Indonesia
sebagai bangsa yang besar merupakan sebuah perpaduan dari berbagai budaya,
suku, agama dan ras, perpaduan ini disatukan oleh kesamaan nasib dan tujuan
yang sama. Berbagai budaya yang ada tentunya memiliki nilai-nilai serta
filsafat yang luhur. Salah satu budaya yang memiliki karakteristik yang kuat
akan nilai serta filsafat adalah Jawa. Hal ini, terlihat dari pelaksanaan tata
adat yang syarat akan makna-makna filosofis, antara lain sesaji, pembangunan
rumah, hubungan manusia dengan alam sekitar, dan masih banyak yang lainnya.
Dalam
pelaksanaan adat di atas, tentu saja orang jawa tidak terlepas dari penanggalan
yang sekarang sering disebut dengan kalender Jawa atau ada juga yang
menyebutnya dengan istilah Pethungan/Pethangan. Petungan Jawa merupakan warisan
leluhur yang hingga kini masih digunakan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat
Jawa, pergantian hari, bulan, tahun, dan windu mengandung makna-makna tertentu.
Dalam kitab primbon ‘’Betal Jemur Adammakna” dijelaskan bagaimana membuat
ramalan, petungan, dan membaca keberuntungan nasib manusia berdasarkan
perubahan musim, siklus alam, suara hati, sasmita ghaib, dan keyakinan.
Berbicara
mengenai kalender Jawa, tidak bisa terlepas dari filosofi hidup orang Jawa yang
akhirnya menjadi dasar konstruksi kalender Jawa tersebut.
Dalam
menjalankan aktivitas hidupnya orang jawa berusaha agar perbuatannya tidak
melanggar pantangan dan senantiasa sesuai dengan nilai-nilai. Nilai-nilai
kebaikan disini didasari dan dilatarbelakangi oleh Kosmologi (pandangan dunia)
jawa.
Dalam
pandangan dunia jawa terdapat beberapa pembagian ruang. Franz Magniz Suseno
2001: 83-84) Orang Jawa membagi alam ini menjadi empat bagian atau lebih
tepatnya empat lingkaran bermakna yang disetiap lingkarannya mempunyai
aturan-aturanya sendiri. Lingkaran pertama pandangan sikap kesatuan numinus
antara manusia, alam dan masyarakat adikodrati yang terwujud dalam ritus.
Lingkaran kedua memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinus.
Lingkaran ketiga merupakan berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai
jalan kepersatuan dengan yang numinus. Lingkaran keempat adalah penentuan semua lingkaran pengalaman oleh Yang
Ilahi.
Salah
satu pilar pemikiran filosofis Jawa ialah mengenai pentingnya memiliki sikap
batin. Sikap batin menurut
etika Jawa meliputi beberapa sikap (pokok) didalamnya yaitu : hawa nafsu,
egoisme (pamrih), nrimo, ikhlas, jujur (temen), bersahaja (prasaja), tenggang
rasa (tepa selira). Jadi idealnya
seseorang dikatakan memiliki sikap batin yang tepat jika dia dapat
mengendalikan hawa nafsu, tidak egoisme (tanpa pamrih) serta dapat bersikap
nrimo, ikhlas dan berlaku jujur, bersahaja dan memiliki tenggang rasa.
Artinya, sikap batin ini bertujuan agar manusia tidak terikat
pada dunia karena dunia ini fana dan sementara. Dunia adalah tempat untu
bekerja keras dan bersikap tanpa pamrih.
Berangkat
dari pemikiran pandangan hidup orang Jawa, kita dapat melihat pola-pola
filsafat tersebut dalam kalender Jawa.
Dalam
lingkaran pertama, ada kesatuan numinus manusia dengan alam. Awalnya leluhur
jawa mengamati pengaruh waktu terhadap perubahan alam, terdapat pola dan
disusunlah konsep. Cara pengamatan bisa melalui yang kelihatan: alam sekitar,
letak perbintangan maupun yang lain. Perhitungan waktu di Jawa sebenarnya sudah
ada ribuan tahun SM, tetapi tidak dicatat, melainkan disampaikan secara turun
temurun. Hingga huruf Jawa ditemukan sekitar 78 M, atau tahun 1 Saka, maka awal
itulah perhitungan Jawa dimulai.
