A. Riwayat Hidup
David Hume dilahirkan
dari keluarga borjuis yang terpandang di Edinburgh, Skotlandia pada 7 Mei 1711.
Ayahnya seorang tuan tanah yang kaya, meninggal selagi Hume masih kecil
(Hardiman, 2004:85). Semula ia belajar hukum, namun kemudian ia menekuni
filsafat secara otodidak. Pada tahun 1734, ia bekerja sebagai juru tulis pada
seorang saudagar. Pada tahun 1734-1737, ia tinggal di Paris, publikasi bukunya
gagal dan hidup luntang-luntung tanpa
pekerjaan dan kemudian pulang ke Inggris. Pada tahun 1744 ia ditolak seorang
pofesor Universitas Edinburgh karena dianggap atheis dan terlalu liberal. Pada
tahun 1763 ia diutus sebagai sekretaris Dubes Inggris di Paris. Ia tinggal di
Flecthe, tempat di mana Descartes telah bersekolah. Di Paris ia bertemu dengan
Jean-Jacques Rousseau. Pada tahun 1776 ia bekerja sebagi sekretaris di London
dan mulai tahun 1769 ia tinggal di kampung halamannya hingga wafat pada tahun
1776.
B. Ajaran - Ajaran Pokok
Hume adalah
seorang empirisme radikal. Empirisme radikal adalah mereka yang berpendirian
bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi, dan
apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu dianggap bukan pengetahuan
(Kattsoff, 2004:133). Filsafat Hume menggabungkan empirisme Locke dan Berkeley,
yang berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh hanya dari persepsi panca indera.
Kaum empirisme memakai teori
korespondensi tentang kebenaran; pernyataan-pernyataan adalah benar bila
berkorespondensi (sepadan) dengan dunia/kenyataan.. Hume berpendapat bahwa pengetahuan terbaik hukum ilmiah kita, bukanlah
apa-apa melankan persepsi penginderaan yang meyakinkan perasaan. Karenanya,
meragukan sekali bahwa kita memiliki pengetahuan; kita hanya mempunyai persepsi
panca indera dan perasaan (Lavine,2003:25).
Menurut Hume,
kita tidaklah memiliki pegetahuan, melainkan sekedar keyakinan bahwa yang kita
rasakan itu benar. Hume membantah ada dua jenis pengetahuan. Pemikiran bahwa
ada jenis pengetahuan tingkat atas yang bisa dicapai filsuf dengan akalnya,
pengetahuan akan alam realitasnya, pengetahuan metafisika. Gagasan ini ia
katakan benar-benar keliru, hanyalah ilusi (Levine, 2003:31). Maka di sini,
jelaslah bahwa Hume tidak pernah meyakini doktrin dasar, bahwa ada dua jenis
pengetahuan, pengetahuan biasa dengan persepsi panca indera dan pengetahuan
metafisika tingkat tinggi dengan pemikiran atau akal seperti filsuf-filsuf yang mendahuluinya.
Dalam soal
teori pengenalan Hume mengajarkan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan
bawaan ke dalam hidupnya. Tujuan
filsafat adalah menjelaskan mengapa kita percaya kepada apa yang kita kerjakan.
Banyak tindakan manusia bertumpu kepada “kepercayaan” tanpa didukung oleh suatu
kepastian tentang sebab yang mendasarinya. Bagi Hume, semua kepercayaan manusia
adalah hasil dari penerapan berulang atas kejadian dengan asosiasi-asosiasi
sederhana. Analisis Hume tentang “kepercayaan” manusia diawali dengan muatan
mental atau budi kita.
Dengan kata
lain, sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal
yaitu:
a)
Kesan-kesan yakni pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik
pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah, yang menampakkan diri dengan
jelas, hidup dan kuat. Misal: melihat meja yang didapatkan adalah kesan
langsung dari ciri-ciri meja itu, merasakan tangannya terbakar yang didapatkan
adalah kesan-kesan langsung dari ciri rasa tangan terbakar itu.
b)
pengertian-pengertian atau idea-idea yakni gambaran tentang pengamatan yang redup, samar-samar,
yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran
kesan-kesan yang telah diterima dari pengalaman. Idea kurang jelas, kurang
hidup dibandingkan dengan kesan-kesan. Misal: rasa sakit pada tangan yang
terbakar jauh lebih kuat dibandingkan dengan
kemudian jikalau rasa sakit itu direnungkan atau diingat kembali. Idea
atau pengertian adalah copy dari kesan-kesan. Jadi isi kesan dan idea adalah
sama. Perbedaan terletak dalam caranya ditimbulkan dalam kesadaran, yang satu
secara langsung, yang lain merenungkan kembali.
Ide atau
gagasan menurut Hume memiliki saling keterkaitan satu dengan yang lain karena
ide atau gagasan tersebut adalah hasil olahan akal budi manusia. Keterkaitan ini dicapai dengan menggunakan
prinsip ‘Hukum Asosiasi’, yang terdiri dari tiga unsur. Ketiga unsur tersebut
adalah:
1.
Prinsip kemiripan, yang berarti ide tentang suatu objek cenderung
melahirkan objek yang serupa atau mirip dalam akal budi kita.
2.
Prinsip kontinuitas dalam ruang dan waktu, yaitu kecenderungan akan akal
budi untuk mengingat hal lain yang punya kaitan dengan hal atau peristiwa
lainnya.
3.
