Terkait landasan epistemologi yang semestinya di Indonesia, saya sangat sepekat bahwa epistemologi pancasila sebagai dasar epistemologi sosiologi. Obyek sosiologi adalah interaksi sosial, maka sumber kebenarannya adalah pengalaman atau empiri. Tetapi, Sumber kebenaran tertinggi menurut saya tetap adalah wahyu dalam kaitannya dengan moral semestinya dalam menetapkan objek penelaahan tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari ajaran-ajaran keTuhanan.
Karena bangsa Indonesia telah menjadikan pancasila sebagai pandangan hidup maka dalam kehidupan sehari pancasila sudah semestinya menjadi pedoman bagi bangsa Indonesia dalam memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa dan negara tentang makna hidup serta sebagai dasar bagi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. (Kaelan, 2003: 67). Maka sudah selayaknya pengembangan Ilmu di Indonesia, termasuk ilmu sosiologi juga harus berbedoman pada Pancasila.
Terkait epistemologi, sebagaimana dipahami bersama bahwa sumber pengetahuan Pancasila adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa indonesia sendiri. Oleh karena sumber pengetahuan Pancasila adalah bangsa Indonesia sendiri yang memiliki nilai-nilai adat-istiadat serta kebudayaan dan nilai religius maka diantara bangsa Indonesia sebagai pendukung sila-sila pancasila dengan Pancasila sendiri sebagai suatu sistem pengetahuan memiliki kesesuaian yang bersifat korespondensi. Sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila memiliki susunan yang bersifat formal logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila maupun isi arti sila-sila Pancasila. Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat Hierarkis dan berbentuk piramidal. Sedangkan Susunan isi arti pancasila meliputi tiga hal yaitu isi arti sila-sila Pancasila yang umum universal, umum kolektif, dan khusus konkrit. (Kaelan, 2003: 68)
Pembahasan berikutnya adalah pandangan Pancasila tentang pengetahuan manusia. Maslah epistemologi Pancasila diletakkan dalam kerangka bengunan filsafat manusia. Konsepsi dasar ontologis sila-sila Pancasila yaitu hakikat manusia monopluralis merupakan dasar pijak epistemologi Pancasila. Menurut pancasila bahwa hakikat manusia adalah monopluralis yaitu hakikat raga (jasmani) dan jiwa (rokhani). (Kaelan, 2003: 69)
Pancasila mengakui kebenaran rasio yang bersumber pada akal manusia. Selain itu manusia memiliki indra sehingga dalam proses reseptif indera merupakan alat untuk mendapatkan kebenaran pengetahuan yang bersifat empiris. Maka pancasila juga mengakui kebenaran empiris terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan manusia yang bersifat positif. Potensi yang terdapat dalam diri manusia untuk mendapatkan kebenaran terutama dalam kaitannya dengan pengetahuan positif Pancasila juga mengakui kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manuisa pada hakikatnya kedudukan kodratnya adalah makhluk Tuhan YME, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai tingkatan kebenaran tertinggi. Kebenaran dalam pengetahuan manuisa adalah merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi kejiwaan manusia yaitu akal, rasa dan kehendak manusia untuk mendapatkan kebenaran yang tertinggi yaitu kebenaran mutlak. Selain itu dalam sila ketiga yaitu persatuan Indonesia, sila keempat serta sila kelima keadilan maka epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Adapun sesuai dengan tingkatan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal maka kebenaran konsensus didasari oleh kebenaran wahyu serta kebenaran kodrat manusia yang bersumber pada kehendak. (Kaelan, 2003: 70)
Sebagai suatu paham epistemologi maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia. (Kaelan, 2003: 70)