Dari
pengamatan, di pedesaan-pedesaan yang masih menggunakan Petungan untuk menanam
padi atau berkebun, mereka bisa tahu kapan siklus hama datang, kapan masa tanam
bagus. Hasilnya mereka selalu bisa menghindari gagal panen akibat hama, cuaca
dsb. Mereka patuh untuk tidak memaksakan target panen lebih dari sekali
setahun. Di jaman modern ini kendala-kendala hama mungkin bisa diatasi dengan
obat anti hama, tapi bisa berakibat rusaknya ekosistem. Tuhan menciptakan
siklus ekosistem, ada hama, ada predator dan seterusnya, kalau dikelola secara
alami, alam terkendali dan selaras. Sistem Penanggalan Jawa lebih lengkap dan
komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap
dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam
mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi
seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia.
Pada
lingkaran kedua, antara manusia dengan masyarakatnya (kehidupan politis), Pada
tahun 1625 Sultan Agung yang berusaha menyebarkan Agama Islam berusaha
merangkul orang Jawa yang kala itu mayoritas memeluk agama Hindu-Budha yang
menggunakan Kalender Saka. Ada analisis, agar penyebaran Agama Islam itu tidak
memunculkan konflik, maka lewat budayalah penyebaran itu dilakukan. Hal itu
sudah dimulai oleh para wali sejak pemerintah Kasultanan Demak pada beberapa
dekade sebelumnya. Pembuatan Kalender Jawa itu sekaligus juga untuk merangkul
seluruh rakyat Jawa untuk menyatu di bawah kekuasaan Mataram. Dan pada
gilirannya kemudian dijadikan sebuah momentum politik menggalang kekuatan untuk
menyerbu Belanda dengan VOC-nya di Batavia pada tahun 1628 dan 1629.
Beberapa penulis sejarah berpendapat Sultan Agung mengembangkan budaya pedalaman Jawa yang berciri kejawen, feodal dan berbau mistik. Hal itu berbeda dengan para raja sebelumnya yang berciri perniagaan sehingga banyak pelabuhan tumbuh subur di pesisir utara Jawa.
Beberapa penulis sejarah berpendapat Sultan Agung mengembangkan budaya pedalaman Jawa yang berciri kejawen, feodal dan berbau mistik. Hal itu berbeda dengan para raja sebelumnya yang berciri perniagaan sehingga banyak pelabuhan tumbuh subur di pesisir utara Jawa.
Pada
lingkaran ketiga dan keempat, yaitu antara manusia dengan dirinya sendiri dan
manusia dengan Tuhan, kita dapat menemnukan unsur-unsur yang sifatnya lebih
metafisis.
Kalender Jawa menunjukkan perputaran hidup antara manusia
dimana hidup itu diciptakan oleh Gusti, pencipta Jagat Raya, Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Terdapat delapan nama dari tahun Jawa, misalnya tahun
internasional 1999 sama dengan tahun Jawa, Ehe 1932 yang dimulai sejak bulan
Sura, bulan pertama.
Nama-nama tahun tersebut adalah sebagai berikut :
1. Purwana - Alip, artinya ada-ada (mulai berniat)
2. Karyana - Ehe, artinya tumandang (melakukan)
3. Anama - Jemawal, artinya gawe (pekerjaan)
4. Lalana - Je, artinya lelakon (proses, nasib)
5. Ngawana - Dal, artinya urip (hidup)
6. Pawaka - Be, artinya bola-bali (selalu kembali)
7. Wasana - Wawu, artinya marang (kearah)
8. Swasana - Jimakir, artinya suwung (kosong)
Kedelapan tahun itu membentuk kalimat ”ada-ada tumandang
gawe lelakon urip bola-bali marang suwung” (mulai melaksanakan aktifitas untuk
proses kehidupan dan selalu kembali kepada kosong). Tahun dalam bahasa Jawa itu
wiji (benih), kedelapan tahun itu menerangkan proses dari perkembangan wiji
(benih) yang selalu kembali kepada kosong yaitu lahir-mati, lahir-mati yang
selalu berputar.