Prinsip sebab akibat. Ide yang satu memunculkan ide yang lain tentang
sebab dan akibat dari hal atau suatu peristiwa (Wahyudi,2007:112)
Dari ketiga
prinsip yang dikemukakan oleh Hume tersebut, jelaslah bahwa Hume menolak ide
bawaan dari lahir. Namun, akal budi manusia mempunyai kecenderungan bawaan yang
mana dapat mengolah dan menyusun ide-ide yang timbul melalui cerapan panca
indera. Kecenderungan bawaan inilah yang memungkinkan manusia untuk bernalar
dan mengolah ide-ide sehingga menghasilkan proposisi pengetahuan
(Wahyudi,2007:112).
Melalui naluri alamiah manusia,
seseorang bisa mencapai kepastian-kepastian yang memungkinkan pengetahuan
manusia. Kepercayaan kita tentang realitas atas dunia eksternal secara
keseluruhan tidak rasional karena tidak didukung oleh relasi ide-ide ataupun
kenyataan. Walaupun kepercayaan tidak dapat dijastifikasi namun kepercayaan
atas dunia eksternal adalah alami dan tidak terhindarkan. Kita percaya karena
dalam beberapa kasus “sebab” menghasilkan “akibat”.
Meski dikenal sebagai seorang
empirisme, Hume juga dikenal bersikap Skeptis
terhadap subjek pengamat. “aku” subjek yang mengamati dicoret oleh Hume.
“Aku” sebagai pusat pengalaman, kesadaran, pemikiran dan perasaan hanyalah
rangkaian kesan-kesan (impressions) yg merupakan bahan penyusunan pengetahuan.
Pikiran-pikiran itu hanya sisa-sisa pengalaman inderawi. Kesadaran manusia bukan
“jiwa” melainkan hanya deretan “kesan-kesan”.
Selain menolak ide-ide bawaan atau
pandangan bawaan, Hume juga menolak prinsip kausalitas (prinsip sebab-akibat),
yang pada masa itu sangat popular. Dalam konsep kausalitas diandaikan bahwa
kalau ada peristiwa A terjadi lalu B terjadi, disimpulkan bahwa ada hubungan A
dan B. Menurutnya, segala peristiwa yang bisa kita amati memiliki hubungan
tetap satu sama lain, namun hubungan tetap itu tak boleh dianggap sebagai
hubungan sebab akibat. Hume berpendapat bahwa pendapat tentang hubungan niscaya
itu tidak benar dan didasarkan pada sebuah kebingungan belaka. (Hardiman,2004:90).
Prinsip kausalitas menurut Hume muncul
dari kesan kita atas dua hubungan antar subjek-objek. Prinsip kausalitas
tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1) Hubungan kedekatan atau kontak. Suatu sebab pasti
bersentuhan dengan sesuatu yang disebabkan.
2) Akibat pasti dengan segera mengikuti sebab atau
dengan kata lain, sebab harus mendahului akibat.
3) Keterkaitan wajib, yakni hubungan antara sebab dan
akibat di mana sebab menghasilkan akibat (lavine,2003:46).
Penolakan Hume atas prinsip kausalitas
ini sangat mempengaruhi bagi filsafat dan ilmu pengetahuan pada masa itu.
karena ilmu pengetahuan dan filsafat didasarkan pada prinsip kausalitas, Hume
kemudian menyatakan bahwa keduanya tidak pernah mencapai pengetahuan seratus
persen. Apa yang dicapai hanyalah kemungkinan (probability) atau kemungkinan
yang mendekati kepastian. Ajaran Hume tentang pengetahuan selanjutnya disebut
skeptisisme, yakni paham yang memandang sesuatu dengan ragu-ragu, sehingga kita
tidak bisa memperoleh kepastian (Tjahjadi,2004:250). Selain mengkritik kausalitas,
Hume juga mengkritik metode induksi yang dirintis sejak Francis Bacon. Metode
ini didasarkan pada pengamatan atas gejala khusus yang satu disusul oleh gejala
khusus yang lain, lalu disimpulkan adanya kausalitas universal diantara
keduanya. Menurut Hume, gejala ini pasti bersifat umum dan sesuatu hukum alam
dapat disimpulkan darinya (Hardiman,2004:90). Orang-orang terlalu gegabah dalam
mengambil kesimpulan dengan cara melompat dari hal-hal khusus ke hal yang umum.
Afirmasi Hume atas substansi ialah
dengan cara pikiran mengamati ciri-ciri yang senantiasa ada bersama-sama imajinasi
lalu membuat kesatuan artifisial atas ciri-ciri itu dan pikiran pun mendapat kesan
seolah-olah substansi itu ada (Hardiman, 2004:88). Lebih lanjut lagi Hume
mengatakan kesatuan ciri-ciri tersebut hanyalah fiksi belaka.
Berkaitan dengan justifikasi epistemologi,
Hume hanya memenuhi dua prinsip-prinsip justifikasi, yakni evidensi-perwujudan
ada bagi akal ialah dengan melakukan persepsi. Jika persepsi-persepsi tersebut
disingkirkan, maka hilanglah “diri” tersebut. Skeptisisme yang lebih ke arah skeptisisme
metodik-menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran ada tetapi tidak sebagai
doktrin, melainkan sebagai metoda untuk menemukan kebenaran dan kepastian.
David Hume adalah seorang skeptis, hal ini tampak tatkala ia mengkritik John
Locke. Hume menunjukan, jika pengetahuan muncul dari pengalaman murni dan
karenanya hanya terdiri dari komparasi, kombinasi dan asosiasi dari ide, maka
apa yang dapat kita ketahui ialah ide-ide kita dan hubungan antara ide-ide itu.
Dan kita tidak pernah mengetahui apapun yang bersangkutan dengan ide-ide serta
hubungan-hubungan itu. (Wahyudi, 2007:64)
GOOGLE search
Custom Search