“Apa
yang tak mampu membunuhku, hanya akan membuatku lebih kuat” (NIETZSCHE)
1.
Thales ( ±585 SM ) :
“Segala sesuatu penuh dengan dewa” (kosmologi naturalistik). Air
adalah prinsip pertama (kesatuan/monistik di balik keberagaman dunia).
2.
Anaximander ( ±611 - 546 SM, pendiri Astronomi) :
Seorang metafisikawan monistik naturalistik yang meyakini bahwa
substansi pertama adalah “Yang Tak Terbatas” : kesatuan primitif semua
substansi.
3.
Pythagoras ( ±586 - 500 SM, pendiri Komunitas
Persaudaraan Rahasia) :
Kunci pemahaman tentang semesta terletak pada angka-angka, karena
segala sesuatu adalah angka.
4.
Siddharta Gautama ( ± 563 – 483 SM, pendiri Agama
dan Filsafat Buddha ) :
Empat kebenaran mulia :
1.
Hidup adalah dukkha ( penderitaan
)
2.
Sebab dari penderitaan
adalah tanha ( hasrat atau kehendak dan kelekatan dengannya, yang darinya
muncul ego )
3.
Penderitaan dapat diatasi
dengan memutuskan tali kelekatan
4.
Hal itu dapat dilakukan
dengan mengikuti Delapan Jalan Kebaikan, yaitu:
a.
Samma-ditthi ( pengertian
yang benar )
b.
Samma-sankappa ( maksud
yang benar )
c.
Samma-vaca ( bicara yang
benar )
d.
Samma-kammarta ( laku yang
benar )
e.
Samma-ajiva ( kerja yang
benar )
f.
Samma-vayama ( ikhtiar yang
benar )
g.
Samma-sati ( ingatan yang
benar )
h.
Samma-samadhi ( renungan
yang benar ).
Segala sesuatu saling berhubungan dan
dalam keadaan mengalir.
5.
Lao Tse ( ± abad ke-6 SM, pendiri Taoisme ) :
Menekankan kesederhanaan dan keselarasan irama alam semesta.
Kebahagiaan hanya diperoleh dengan kehidupan yang selaras dengan Tao, yang
merupakan sumber impersonal segala sesuatu, sekaligus alam yang berubah secara
spontan. Berjasa atas ide-ide pokok Tao Te Ching ( Jalan Kehidupan ).
6.
Socrates ( ± 470 - 399 SM ) :
Muak akan barang-barang material dan paham umum tentang kehidupan
yang sukses. Ia mencari sophia, filsafat. Meskipun menyatakan hanya mengetahui
satu hal yaitu bahwa ia tidak mengetahui apa-apa, ia sangat disegani karena
kemampuannya dalam perdebatan dengan mematahkan argumen-argumen retoris dan
cacat dari lawan-lawan debatnya yang merasa dirinya serba tahu.
7.
Demokritus ( ± 460 - 370 SM, pendiri Atomisme
Yunani ) :
Segala sesuatu yang ada terdiri dari ruang dan partikel-partikel
kecil yang tak terhingga, tak terbagi, bersifat material yang disebut atom.
Perbedaan benda-benda merupakan perbedaan bentuk, gerakan dan kedudukan dari
atom-atom. Materi bersifat abadi dan energi tersimpan dalam sistem.
8.
Plato ( ± 429 - 437 SM, pendiri Sekolah Filsafat
Academia di Athena ) :
Kenyataan terdiri dari dua lapisan: dunia jasmani yang senantiasa
berubah serta tak dapat diketahui dan dunia akali (ide/forma) yang abadi, tidak
berubah dan dapat diketahui. Tujuan filsuf baginya adalah mencapai dunia kedua
untuk memperoleh pengetahuan mengenai pengada-pengada seperti forma segitiga,
keindahan (yang dipertentangkan dengan tiruan-tiruan duniawinya dari forma
tersebut) dan keadilan (yang bertentangan dengan sistem yang tidak sempurna,
seperti salah satunya yang menjatuhkan hukuman mati pada Socrates).
9.
