita terhadap orang tua yang telah membesarkan kita dan medidik kita agar menjadi orang yang berhasil, karena salah satu tujuan dari Masyarakat Batak adalah menjadi orang yang sukses.
Pengada dalam kebudayaan mangongkal holi adalah Debata Mula Jadi na Bolon. Mula jadi na Bolon itu satu dan bersifat transendental kepada masyarakat batak. Pengada itu berdimensi dalam bentuk rohani, dan memiliki nilai yang sangat tinggi dalam masyarakat batak. Pertanyaan tentang pengada ini muncul dari pemahaman tentang kenyataan konkret. Dengan demikian ontologi dalam kebudayaan mangongkal holi ini tidak terkenal dan tidak pernah ditanyakan.
Dan latar belakang mangongkal holi adalah untuk menghormati para leluhur, karena telah berhasil dalam melanjutkan keturunannya. Yang mana keturunannya itu masih ada sampai sekarang dan pengucapan syukur kepada Debata Mula Jadi na Bolon.
Kebudayaan Mangongkal holi merupakan kebudayaan yang diperuntukkan untuk mengohormati orang tua yang sudah meninggal, yang kuburannya itu digali kemdali dan diambil tulang belulangnya untuk dipindahkan ke sebuah tugu yang sudah disepakati bersama oleh pihak keluarga.  Biasanya kbudayaan mangongkal holi ini dadakan dengan melakukan ritual adat-istiadat yang memakan biaya yang cukup besar.  Tetapi dengan mengesampingkan dana yang dikeluarkan adalah cukup besar, ritual adat yang dilakukan adalah sangat penting, karena untuk memindahkan tulang belulan ke tugu butuh proses adat terlebih dahulu yang harus dilakukan, Karena itu sudah tradisi bagi mereka, yang telah mapan secara ekonomi, terutama yang berhasil di perantauan, untuk menyisihkan uang, membangun kuburan bagi orangtua mereka, dan tugu buat para leluhur.

            Dalam masyarakat Batak, seseorang sudah punya posisi dalam keluarga besar, begitu ia lahir. Dalihan Natolu, begitu istilahnya dalam bahasa Toba. Yang paling dihormati adalah hula-hula atau keluarga pihak istri. Sementara dengan dongan tubu atau saudara semarga, berarti posisinya sejajar. Dan boru yang antara lain adalah saudara perempuan dan pihak marga suaminya, menempatkan orang tersebut dalam posisi melayani.  Tapi sistem kekerabatan Dalihan Natolu ini bukanlah kasta. Karena setiap orang punya kesempatan untuk ketiga posisi tersebut. Ada saatnya menjadi yang dituakan, dan ada saatnya ia menjadi boru yang harus melayani pihak hula-hula. Inilah kebudayaan suku Batak yang bisa dibilang sangat rumit, tetapi dibalik itu memiliki nilai yang sangat tinggi terutama bagi masyarakat itu sendiri.
Holben Wesly Sinaga,  yang pernah melakukan penelitian tentang kebudayaan Mangongkal Holi Ini mengatakan, sangat tertarik dengan kebudayaan Mangongkal Holi ini dan kebiasaan orang Batak membangun tugu.  “Benar memang, tidak sedikit orang kita Batak yang bangga, bahkan cenderung pamer, membangun makam orangtua atau tugu kakeknya sampai menghabiskan uang puluhan juta, sementara pinomparna (saudara mereka yang lain) masih banyak yang hidup susah dan perlu dibantu.  Terkadang orang hanya mau saling pamer gengsi dengan membuat makam yang luar biasa mewah dan mahal. Padahal kalau dipikir-pikir, seiring berjalannya waktu semua itu akan pudar. Walau bagi sebagian orang itu sebagai lambang penghormatannya bagi orang tua atau leluhur yang sudah meninggal. Tapi apakah, mereka yang sudah meninggal masih bisa menikmatinya ?
            Betapa tidak, dengan kondisi mahalnya sekolah-sekolah unggulan dengan tanpa beban beliau memikirkan generasi Batak yang selanjutnya. Kehadiran beliau ibarat menemukan oase di padang pasir. Tentunya betapa doa-doa dari para orang tua kepada keluarga Bapak Panjaitan dan tidak putus putusnya harapan supaya beliau semakin sering menoleh dan meningkatkan kualitas hidup orang Batak.  Apabila kita melihat jumlah orang Batak yang kaya, akan sangat mudah memberikan nama dan marga secara jelas. Namun sangat disayangkan harta dan kekuasaan belum pernah cukup dan belum terbuka mata hati untuk meningkatkan atau paling tidak membuka peluang yang lebih baik untuk anak-anak daerah Batak.
 Coba anda pergi ke Muara, pemandangan yang sangat fantastis, green look dan fresh air. Namun dengan mudah anda menemukan rumah yang reot, kumuh dan kandang babi bersebelahan dengan alat tenun.  Air mata saya hampir jatuh karena saya tidak menyangka masih ada suku Batak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ketika saya berjalan jalan sore di Muara, ada seorang ompung yang mengais-ngais di tempat pembuangan sampah di tempat hotel saya menginap
     1.      Kenapa ada mangongkal holi?
Mangongkal ada karena sebangai untuk menghormati orang tua yang selama ini sudah berhasil membesarkan anak-anaknya dan cucunya maupun generasinya.
2.      Apa tujuan mangongkal holi?
Tujuan mangongkal holi adalah sebenarnya sangat berkaitan dengan jawaban yang diatas, denga tidak lain adalah untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa anak-anaknya dan cucunya maupun generasinya telah berhasil. Karena untuk mengadakan acara mangongkal holi membutuhkan biaya yang sangat besar.

GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search