- Konsep Manusia Menurut Ibnu Miskawaih
Menurut Ibn Miskawaih penciptaan yang tertinggi adalah
akal sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab
adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia.
Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal
dari pancaran Tuhan. Dalam diri manusia terdapat tiga daya jiwa, yaitu daya
bernafsu (al-Nafs al-Bahimiyyah),
daya berani (al-Nafs al-Sabu’iyyah),
dan daya berfikir (al-Nafs al-Natiqah).
Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir
berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran. (http://abiisyarfaq.multiply.com/journal/item/4).
Berkaitan dengan masalah akhlaq Ibnu Miskawaih mengatakan
bahwa kebaikan bagi makhluk hidup adalah usahanya untuk mencapai sesuatu yang
menjadi tujuan. Setiap yang ada itu dapat berubah menjadi baik, apabila ia
memiliki kesanggupan yang memadai utnuk mencapai tujuan yang akan dicapai,
namun setiap orang terdapat perbedaan yang prinsip sesuai dengan minat dan
bakatnya, sehingga seseorang dapat menjadi baik dan selalu memperoleh
keuntungan, jika amal perbuatannya dilandasi dengan harkat dan martabat
kemanusiaannya.
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan filsafat sampai kepada
definisinya, tetapi hanya membedakan filsafat dalam dua bagian yaitu teoritis
dan praktis. Teoritis adalah keutamaan manusia dalam memenuhi bakatnya agar
dapat mengenali segala sesuatu, disebut al-quwwah
al-alimah, sehingga dengan ilmu yang telah dicapainya dapat menghasilkan
pemikiran, kepercayaan untuk mendapatkan kebenaran; sedang yang praktis adalah
keutamaan manusia dalam memenuhi bakatnya agar dapat melaksanakan
perilaku-perilaku moral, disebut al-quwwah al-alimah. Keutamaan moral ini
diawali dari kesanggupan memelihara bakat-bakatnya dan perilaku-perilaku yang
berhubungan dengan hal tersebut, sehingga semua perilaku dapat sama dengan
bakat intelektualnya yang mampu memilah-milahkan yang baik dengan yang tidak
baik, yang benar dengan yang tidak benar sesuai dengan proporsi yang
sebenarnya. Keutamaan moral pada akhirnya mampu memelihara hubungan di antara
manusia yang satu dengan yang lain sampai terwujud kehidupan bersama yang
bahagia; apabila manusia dapat menguasai filsafat yang teoritis dan praktis,
maka ia akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. ( Widyastini 2004: 53-54).
Dan berkaitan dengan filsafat manusia, Ibnu Miskawaih
mengatakan bahwa kodrat manusia itu ada yang baik dan ada yang buruk. Kodrat
manusia itu baik sesuai dengan anggapan kaum Stoa yang menyatakan bahwa manusia
diadakan (diciptakan) dalam kondisi baik, namun selanjutnya menjadi buruk
disebabkan manusia berpotensi kearah keburukan: sedang kodrat manusia itu
buruk, hal ini sesuai pendapat Gelenus yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu
buruk dapat berubah menjadi baik jika dibina melalui pendidikan.
Selanjutnya Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa jiwa manusia
mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari jiwa hewan, hal ini disebabkan
adanya daya pikir yang merupakan pusat pertimbangan perilaku yang senantiasa
bertujuan kearah kebaikan. Jiwa manusia memiliki tiga tingkatan, adalah :
a.
An
Nafs al-bahimiyah adalah jiwa hewan yang
buruk; terdiri dari sifat-sifat tidak bertanggung jawab, sombong, pembohong,
dan sifat-sifat buruk lain.
b.
An
Nafs as-sabu’iyah adalah jiwa hewan buas yang
dimiliki oleh manusia, kadang-kadang manusia itu dikendalikan oleh jiwa hewan
yang buruk, namun juga dikendalikan oleh jiwa intelektual yang baik.
c.
An
Nafs an-nathiqah adalah jiwa intelektual yang baik;
terdiri dari sifat-sifat keadilan, harga diri, pemberani, pengasih dan suka
kepada kebenaran. Manusia dapat menjadi manusia sesungguhnya, apabila mempunyai
jiwa intelektual, maka manusia akan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
bahkan setaraf dengan malaikat, dan dengan jiwa intelektualnya manusia berbeda
dengan hewan. Manusia termulia adalah paling tinggi jiwa intelektualnya, maka
hidup dan kehidupannya senantiasa menuruti jiwa intelektualnya, sedang manusia
yang dikendalikan oleh jiwa hewan yang buruk dan buas, maka kedudukannya akan
menurun dari sifat-sifat kemanusiaannya. Oleh karena itu manusia harus dapat
memilih, menentukan pribadinya dalam tingkatan mana yang sesuai dengan dirinya.
Manusia dapat merubah perilakunya dengan melaui berbagai
macam pendidikan, baik dengan petuah-petuah, adat kebiasaan, akhlaq yang
seluruhnya dapat menjadikan manusia memanfaatkan akal pikirannya untuk
menentukan yang seharusnya dilaksanakan dan ditinggalkan, maka pendidikan
lingkungan mempunyai makna yang demikian penting, terutama dalam kaitannya dengan
pembinaan akhlaq.
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa kebaikan (al khair) dibedakan dengan kebahagiaan (as-sa’adah). Al Khair merupakan sesuatu yang akan dituju oleh setiap orang dan
berlaku bagi semua umat manusia dalam dalam peranannya selaku manusia, sedang as-sa’adah merupakan kebaikan yang
berhubungan dengan individu, maka al-khair
memilki ciri-ciri yang tetap, sedang as-sa’adah
bermacam-macam tergantung pada seseorang yang berupaya mendapatkannya, sehingga
memiliki ciri-ciri yang tidak tetap. Tujuan paling tinggi yang akan dicapai
oleh seluruh umat manusia adalah kebaikan mutlak yang berupa kebahagiaan yang
paling tinggi. Manusia dalam berusaha memperoleh kebahagiaan senantiasa
membutuhkan syariat-syariat yang berasal dari Allah agar dapat meraih kebijaksanaan
sampai pada akhir hidupnya. Ibnu Miskawaih memberi penegasan bahwa hakikat manusia
adalah makhluk sosial; maka sebaiknya tidak cukup hanya dengan mengutamakan
akhlaq bagi dirinya sendiri, namun juga harus berperan serta memelihara akhlaq
bagi masyarakat. ( Widyastini, 2004: 55-56).
GOOGLE search
Custom Search