Aristoteles ( ± 384 - 322 SM, pendiri Seklah Filsafat Lyceum ) :
Sangat peka terhadap perkembangan historis ide-ide, khususnya
mengenai akal sehat, dan berusaha menghindari pola-pola yang ekstrem dalam
filsafat. Raksasa pemikir Barat ini menguasai sekaligus mengembangkan sebagian
besar cabang ilmu pengetahuan di zamannya dan meninggalkan pengaruh yang
berkelanjutan dalam filsafat dan sains di kemudian hari. Ilmu logikanya masih
diajarkan di universitas-universitas pada zaman ini. Dalam metafisikanya ia
menolak pemisahan forma-forma Plato melalui analisis-analisisnya tentang
materia, patensialitas, substansi, dan dunia teleologis secara umum. Dalam
etika dan filsafat sosial, ia dikenal mempertahankan ajaran tentang posisi
“tengah-tengah” dalam perbuatan manusia dimana ia menekankan keutamaan dan
tanggung jawab moral, khususnya pada situasi-situasi tertentu dimana “keputusan
terletak pada persepsi”.
10.
Epicurus ( ± 341 - 270 SM, pendiri aliran
Epicurianisme ) :
Epicurianisme adalah suatu cara hidup menempatkan kesenangan sebagai
tujuan utama manusia, dan menganjurkan pencapaiannya yang maksimal dengan
penderitaan yang seminimal mungkin dengan jalan menekan keinginan-keinginan
yang “tidak perlu”, membangun persahabatan, dan menghilangkan ketakutan
terhadap dewa-dewa maupun kematian.
11.
Marcus Tulius Cicero ( ± 106 - 43 SM, orator dan
negarawan Romawi yang memiliki minat besar pada filsafat ) :
Dalam teori politiknya, ia dikenal dengan keyakinannya pada hak
asasi manusia dan persaudaraan antarmanusia. Dalam bidang etika, ia tertarik
pada ajaran Stoa.
12.
Lucretius ( ± 99 - 55 SM, penyebar ajaran Atomisme Epicurus ) :
Mengikuti Epicurus dalam materialisme tanpa syarat dan bahkan lebih
jauh menolak agama dengan segala kejahatan yang dihasilkannya.
13.
Marcus Aurelius ( ± 121 - 180 M, Kaisar Romawi 161 - 180 M ) :
Karyanya berjudul Aphorisme (ungkapan-ungkapan bijak) berisi
refleksi umum yang menunjukkan pengaruh Epictetus yang bernada Stoa. Ajarannya
antara lain tentang rasa cukup diri individu menghadapi permusuhan, semesta dan
kewajiban menjalankan tugas.
14.
Plotinus ( ± 205 – 270 M, Neo-Platonis terbesar ) :
Meyakini bahwa realitas ini muncul dari sumber yang bersifat
transenden dan tak terlukiskan yang disebut Yang Esa. Yang Esa itu melampaui
ada, dan segala sesuatu muncul dari dari-Nya melalui emanasi. Emanasi pertama
adalah Nous (akal), yang kedua Jiwa-Dunia yang bersamanya jiwa-jiwa manusia muncul,
dan yang ketiga adalah Materi.
15. Agustinus ( ± 354 – 430 M, filsuf besar Kristen pertama ) :
Tuhan sebagai pengada tertinggi yang menciptakan segala sesuatu dari
ketiadaan; bahkan waktupun belum ada sebelum penciptaan. Kejahatan tidak
diciptakan Tuhan karena pada hakikatnya kejahatan itu tidak ada. Pengetahuan
manusia hanya dapat terjadi melalui pencerahan budi. Namun sejak Adam
tergelincir ke bumi, maka manusia hanya dapat terbebas dari dosa jika
rahmat-Nya memulihkan kekuatan untuk melakukan kebaikan.
16.
Anselmus ( ± 1033 – 1109 M, pengikut tradisi Agustinian ) :
Dikenal sebagai perumus “argumen ontologis” tentang keberadaan
Tuhan. Yakni diawali dari definisi tentang Tuhan sebagai Pengada terbesar yang
dapat dipahami yang bersifat niscaya adanya. Sebab kalau tidak demikian, sangat
mungkin berfikir tentang adanya Pengada yang lebih besar lainnya yang
benar-benar ada. Ia menerima asumsi neo-Platonis bahwa kesempurnaan absolut
memuat eksistensi.
17.
Thomas Aquinas ( ± 1225 – 1274 M ) :
Mencoba membangun sintesis antara filsafat Aristotelian dan
pemikiran Kristen dimana kebenaran-kebenaran iman dan rasio saling mendukung
dan melengkapi. Dikenal dengan “lima jalan” pembuktian adanya Tuhan.