Satu tahun terdiri dari 12 bulan yang meninjukkan sangkar
paraning dumadi (asalnya dari mana dan akan pergi kemana), disini ada 12 proses
yaitu :
1. Warana (Sura) artinya rijal.
2. Wadana (Sapar) artinya wiwit.
3. Wijangga (Mulud) artinya kanda.
4. Wiyana (Bakda Mulud) artinya ambuka.
5. Widada
(Jumadi Awal) artinya wiwara.
6. Widarpa
(Jumadi Akhir) artinya rahsa.
7. Wilapa
(Rejeb) artiya purwa.
8. Wahana
(Ruwah) artinya dumadi.
9. Wanana (Pasa)
artinya madya.
10. Wurana
(Sawal) artinya wujud.
11. Wujana
(Sela) artinya wusana.
12. Wujala
(Besar) artinya kosong.
Setiap
eksistensi dari hidup manusia baru dimulai dengan Rijal (sinar hidup yang diciptakan
oleh kekuatan gaib dari Gusti Tuhan). Perputaran hidup manusia adalah dari
rijal kembali ke rijal melalui suwung (kosong). Dari bulan pertama sampai
dengan bulan ke sembilan manusia baru tersebut berada di kandungan ibu dalam
proses untuk mengambil bayi hidup yang sempurna, siap untuk lahir; dari bulan
kesepuluh dia menjadi seorang manusia yang hidup didunia ini. Bulan kesebelas
melambungkan akhir dari pada eksistensinya didunia ini yaitu, wusana artinya
sesudahnya. Yang terakhir adalah suwung artinya kosong, hidup pergi kembali
dari mana hidup itu datang. Dengan kehendak Gusti hidup itu kembali lagi
menjadi rijal, inilah perputaran hidup karena hidup itu abadi.
Ada
kalanya orang tua bijak memberikan nasihat sebaiknya setipa orang itu tahu inti
dari sangkan paraning dumadi atau purwa, madya, wusana. Sehingga orang akan
selalu bertingkah laku yang baik dan benar selama diberi kesempatan untuk hidup
didunia ini.
Tanggal
1. Tanggal pertama tiap bulan Jawa, bulan kelihatan
sangat kecil-hanya seperti garis, ini dimaknakan dengan seorang bayi yang baru
lahir, yang lama-kelamaan menjadi lebih besar dan lebih terang.
2. Tanggal 14 bulan Jawa dinamakan purnama sidhi, bulan
penuh melambangkan dewasa yang telah bersuami istri.
3. Tanggal 15 bulan Jawa dinamakan purnama, bulan masih
penuh tapi sudah ada tanda ukuran dan cahayanya sedikit berkurang.
4. Tanggal 20 bulan Jawa dinamakan panglong, orang sudah
mulai kehilangan daya ingatannya.
5. Tanggal 25 bulan Jawa dinamakan sumurup, orang sudah
mulai diurus hidupnya oleh orang lain kembali seperti bayi layaknya.
6. Tanggal 26 bulan Jawa dinamakan manjing, dimana hidup
manusia kembali ketempat asalnya menjadi rijal lagi.
Sisa hari sebanyak empat atau lima hari melambangkan saat
dimana rijal akan mulai dilahirkan kembali kekehidupan dunia yang baru.
Proses perputaran hidup ini dinamakan cakromanggilingan
(cakra = senjata berbentuk roda yang bergigi tajam, manggilingan = selalu
berputar) atau juga disebut herucakra. Manusia yang berbudi baik selalu
mengikuti jalan yang diperkenankan oleh Yang Kuasa orang tersebut akan dituntun
mengetahui sangkan paraning dumadi (datang ke dunia berawal suci hidup didunia
berhati dan berperilaku suci dan kembali dalam keadaan suci lagi).
GOOGLE search
Custom Search