Konflik antara rasionalisme dan empirisisme
kiranya menggelitik minat Karl Raimund Popper untuk ikut serta menjembatani
keduanya hingga menemukan kompromi. Ia membenarkan bahwa pengetahuan bersifat
apriori (berdasarkan teori daripada kenyataan atau alasan yang mendekati)
secara genetic atau psikologis, namun dia tidak sejalan dengan anggapan bahwa
pengetahuan bisa sah secara apriori. Menurut Popper, teori-teori kita merupakan
hasil penemuan kita, tetapi mungkin saja teori-teori kita hanya dugaan-dugaan
yang kurang beralasan (ill reasoned), konjektur (berdasarkan atas
perkiraan), hipotesis yang berani. Dari teori-teori ini kita membangun suatu
dunia bukan dunia yang sebenarnya, melainkan jaring-jaring kita sendiri, yang
kita pakai dalam percobaan kita menangkap dunia yang sebenarnya (Popper, Autobiography
: 46)
Immanuel Kant mengatakan bahwa teori-teori ilmiah
adalah buatan manusia atau bahwa kita mencoba mendesakkan berlakunya
teori-teori itu atas dunia. Popper setuju dengan gagasan sentral Kant ini,
menurutnya bisa saja kita secara dogmatis berpegang pada teori-teori tersebut
pun kalau teori itu salah. Namun meskipun pada awalnya kita harus berpegang
erat pada teori-teori kita, tanpa teori kita tidak dapat mulai, seiring
perjalanan waktu, kita dapat mengembangkan sikap kritis terhadapnya. Kita dapat
mencoba menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik bila kita telah menemui
kegagalan. Jadi bisa timbul suatu fase pemikiran ilmiah atau kritis yang secara
niscaya didahului oleh suatu fase tak kritis.
Dalam karya pertamanya Logik der Forschung
ditunjukkan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan pembuangan kesalahan
dan bahwa perbedaan utama antara pertumbuhan pengetahuan pra ilmiah dan
pertumbuhan pengetahuan ilmiah ialah bahwa pada tingkat ilmiah kita secara
sadar mencari kesalahan-kesalahan kita, pengambilan secara sadar metode
kritis menjadi sarana utama pertumbuhan. Metode ini umumnya terwujud dalam
mencari kesulitan-kesulitan atau kontradiksi-kontradiksi dan usaha yang
dicobakan untuk memecahkannya.
Disamping
itu Popper menuliskan dalam The open Society and its enemies, bahwa
metode kritis dapat digeneralisasikan menjadi apa yang digambarkan sebagai
sikap kritis atau rasional. Arti terbaik dari akal dan masuk akal adalah
keterbukaan terhadap kritik, kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk
mengkritik diri sendiri. Ia menyarankan bahwa tuntutan untuk memperluas sikap
kritis ini sejauh-jauhnya bisa disebut rasionalisme kritis. Secara implisit
kesadaran bahwa kita hidup dalam masyarakat yang tidak sempurna perlu
ditanamkan. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa selalu terdapat benturan
nilai-nilai yang tidak dapat didamaikan. Namun karena tidak ada masyarakat
manusia tanpa konflik perbenturan nilai dan prinsip-prinsip ini mungkin
bernilai bahkan hakiki untuk masyarakat terbuka.
Popper
juga menyinggung masalah empirisisme, tetapi empirisisme yang dikembangkan
Popper adalah empirisisme kritis. Pengalaman dan percobaan bukan digunakan
untuk meneguhkan suatu teori seperti yang diusahakan kaum induktivitis (mengambil
kesimpulan general dari suatu percobaan parsial) dan verifikasionis, melainkan
untuk mengadakan penyangkalan (falsifikasi, refutasi) terhadap teori.
III. Ciri-ciri Epistemologi Popper
3.1 Objektivitas
Pendekatan
objektif dalah pengakuan terhadap problem-problem objektif, prestasi objektif
atau pemecahan problem, pengetahuan dalam dimensi objekif. Jadi pendekatan
objektif tidak lain daripada pendekatan yang bersifat memperlakukan setiap
teori sebagai solusi tentative terhadap suatu masalah yang membutuhkan
pemecahan (Taryadi dalam Imam Wahyudi, 2007 :130)
Pendekatan
objektif berlawanan dengan pendekatan subjektif yang menurut Popper terkandung
dalam pandangan rasionalistis maupun empirisistis. Kedua aliran tersebut
melalaikan perbedaan antara pengetahuan subjektif yang merupakan disposisi
mental subjektif dan pengetahuan objektif, yaitu pengetahuan dipandang dalam
dirinya sendiri.