Metafisikanya membedakan antara esensi benda (apa-nya) dan eksistensinya
(kenyataan bahwa ada). Hukum-hukum manusia menurutnya harus berdasarkan pada
hukum abadi, dimana aturan-aturan dari Budi Ilahi mengelola alam semesta.
18.
John Duns Scotus ( ± 1266 – 1308 M ) :
Menekankan keunggulan kehendak baik dalam diri Tuhan maupun manusia.
Dengan budinya, manusia mampu membuktikan keberadaan Tuhan sekaligus mengetahui
sifat-sifat-Nya tanpa harus menggunakan analogi-analogi. Budi tidak mampu
menjelaskan maksud Allah dan keabadian jiwa. Aturan dan tatanan etis tidaklah
baik secara intrinsik, melainkan baik karena dikehendaki oleh Tuhan.
19.
William Ockham ( ± 1285 – 1349 M, ahli Logika ) :
Terkenal dengan prinsip “pisau cukur Ockham”: bahwa apa yang dapat
dijelaskan dengan prinsip yang lebih sedikit tidak perlu lagi dijelaskan dengan
prinsip yang lebih banyak. Membela nominalisme yang memandang sifat-sifat
universal semacam kelurusan dan kebaikan sebagai bukan esensi suatu substansi,
melainkan sekedar nama dari sifat yang mirip dengan substansi itu.
20.Francis Bacon ( ± 1561 - 1226, pendiri
Royal Society ) :
“Pengetahuan adalah kuasa”. Pengetahuan diperoleh melalui pengamatan
alam dengan metode induktif yang sistematis.
21. Thomas Hobbes ( ± 1588 - 1679 M )
:
Hanya badanlah yang ada dengan sifat utamanya berupa gerak. Pikiran
adalah gerakan dalam badan dan dengan mengkaji gerakan badan, kita memahami
kenyataan. Dikenal sebagai bapak Totalitarianisme modern karena mengajarkan
bahwa hakikat manusia adalah berwatak mementingkan diri sendiri sehingga
prinsip sosial yang berlaku: “perang semua melawan semua”, hingga terciptanya
masyarakat sipil melalui kontrak sosial. Para penguasa tidak terikat oleh
kontrak tersebut, dan agama baginya harus berada dalam kontrol negara.
22.
Rene Descartes ( ± 1638 – 1715 M, rasionalis
Perancis ) :
Cogito ergo sum adalah prinsip filsafat yang dipercaya paling pasti
dan dapat digunakan sebagai dasar untuk mempertahankan dualisme dan
interaksionisme.
23. Benedict Spinoza ( ± 1632 – 1677
M ) :
Mencari kepastian dengan metode filsafat “geometris”-nya. Menerima
monisme dan panteisme. Hanya Tuhan yang bebas. Tuhan mempunyai dua
hakikat/sifat yang terpisah yang berjalan secara paralel, yaitu: pikiran dan
keluasan. Menerima etika teleologis dan mempertahankan pendirian bahwa kebaikan
tertinggi bagi manusia adalah mengetahui tempatnya sendiri di dalam semesta
ini.
24.
John Locke ( ± 1632 – 1704 M ) :
Akal budi hanya mampu mengetahui ide-idenya sendiri. Saat lahir,
akal manusia seperti “papan kosong” yang belum terisi. Semua ide bersumber dari
sensasi atau pengalaman dengan dunia materiil. Dikenal sebagai seorang pembela
ide-ide demokrasi.
25.
Nicolas Malebranche ( ± 1638 – 1715 M, rasionalis
Perancis ) :
Mencoba mensintesakan pemikiran Descartes dan Agustinus. Menerima
dualisme tetapi menolak interaksionisme dengan mendukung paralelisme psiko-fisik.
Akal budi tidak dapat melihat adanya hubungan niscaya antara sebab dan akibat
dalam peristiwa alamiah, karena Tuhan-lah sebab yang sebenarnya dari segala
sesuatu. Sebab-sebab alamiah tak lebih dari “kesempatan” bagi aktivitas kausal
Tuhan.
26. Gottfried Leibniz ( ± 1646 – 1716
M, rasionalis Jerman ) :
Realitas terdiri dari monad-monad (unit-unit kekuatan) yang tak
terhingga jumlahnya, yang “tanpa jendela”, “cermin yang hidup”. Monad-monad
tersebut bertindak karena sebab-sebab internal dimana sebab finalnya adalah
prinsip dasar memadai (Tuhan dan kehendak-Nya untuk menciptakan dunia yang
terbaik dari segala kemungkinan).
