1. Plato
Dalam tinta sejarah ilmu pengetahuan, seorang filsuf yang sepanjang hidupnya terus berkutat dengan masalah "filsafat" dan "negara" yang pelik, salah satunya adalah Plato (429 -347 SM). Ia adalah filsuf yang tak terlupakan oleh sejarah perdebatan ilmu pengetahuan. Hal ini karena sumbangan pemikiran filsafatnya dalam bidang politik yang cukup besar. Sumbangan itu tertuang pada buku-bukunya seperti Laches, Prothagoras, Phaedo, Republik, Meno, Parmenides dan Undang-Undang.
Riwayat Hidup Plato
Plato lahir pada tahun 427 SM. Ia berasal dari
keluarga kelas bangsawan Athena. Ia lahir di tengah-tengah bergolaknya perang
Peloponesian. Ia mengagumi Sokrates, seorang filsuf yang dihukum mati
karena idealisme yang dipegangnya.
Plato banyak menyumbangkan pemikiran refleksif tentang filsafat, politik
dan negara dalam bukunya “Politeia”. Menurutya, filsafat pada intinya tidak
lain daripada dialog. Filsafat seolah-olah drama yang hidup, yang tidak pernah
selesai tetapi harus dimulai kembali. Hampir seluruh tulisan Plato berupa
dialog. Ia memakai Sokrates dalam mengemukakan pandangan-pandangannya.
Bagaimana seharusnya susunan negara yang ideal, dijawab oleh Plato dalam
dialog Politeia. Karya ini menjadikan sentra pemikiran Plato. Dalam karya ini
ia berusaha untuk memperbaiki keadaan polis Athena yang dirasakan buruk.
Menurut Plato alasan manusia untuk hidup bernegara adalah bersifat ekonomis.
Ketika di dalam polis sesama manusia saling membutuhkan satu sama lain maka hal
tersebut akan menjadi harmonisasi keadaan yang adil. Jika para petani membajak
dan mencangkul; penenun membuat baju:
nelayan mencari ikan, maka hal itu menunujukkan bahwa tidak semua
manusia mempunyai bakat yang sama. Oleh sebab itu, diperlukan spesialisasi
terkait berbagai bidang pekerjaan.
Bila dalam sebuah polis terdapat penduduk yang padat dan tanah di dalam
polis tersebut tidak lagi mencukupi untuk pemenuhan kebutuhan maka timbul
hasrat menguasai wilayah polis lain. Dalam hal ini,
Plato mengkhawatirkan akan terjadinya perang antar polis (perang sipil). Hal
ini karena kecenderungan sifat manusia yang terus dan selalu menambah
kekayaannya.
Untuk mengatasi dan menghindari perang, Plato berpendirian bahwa harus ada
segolongan orang yang dilatih khusus dan berfungsi menjadi penjaga wilayah
polis yang disebut “phylakes“ atau ”guardian”. Dalam proses itu, diperlukan pendidikan khusus bagi para penjaga (guardian)
polis dan dari masyarakat sekitarnya. Pria dan wanita
mendapat kesempatan yang sama untuk meraih pendidikan. Setelah itu, beberapa di
antara penjaga-penjaga akan dipilih menjadi pejabat negara. Hanya dari mereka
yang paling baik dan cakaplah yang boleh dipilih. Mereka akan dinamakan
guardian dalam arti yang sebenarnya. Namun, proses pendidikan tidak lantas
berhenti saat mereka terpilih. Para penjaga-penjaga itu diharuskan lagi
menempuh pendidikan untuk menjadi filsuf. Proses belajarnya sangat panjang,
bahkan studi ini dilangsungkan sampai usia 30 tahun. Setelah pendidikan ini
selesai, filsuf-filsuf tadi menunaikan pelbagai jabatan negara. Baru pada usia
50 tahun mereka yang dinyatakan matang kecakapan dan kecerdasannya dapat
dipanggil untuk memerintah negara. Demikian gambaran negara ideal Plato.