Jadi
sifat objektif disini pengamatan didasarkan atas sifat-sifat yang melekat pada
materi yang diamati dimana terpisah dengan subjek pendukungnya (misalnya teori,
argument). Sementara
subjektifitas mendasarkan pengamatan pada sosok pendukung pengamatnya bukan
merupakan sesuatu yang terpisah antara objek pengamatan dengan subjeknya.
Percampuran antara subjek dan objek, di mana faktor subjek lebih besar
peranannya merupakan karakteristik dari sifat subjektif. Pendekatan subjektif tidak sejalan dengan epistemology menurut
pandangan Popper.
3.2 Problem Solving
Menurut
Popper metode pengetahuan adalah metode problem solving. Metode ilmu adalah
metode usaha tentatif untuk memecahkan konjektur-konjektur yang dikontrol
dengan kritik yang keras. Ia merupakan metode trial and error yang dikembangkan
secara sadar Dalam pandangan Popper ilmu memang bisa salah, dan itu justru
membedakan antara ilmu dan ideology (ideology tidak bisa difalsifikasi). Yang
ingin dia sampaikan adalah bahwa ilmu punya sasaran yaitu kebenaran, dan hal
ini dilakukan dengan mengeliminasi kesalahan dari waktu ke waktu serta tidak
mengabsolutkan pandangan yang sekarang. (Popper dalam Imam Wayudi, 2007 : 130)
Suatu
contoh teori yang dikemukakan Albert Einstein mengenai gravitasi ditinjau dari
segi hukum relativitas, pandangan Einstein ini terbukti secara empiris
mengkritisi apa yang pernah dikemukakan oleh Isaac Newton mengenai problem yang
sama. Dalam catatanya Newton
berpendapat bahwa gravitasi bumi terhadap benda yang mempunyai massa adalah sama dengan percepatan benda
tersebut apabila dibiarkan jatuh bebas dalam setiap kondisi. Induktivitas kental sekali terasa dalam
pandangan Newton, meskipun ia melakukan percobaan secara parsial. Ternyata
pandangan tersebut meski menjadi pegangan dan pedoman para fisikawan selama
bertahun-tahun adalah kurang tepat. Einstein mengemukakan adanya pergerakan
besarnya nilai percepatan dalam suatu benda jatuh bebas dipengaruhi oleh
kondisi kemagnetan bumi disamping itu juga kecepatan rotasi bumi, demikian pula
dengan keadaan pengamat atau posisi pengamat. Namun meski demikian teori Newton
yang kemudian terbukti kurang tepat tersebut telah mengantarkan sedemikian
banyak fisikawan untuk memulai melangkah sehingga menghasilkan pelbagai macam
teori pengembangan. Letak rasionalisme dan empirisisme kritisnya ialah pada
perbaikan teori gravitasi tersebut seiring dengan perjalanan waktu.
Seperti telah diuraikan dari sudut pandang
objektivis, pengetahuan dalam dimensinya dipandang sebagai solusi atas suatu
problem, dengan selalu dihadapkan pada kritik. Jadi
pengetahuan objektif mencakup elemen pokok dalam skema problem solving. Metode
ilmu pengetahuan digambarkan Popper sebagai penyajian solusi tentatif
(percobaan ilmiah) atas problem kita dengan konjektur-konjektur yang dikontrol
oleh kritik keras. Ini tak lain daripada metode problem solving. Karena itu
pertumbuhan ilmiah sama-sama menggunakan metode problem solving. Jadi memandang
epistemology dengan pendekatan objektif adalah memandangnya dari sudut ilmu
pengetahuan.
Dalam
pada itu, juga ditegaskannya bahwa baginya epistemology adalah teori
pengetahuan ilmiah, dengan alasan bahwa studi pertumbuhan pengetahuan ilmiah
merupakan jalan paling bermanfaat untuk mempelajari pertumbuhan pengetahuan
pada umumnya, sebab pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan manusia sehari-hari
yang tertulis besar-besar. Bagi Popper problem epistemology yang paling menarik
adalah problem petumbuhan pengetahuan, terutama pertumbuhan pengetahuan
ilmiah, dan problem serupa itu pasti melampaui setiap studi yang terbatas
pada pengetahuan common sense yang dipertentangkan dengan pengetahuan ilmiah.
(Popper, The Logic of Scientific Discovery, 1968 : 19)
Epistemologi
problem solving selain objektif seperti tampak dari uraian tentang pandangan
objektivis, juga rasional, kriti, evolusioner, realistis dan pluralis. Sifat rasional sangat menonjol dalam
hubungan antara problem, teori dan kritik atasnya. Sebab setiap teori bersifat
rasional sejauh mencoba memecahkan problem tertentu dan hanya bisa didiskusikan
secara rasional dengan mendiskusikan hubungan itu (Popper, Conjectures and
Refutations, :199).