27.
George Berkeley ( ± 1685 – 1753 M, Empirisis dan
Idealis Subyektif ) :
Dengan
menyatakan esse est percipi, ia meyakini bahwa objek persepsi bukanlah
substansi material, melainkan ‘ide-ide” atau kumpulan sensasi yang tidak
mungkin ada tanpa dipersepsi. Ide-ide yang dipersepsi adalah persepsi yang
dalam budi Tuhan dikomunikasikan kepada kita.
28. Francois-Marie Arouet De Voltaire
( ± 1694 – 1778 M ) :
Filsuf dan novelis Perancis yang kerap diidentikkan dengan
Penyerangan. la diingat hingga zaman ini, terutama karena serangan-serangannya
terhadap optimisme filosofis, terutama pernyataan Leibniz bahwa dunia ini
adalah “dunia terbaik yang mungkin ada”. la juga dikenal karena serangannya
yang melecehkan gereja katolik, hirarki, doktrin-doktrin kristen, fanatisme,
serta karena kampanyenya yang menuntut reformasi sosial dan yuridis. Dia
seorang deis, yang membela adanya Tuhan, yang membuat dunia dengan tujuan
tertentu. la mempercayai adanya rahmat umum, dan menekankan doa tidak mengubah
hukum alam yang abadi, tidak pula menolak derita.
29. David Hume ( ± 1711 – 1776 M ) :
Empirisis dan skeptis asal Skotlandia ini berpandangan bahwa semua
ide berasal dari kesan. Tidak ada kesan mengenai sebab dan akibat, maka tidak
memiliki pembenaran rasional untuk menyimpulkan bahwa masa depan akan seperti
masa lampau. Tidak ada kesan terhadap diri, tidak dapat membuktikan keberadaan
Tuhan.
30. Jean Jacques Rousseau ( ± 1712 – 1778
M ) :
Filsuf, ahli teori politik, dan novelis, yang membandingkan antara
artifisialitas, kemunafikan, dan penipuan masyarakat pada zaman itu dengan
keutamaan, kesederhanaan, dan kepolosan primitif orang-orang biadab yang luhur.
Masyarakat seringkali sekadar untuk memperoleh kebebasan dengan cara menerima
belenggu, yang menukar ketidakadilan moral dan politik dengan ketidakadilan
fisik atau natural. Dalam kontrak sosial, idealnya semua anggota masyarakat
mengalihkan seluruh haknya kepada komunitas atau “kehendak umum”, suatu
kehendak bersama guna menjaga pemeliharaan dan kesejahteraan dari keseluruhan
dan masing-masing bagiannya. Aktivitas yang sesuai dengan kehendak inilah yang
dapat disebut sebagai adil.
31.
Immanuel Kant ( ± 1724 – 1804 M ) :
Dialah filsuf Jerman yang membuat sintesis antara rasionalisme dan
empirisisme. Akal budi aktif dalam persepsi dan tindakan tersebut membantu
membentuk dunia yang kita alami dan ketahui. Benda-benda dalam dirinya sendiri,
terlepas dari pengalaman, tidak dapat diketahui. Dalam bidang etika, Kant
adalah seorang deontolog yang meyakini bahwa kewajiban kita adalah menaati
prinsip-prinsip yang secara universal dapat diterapkan kepada semua pengada
rasional tanpa kontradiksi.
32.
G. W.F. Hegel ( ± 1770 - 1831, pendiri Idealisme
Absolut ) :
Filsuf Jerman. Baginya, “yang riil adalah yang rasional” dan “akal
budi adalah prinsip formatif dari semua kenyataan”. Tujuan sejarah adalah
pembebasan Roh dari keterikatannya dalam alam guna mencapai “Yang Absolut”,
kesatuan organis yang meliputi segala sesuatu dan sadar diri. Individu sebagai
individu tidaklah penting. la terkenal karena analisis dialektisnya tentang
sejarah dan ide-ide, dimana ia merunut bagaimana suatu pendirian atau lembaga
yang terdahulu dirongrong dan mengarah untuk melampaui dirinya sendiri dan
menuju sintesis baru.