Dalam bukunya yang populer berjudul “The Republic” (1936), Plato menyulut gagasan tentang rancang-bangun persemakmuran ideal dalam jajaran paling awal karya-karya utopia. The Republic adalah sebuah upaya keras untuk mendefinisikan keadilan, dengan membayangkan kemungkinan adanya negara terbaik yang harus direalisasikan untuk mewujudkan nilai keadilan dan kemanusiaan. Dari sini pula Plato memperlihatkan secara jelas bahwa menjadi seorang Pemimpin adalah bukan sesuatu yang mudah dicapai oleh seseorang. Plato perlu memberi syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang calon pemimpin, syarat-syarat itu kembali pada kualitas manusia yang disandarkan kepada jiwa atau akal manusia dan tidak kembali pada aspek jasad manusia. Akal inilah yang nantinya menuntun pemimpin dalam empat kebajikan pokok yang sepanjang masa terus dibutuhkan oleh rakyat, yakni memiliki pengendalian diri, keberanian, kearifan dan keadilan. Keempat pokok ini menurut Plato hanya ada dalam kelas sosial pertama, yaitu kelas filosof atau kaum cerdik cendikia.
Pembagian Kelas Sosial
Plato membagi kelompok masyarakat menjadi tiga kelas: Pertama, kelas filosof, yaitu suatu kelompok bermoral baik dan berakal cerdas yang memiliki kepiawaian mengolah Negara. Kedua, kelas militer atau prajurit yaitu kelompok yang bertugas melaksanakan pertahanan negara baik dari musuh internal maupun eksternal. Ketiga, kelas Buruh disebut dengan warga negara biasa yang harus menyediakan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat.
Teori Plato tentang kelas ini didasarkan pada pendirian bahwa manusia secara perorangan tidak memadai dalam dirinya sendiri. Manusia membu-tuhkan berkumpul dan berkomunitas (polis) untuk saling membantu demi kepentingan bersama dengan keuntungan masing-masing. Ketiga kelas sosial yang berbeda merupakan tugas rakyat yang tak boleh tercampur satu sama lain. Ketiganya harus berjalan secara terpisah dalam ruang-lingkup keahlian manusia secara individu. Komunitas yang menetap akan melahirkan keberagaman bentuk pekerjaan. Keberlangsungan corak kehidupan yang berbeda ini, secara ideal seharusnya dilakukan oleh para individu yang ahli dalam jenis pekerjaan tertentu. Ahli yang menerapkan kecakapannya di berbagai bidang kegiataan kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan spesialisasinya.
Dalam The Republic, untuk mewujudkan negara ideal, Plato merasa perlu menjalankan fungsi-fungsi utama negara- yaitu: menerapkan manajemen adminitrasi, yang kembali pada kelas pertama. Fungsi benteng pertahanan, yang kembali pada kelas kedua, serta pusat produksi, yang kembali pada kelas ketiga.
Plato telah membagi kelas sosial yang bertugas secara terpisah dalam masyarakat. Dari sini pula ia perlu mengajukan syarat, kelas mana yang paling layak menjadi pemimpin sebuah polis. Plato tak ragu, bahwa pilihannya jatuh pada kelas yang pertama, yaitu kelas filosof. Dengan kata lain, kelas yang paling berhak menjadi Pemimpin adalah filosof. Merekalah yang membimbing masyarakat ke arah harmoni dan kebebasan yang sejati. Di mata Plato hanya seorang Filosof yang memenuhi syarat yang disebut di atas. Sifat dan sikap seperti itu membuat pemimpin mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari, karena nilai-nilai keutamaan inilah yang dijadikannya sebagai prinsip dalam memimpin. Dengan kemampuan untuk menahan diri, seorang filosof mampu bersikap netral terhadap persoalan-persoalan, dan mampu menjaga jarak dengan materi-materi duniawi seperti harta benda dan kekayaan serta kekuasaan yang ada di hadapannya.
Custom Search