Sifat kritis dimunculkan oleh kenyataan bahwa
kritik termasuk dalam mekanisme pertumbuhan pengetahuan itu sendiri. Oleh
sifatnya yang salah (fallible), manusia hanya bisa maju dengan belajar
dari kesalahan. Dan proses penemuan kesalahan dipercepat dengan jalan sadar
mencari kesalahan.
Sifat
evolusioner tampak pada kenyataan bahwa proses pertumbuhan pengetahuan secara
konjektur dan refutasi (jadi tidak lewat induksi dan verifikasi) mirip dengan
seleksi natural Darwin
. Teori yang tidak tahan uji
akan gugur dan digantikan dengan teori yang lebih tangguh (seperti kasus teori
antara Einstein dengan Newton). Sedang realistis terilustrasikan dari
epistemology problem solving, karena epistemology ini melibatkan pengakuan akan
realitas problem dan usaha pemecahannya sebagai suatu yang objektif. Disiplin
ilmiah oleh Popper disebut sebagai pengumpulan problem-problem dan usaha
pemecahannya yang dibatasi secara artificial. (Popper, Autobiography,
:59)
Sifat pluralis epistemology Popper terkait erat
dengan ide emergence yaitu suatu keterbukaan terhadap pertumbuhan yang
tak terduga, yang tak teramalkan oleh sarana-sarana ilmiah. Jadi suatu
pandangan indeterminisme (tak pasti). Bisa terjadi, teori-teori yang kini belum
terpikirkan, tahun depan akan diajukan seseorang. Dan yang berlainan dan
mungkin saling bertentangan itu tak mungkin direduksikan kepda keadaan
mental penciptanya, sebab teori sebagai produk pekiran hanya berada dalam
hubungan logis dan tak dapat terlibat dalam saling hubungan yang bersifat
kausal (Popper, Objective Knowledge : 198)
Erat hubungannya dengan ide emergence ialah
gagasan tentang transendensi diri. Dengan teorinya tentang dunia pengetahuan
objektif yang bersifat otonom. Popper memilahkan dunia menjadi tiga :
Dunia
1 : yaitu
dunia dari pengamatan langsung bersifat fisik berupa materi dan energi organis
maupun anorganis
Dunia
2 : yaitu
dunia pengalaman (kesadaran subjektif) berupa proses pemikiran, pengalaman
visual, pendengaran, perasaan, gagasan dan persepsi.
Dunia
3 : yaitu
dunia objektif berupa problem, kritik, proses pikiran objektif, dunia teori,
argument, situasi problem yang dipandang dalam dirinya sendiri.
Menurut Popper, Dunia 1 dan Dunia 2 saling berinteraksi, Dunia 2 dan Dunia 3
saling berinteraksi, sementara Dunia 1 dan Dunia 3 tidak berinteraksi secara
langsung melainkan lewat perantara Dunia 2. jadi bagi Popper pengertian dunia
mencakup segala hal yang ada. Dunia terdiri dari dunia jasmani (termasuk
manusia), dunia proses pemikiran dan dunia pengetahuan objektif.
Sifat-sifat
Dunia 3 menurut Popper ialah otonom, rasional objektif, tak terbatas dan serba
mungkin. Implikasi epistemologis teori tentang Dunia 3 ialah ditekanknnya
pendekatan objektivis. Bila epistemology tradisional memfokuskan pada
pengetahuan dalam arti subjektif atau Dunia 2 maka suatu studi pengetahuan
ilmiah menjadi tidak relevan.(Imam Wahyudi, 2007 : 127)
Dari cirri-ciri yang disketsakan di atas tampak mencolok perbedaan antara
pandangan Popper dan pandangan kebanyakan filsuf sebelumnya. Diantara perbedaan
pandangan tersebut, yang perlu digaris bawahi sebagai berikut :
1.
Sementara mereka memusatkan perhatian kepada
pengetahuan dalam arti keseharian, Popper memfokuskan minatnya pada problem
pertumbuhan pengetahuan ilmiah.
2.
Kalau mereka mengejar pembenaran pengetahuan secara
mutlak maka Popper sibuk meneliti bagaimana teori harus diuji demi pertumbuhan
pengetahuan.
3.
Epistemologi mereka bercirikan pendekatan subjektivis
sedangkan Popper ditandai dengan pendekatan objektivis.
GOOGLE search
Custom Search