33. Arthur Schopenhauer ( ± 1788 – 1860
M ) :
Idealis Jerman yang pandangan hidupnya sangat pesimistis. baginya,
“kehendak untuk hidup” merupakan realitas fundamental. Ketika terperangkap
dalam kehendak untuk hidup, maka manusia menghabiskan hidupnya dalam
keterombang-ambingan antara keinginan-keinginan yang menyakitkan dan usaha
melepaskan diri dari derita, yang pada akhirnya hanya akan melahirkan
kebosanan. Normalnya, akal budi mengabdi kehendak yang buta dan gelisah ini,
tetapi ia dapat melepaskan diri dan melibatkan diri pada kontemplasi estetis.
Dalam saat-saat kontemplasi semacam itulah sebenarnya kita benar-benar bebas.
Semua fenomena, termasuk tubuh manusia, tidak lain adalah “kehendak yang
diobjektifkan”.
34.
John Stuart Mill ( ± 1804 – 1873 M ) :
Dikenal luas karena mengembangkan dan menyebarkan ajaran etika
utilitarianisme. Mempertimbangkan kualitas, di samping kuantitas, dari
konsekuansi-konsekuensi yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Ia membela kebebasan
dengan menegaskan “satu-satunya tujuan dimana manusia dijamin, secara
individual maupun kolektif, dalam mencampuri kemerdekaan orang lain adalah
perlindungan diri”. Ia membela gerakan feminisme, yang menentang adanya
pembatasan terhadap wanita baik secara legal maupun sosial.
35.
Soren Kierkegaard ( ± 1813 – 1855 M ) :
Filsuf Denmark, bapak eksistensialisme. Tugas paling berat setiap
orang menurutnya adalah menjadi seorang individu. Menjadi individu berarti
mengenali keunikannya sendiri, menghadapi keharusan untuk mengambil keputusan
sendiri, dan terutama melakukan “lompatan iman’”.
36.
Karl Marx ( ± 1818 – 1883 M ) :
Bersama Frederich Engels mendirikan tradisi “kiri” dalam pemikiran
politik. Mengkombinasikan aspek-aspek dialektik Hegel dengan materialisme
atheis Feuerbach, dan menyatakan bahwa hanya melalui revolusi kaum pekerjalah
orang dapat menerima emansipasi. Karya-karya awalnya menunjukkan perhatian yang
sangat dalam kepada akibat industrialisasi yang memerosotkan martabat manusia.
Dengan revolusi, secara ideal akan muncul masyarakat tanpa kelas, pergantian
dari milik pribadi menjadi kepemilikan komunal, dan secara perlahan terhapusnya
negara.
37. Charles Sanders Peirce ( ± 1839 –
1914 M ) :
Bapak filsafat Amerika dan pendiri pragmatisme mengatakan, “Tidak
ada perbedaan makna yang sedemikian jelas dalam segala sesuatu selain perbedaan
pelaksanaan (praktis)”. la menerapkan teori makna pragmatis ini secara luas
dalam kegiatan ilmiah dan praktis. Berpendapat bahwa ilmu pengetahuan
menawarkan satu-satunya metode yang sesuai untuk memperoleh pengetahuan tentang
dunia. Seluruh keyakinan kita pada dasarnya dapat salah dan selalu dapat
direvisi berdasar pada bukti-bukti yang tidak lengkap dan berubah-ubah.
38.
William James ( ± 1842 – 1910 M ) :
Mempopulerkan pragmatisme, khususnya dalam bidang moralitas dan
kepercayaan agama. Jika konsekuensi-konsekuensi psikologis, moral, dan/atau
sosial dari suatu keyakinan itu baik, maka keyakinan tersebut dapat disebut
rasional, meskipun tidak dapat dibuktikan oleh ilmu pengetahuan. “Kebenaran
hanyalah jalan yang berguna dalam cara berpikir kita, sebagaimana hak hanyalah
jalan yang berguna dalam cara berperilaku kita”. Artinya, kebenaran tergantung
pada apakah keyakinan kita dapat berfungsi dan diterapkan dengan baik atau tidak.
39.
Friedrich Nietzsche ( ± 1844 – 1900 ) :
Filsuf Jerman yang sering dimasukkan sebagai seorang eksistensialis
karena penekanannya pada individu dan penolakannya terhadap massa, dan juga
setiap pandangan tentang kebenaran dan nilai tersebut. Prinsip metafisik
fundamentalnya adalah kehendak untuk berkuasa (will to power). Menurutnya, ada
dua jenis nilai dalam kehidupan manusia, yaitu nilai-nilai yang diciptakan oleh
golongan Iemah (”moralitas budak”) dengan menjunjung tinggi keutamaan-keutamaan
semacam belas kasih, cinta altruisme, dan kelemahlembutan, serta nilai golongan
kuat (”moralitas tuan”) dengan keutamaan semacam kekuatan dan keberanian.
Konsep Nietzsche tentang ‘manusia super’ akan menciptakan nilainya sendiri dan
menegaskan kehidupan. Menolak anti-Semitisme dan mereka-mereka yang dijuluki
sebagai “lembu-lembu terpelajar” yang telah menginterpretasikan “manusia super”
dalam pengertian biologis.
40. Francis Herbert Bradly ( ± 1946 –
1924 M ) :
Percaya akan adanya sesuatu yang Absolut dan terbebas dari semua
kontradiksi. Pikiran tidak mampu memahami kenyataan tertinggi. Menolak
formalisme kosong Kantian tentang “kehendak baik”. Mengidentikkan kehendak baik
tersebut dengan kehendak universal, kehendak dari organisme sosial. “Lingkungan
saya dan kewajiban-kewajibannya memberi isi bagi kehidupan moral saya.”
41.
Josiah Royce ( ± 1855 – 1916 M ) :
Sangat dipengaruhi oleh absolutisme Hegelian, namun juga menaruh
simpati cukup dalam terhadap pragmatisme, Royce mengembangkan perpaduan yang
unik antara keduanya. Menekankan individualisme diri manusia, sekaligus
menyadari bahwa diri individual manusia merupakan bagian dari komunitas
diri-diri yang Iebih luas –teman, keluarga, rekan kerja– yang masing-masing
menginterpretasikan diri kepada yang lain. Mencoba menerjemahkan ide-ide
kristen tentang dosa dan pengampunan kedalam istilah-istilah komunal dan
menawarkan suatu cara untuk mengatasi penyakit yang terlalu berpusat pada diri
sendiri, alienasi, dan kejahatan, melalui kesetiaan kepada Komunitas Besar atau
Tercinta.
42.
Edmund Husserl ( ± 1859 – 1938 M, pendiri Fenomenologi):
Filsuf Jerman. Menelaah intensi-intensi sadar subjek melalui
investigasi ekstensif. Menekankan deskripsi murni terhadap objek atau tindakan
apapun yang tampak atau nyata dalam medan kesadaran, misalnya karya seni,
angka, pertimbangan, imajinasi. Metode dan deskripsinya telah diterapkan pada
dasar-dasar logika, psikologi, ilmu-ilmu sosial, analisis teks sastra, dan juga
seni.
43.
Henri Bergson ( ± 1859 – 1940 M ) :
Filsuf Perancis, kadang-kadang dijuluki “filsuf proses” yang
menekankan nilai penting dari perubahan evolutif oleh sebuah daya kreatif (elan
vital). Menolak pandangan ekstrem dualisme maupun materialisme, dan menyatakan
bahwa suatu metafisika yang tepat bagi kita harus mencakup pengalaman tentang waktu
yang berkelanjutan dan mengalir sekaligus harus menghindari perangkap pola
mekanistik atau waktu “jam” yang tersusun atas kumpulan momen-momen yang
terpilah. Dalam epistemologi, banyak menekankan intuisi dan keterbatasan
pengetahuan intelektual.
44.
John Dewey ( ± 1859 – 1952 M ) :
Pemuka gerakan pragmatisme dalam konteks luas di Amerika ini
memahami tujuan utama filsafat adalah menyelesaikan persoalan masyarakat
demokratis dengan menggunakan metode ilmiah. Mengajarkan falibilisme dan
mempertahankan demokrasi atas dasar bahwa demokrasi menyediakan kemungkinan
kondisi terbaik untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan kita dan menyelesaikan
persoalan-persoalan yang dihadapi manusia pada umumnya. Dalam pendidikan
menekankan pentingnya mengembangkan kemampuan intelektual dan keterampilan
praktis daripada semata-mata menghafalkan fakta-fakta.
45.
Alfred North Whitehead ( ± 1861 – 1947 M ) :
Metafisikawan terbesar sekaligus pendukung utama filsafat proses ini
menekankan sebuah semesta dimana perubahan, kreativitas, dan saling
ketergantungan tercermin dalam pengalaman langsung. Proses adalah perkembangan
kreatif dimana semua kejadian “kesempatan-kesempatan aktual” muncul, berkembang
dan mati melalui penyerapan kedalam keturunannya. Perubahan yang tertata
tersebut dimungkinkan melalui interaksi dengan alam objek-objek abadi. Tuhan
mempengaruhi dunia, dan sekaligus dipengaruhi olehnya.
46.
Bertrand Russel ( ± 1872 – 1970 M ) :
Bersama Whitehead mengembangkan sistem logika simbol yang
revolusioner, dan ia menyatakan bahwa logika adalah dasar bagi matematika
sekaligus metode paling tepat bagi filsafat. Teorinya tentang deskripsi dan
denotasi merupakan paradigma bagi analisis logis, yang menunjukkan bagaimana
para filsuf dapat terseret oleh kesalahan logis ke dalam pandangan metafisik
keliru. Metafisika atomisme logisnya ditarik dari sistem logikanya sendiri.
Dalam epistemologi, ia dikenal karena dukungannya yang kuat terhadap
empirisisme, pembedaannya antara pengetahuan karena pengenalan dan pengetahuan
karena deskripsi, serta klaimnya bahwa objek-objek fisik adalah hasil
konstruksi logis dari data inderawi.
47.
George Edward Moore ( ± 1873 – 1958 M ) :
Menolak idealisme neo-Hegelian dan menggantikannya dengan suatu
filsafat akal sehat yang realistis. Proposisi-proposisi akal sehat tentang
waktu, ruang, objek material, dan orang diketahui kebenarannya secara pasti.
Tugas filsuf adalah menganalisis makna proposisi-proposisi tersebut. Ia dikenal
pula sebagai seorang tokoh perintis analisis bahasa.
48.
Karl Jaspers ( ± 1883 – 1969 M, Eksistensialis
Jerman ) :
Manusia dalam pemikirannya secara ideal mencari transendensi,
mengatasi diri sendiri serta rutinitas keseharian yang monoton. la melukiskan
batas-batas tentang persoalan transendensi diri, yang dipahami sebagai kematian,
penderitaan, perjuangan atau cinta, dan rasa bersalah. Hal-hal tersebut
berperan sebagai sumber tema-tema utama sebagian besar komunikasi dan interaksi
manusia, sebagaimana terdapat dalam karya-karya sastra. Hal-hal tersebut
merupakan sumber makna kehidupan. Ketika transendensi diri gagal dalam skala
besar, kita akan menemukan kecenderungan-kecenderungan atau gerakan massa yang
irasional, seperti totalitarianisme.
49.
Ludwig Wittgenstein ( ± 18S9 – 1051 M ) :
Tokoh yang belajar dan mengajar di Inggris ini dikenal sangat mempengaruhi
filsafat analitis dan linguistik abad XX. Pada awalnya ia mencurahkan pemikiran
pada dasar-dasar matematika dan hakikat representasi linguistik. Mengembangkan
sebuah teori gambar tentang bahasa, dan membedakan secara tajam antara apa yang
dapat dikatakan secara persis (wilayah ilmiah) dan apa yang hanya dapat
ditunjukkan secara mistik (wilayah mistik). Ide-idenya juga sangat berpengaruh
kepada para positivis logis dengan pandangannya bahwa pernyataan matematis
adalah tautologi, dan bahwa teori-teori metafisik melanggar batas-batas ucapan
yang bermakna. Pemikirannya pada masa-masa akhir banyak yang menyangkal
ide-idenya terdahulu. Makna adalah penggunaan dalam permainan bahasa. Kata-kata
tidak memperoleh makna dengan menunjuk esensi universal, melainkan lebih-lebih
dapat diterapkan atas dasar kemiripan hubungan yang longgar sifatnya, dan bahwa
tidak ada bahasa pribadi yang dapat menunjuk pada pengalaman akal budi yang ada
di dalam diri dan tak dapat dijangkau publik.
50.
Gabriel Marcel ( ± 1889 – 1964 M ) :
Fenomenolog dan eksistensialis Perancis ini mengkonsepsikan tugas
filsafat sebagai upaya melukiskan apa artinya berada dalam suatu situasi
kongkret, dengan sedapat mungkin menghindari abstraksi-abstraksi,
stereotip-stereotip, serta norma-norma statistik. Eksistensi manusia memiliki
sejumlah kunci atau rujukan pada “misteri pengada” (seluruh realitas), yang
tidak tercakup oleh sistem pemikiran apapun juga. Di antara kunci-kunci ini
adalah tubuh manusia, pertentangan memiliki vs menjadi, komitmen, partisipasi
vs penonton, kesetiaan kreatif, serta perjumpaan dengan orang lain sebagai
pribadi dan bukan sekedar sebagai objek.
51.
Martin Heidegger ( ± 1889 – 1976 M ) :
Dikenal sebagai seorang fenomenolog Jerman yang juga tekun
mengembangkan berbagai tema eksistensialisme. Manusia menurutnya adalah sebuah
“ada di dunia”. Melalui partisipasi dan keterlibatan di dalamnya, dunia
membentuk ada kita. Eksistensi kita ditandai oleh tiga bentuk dasar:
faktualitas (keterlibatan kita dalam dunia), eksistensialitas (proyek sepanjang
waktu untuk merangkum ketegangan antara kita yang dulu dan kita yang mungkin
ada), dan kejatuhan (kecenderungan untuk hanya sekedar hidup tanpa mewujudkan
potensi kita). Melalui kegelisahan kita bertemu dengan ketiadaan dan
keterbatasan, namun melalui kebebasan dan kebutuhan untuk memilih kita dapat
maju kearah eksistensi yang autentik.
52.
Gilbert Ryle ( ± 1900 – 1976 M ) :
Filsuf linguistik Inggris yang dikenal karena serangannya tehadap
pemahaman dualistik Cartesian tentang jiwa.
53. Jean-Paul Sartre ( ± 1905 – 1980
M ) :
Terkenal karena mempopulerkan eksistensialisme melalui tulisan,
drama, novel, dan cerpen yang dibuatnya. la menyangkal adanya “hakikat” manusia
yang ada mendahului pilihan individual. Individu menciptakan hakikat mereka
sendiri melalui pilihan dan tindakan bebas mereka. Eksistensi mendahului
esensi. Meskipun mengenali masalah-masalah yang dibuat individu satu sama lain
dengan maksud jahat –”Nerakalah orang lain”– ia memfokuskan perhatiannya pada
bagaimana struktur ciptaan manusia semacam lembaga-lembaga dapat secara serius
membatasi dan melemahkan kebebasan.
54.
Simone de Beauvoir ( ± 1908 - … ) :
Eksistensialis, novelis, dan feminis Perancis yang menjadi terkenal
karena analisisnya mengenai bagaimana kaum perempuan telah disingkirkan secara sistematis
dalam peran mereka sebagai “yang lain” dan mengenai akibat buruk cara
pendidikan anak perempuan. Menyoroti bagaimana masyarakat beserta lembaga dan
struktur yang ada dapat menghambat kesadaran diri dan kebebasan individu.
Mengecam orang yang mencoba menyembunyikan kebebasannya dari dirinya sendiri,
atau orang yang menolak bertindak menurut kebebasan dan kebebasan orang lain;
semua itu dianggapnya tak bermoral.
55.
Alfred J.Ayer ( ± 1910 - … ) :
Filsuf Inggris, anggota Lingkaran Wina selama tahun 1920 hingga
1930-an, yang membawa ide-ide para positivis logis ke dunia bahasa Inggris. la
memenangkan prinsip “verifiabilitas”, yang menuntut bahwa agar sebuah proposisi
bermakna, ia harus dapat diverifikasikan secara empiris. Pernyataan matematis
adalah tautologi yang tidak memberikan keterangan apapun kepada kita tentang
dunia. Ungkapan etis tidak lebih dari ekspresi emosi. Pernyataan religius dan
metafisik adalah ekspresi tak bermakna dan kosong dari isi kognitif.
56.
Albert Camus ( ± 1913 – 1960 M ) :
Filsuf eksistensialis, jurnalis, dan novelis Perancis keturunan
Aljazair ini membaca alam raya sebagai sosok yang angkuh dan tak peduli
terhadap keprihatinan dan nilai-nilai manusia. Baginya perlu dipertahankan:
pertentangan antara dunia yang tanpa makna ini dengan tuntutan manusia akan
makna yang tak terpuaskan. la menolak bunuh diri dan lompatan iman yang
mempostulatkan adanya makna, padahal sebenarnya tidak ada makna.
GOOGLE search
Custom Search