Serat Centhini merupakan sebuah karya
penting dalam sastra Jawa. Serat ini merupakan kenangan bersama seratus dua
puluh juta manusia jawa, pengembaraan edan luar batas, dua belas jilid, empat
ribu dua ratus halaman, tujuh ratus dua puluh dua tembang, serta dua ratus ribu
bait. Serat ini mempunyai nama asli Suluk
Tambangraras. Dalam pewayangan, suluk adalah “suara meninggi”. Itu juga
merupakan istilah yang dipakai untuk mengacu semua sastra gaib Jawa kurun
Islam. Ada pun Tambangraras, ia istri dari tokoh utama Amongraga. Namun orang
lebih menyebutnya serat centhini. Centhini merupakan abdi dari Tambangraras. Memang
suatu hal yang agak aneh ketika sebuah mahakarya disebut dengan nama seorang
pembantu. Namun justru itulah yang menjadi kelebihannya, serat centhini
dipandang sebagai suatu keakraban, kedekatan menyentuh antara masyarakat yang
membacanya serta sebagai suatu upaya teraling dan makar yang dengan sengaja
mengangkat kehidupan orang kecil menjadi tokoh tersohor.
Asal mula adanya serat yang
menghebohkan ini adalah adanya pemberontakan antara sang anak Amengkunegara III
dengan ayahnya. Dia disingkirkan dari istana karena bundanya mati muda dan
karena kebandelannya. Sebelum diusir dia berujar “akan ananda buktikan Ayahanda
demikian jawab sang pangeran bahwa nafsu-nafsi ananda suatu hari nanti akan
membimbing ananda kepada Ilmu Kasampurnan. Harus kita kenali kebatilan di
ambang jalan kebatinan.”
Lalu pada 1814 pangeran Amangkunegara
III atau Sinuhun Paku Buwana V memerintahkan tiga pujangga keraton yaitu
Sastranegara, Ranggasutrasna, dan Sastradipura untuk menyusun suatu cerita kuno
dalam bentuk tembang yang merangkum segala ilmu dan ngelmu Jawa, bahkan seni
hidup agar pendengarnya hanyut dalam kesadaran tak berakal. Serat itu bernama
Serat Centhini. Pada saat yang sama, enam puluh kilometer dari Surakarta, ke
rah barat, di keraton saingannya, Ngayogyakarta Hadiningrat, menggelegak
pemberontakan yang meledak sepuluh tahun kemudian di bawah pimpinan Pangeran
Diponegoro. Pada 1822, Gunung Merapi meletus dahsyat, pertanda sial. Jadi serat
ini lahir pada zaman huru hara manusia dan alam.
Untuk melaksanakannya, Pangeran Anom
Amangkunegaran III memberi para pujangga itu sepuluh ribu ringgit emas dan
menyuruh mereka pergi, yang satu ke Jawa Timur, yang kedua ke Jawa Tengah, dan
yang terakhir ke barat sampai Mekkah. Tugas mereka adalah menghimpun segala
kearifan berikut penyimpangannya di kalangan para petapa, peramal, empu dan
pandai besi, pesulap, penyamun, ulama wanita, dalang, penafsir mimpi, juru
kunci asal muasal yang terlupakan, guru penyingkap hijab, dan orang-orang bebas
lainnya, pelarian atau paria, yang berkelana dalam perangkap syahwat.
Syair kelewat batas ini mulai ditulis
pada Sabtu pahing, 26 Muharram 1230 Hijriah, atau 1742 tahun Jawa, pada wuku
Marakeh, di bawah naungan Dewa Hyang Surenggana. Anak yang lahir dengan weton
seperti itu, laki-laki maupun perempuan, konon akan dianugerahi umur panjang,
batin cerah, tetapi nasibnya malang dan hatinya resah gelisah. Serat ini sangat
luar biasa, bahasa yang tertuang di dalamnya sangat indah, isinya bagus dan
mampu menembus hati. Namun, Serat Centhini ditulis terutama untuk ditembangkan.
Dalam sastra Jawa kuno, suara nitis pada penyair bagai suatu wahyu yang datang
lebih dulu, baru kemudian lahirlah irama dan ragam menemani si pujangga
memasuki kata-kata satu per satu. Penyesuaian antara irama, macapat, dan gema
kata-kata irulah yang menciptakan makna suluk dan keindahannya. Di dalam
syair-syair cabul, kekotoran kata dihalau terbang oleh keanggunan tembangnya.
Justru perpaduan antara lumpur dan emas itulah yang membentuk watak dan sosok
yang luar biasa serta khas serat centhini. Kalau tembang dihilangkan, para
pembaca akan tercebur ke dalam lubang comberan kata-kata dan amblas ke dalam
lumpur untuk selamanya. Untuk melahirkan irama mengiringi pujangga memasuki
kata-kata dalam serat centhini, sudah dapat dibayangkan betapa indahnya tembang
ini. Serat ini merupakan sebuah karya sastra jawa yang memperlihatkan kosa kata
yang paling kaya. Terdapat 13 kisah yang ditembangkan dalam serat Centhini,
yaitu :
1. Silisilah,
2. Perang,
3. Pengembaraan,
4. Minggatnya Cebolang,
5. Terjadilah Asmara,
6. Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan,
7. Ia yang Memikul Raganya,
8. Buku IX, Alih Rupa,
9. Dendang Awan Mencerai Matahari,
10. Pulau Besi,
11. Termakan,
12. Nafsu Terakhir.
Dari 722 pupuh asli Serat Centhini,
hanya 16 pertama yang berupa tembang perang. Serat Centhini atau berjudul resmi
Suluk Tambangraras diawali dengan kehancuran kekuasaan Giri oleh Mataram. Pada
tembang delapan digambarkan; suatu malam hujan berat, Pangeran Surabaya
sendirian datang menghadap ke serambi masjid Giri. Pangeran Pekik namanya, dan
dia berujar: "Wahai Sunan Giri, dengarkan baik-baik perkataanku.”
Sultan Agung adalah raja Tanah Jawa.
Gusti Jagad di atas jagad, beliau memerintah dengan sangat santun, bijaksana,
dan sesuai dengan hukum Allah serta sakti. “Bila kamu benar-benar menginginkan kedamaian
dan kemakmuran bagi Kerajaan Giri, bersujudlah kepada Sultan Agung."(Dari
sinilah kisah dimulai). Sunan Giri menolak, perang pun pecah. Perang itu dipimpin oleh Endrasena,
seorang pemuda Cina yang masuk Islam, anak angkat Sunan Giri. Ia ditembak mati
di medan pertempuran. Sunan Giri pun takluk. Pangeran Giri itu dijatuhi hukuman
mati oleh para ulama Sultan Agung karena bid’ah, seperti seorang sufi yang
terkenal dari Baghdad, Hallaj, atau Siti Jenar di Jawa.
Hal inilah yang menandai awal
pengembaraan batin Amongraga, kakak tiri Endrasena. Amongraga merupakan orang
asli Jawa putra mahkota Giri yang menentang perang. Ia pun pergi mencari
kedamaian bersama Jayengsari dan Rancangkapti (dua adiknya), mereka memilih
untuk melakukan perjalanan spiritual. Dalam perjalanan itu, mereka memperoleh
pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, pengetahuan mengenai wudlu,
shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dua puluh, Hadis Markum, hingga
perhitungan selamatan orang meninggal dunia, serta perwatakan Kurawa dan
Pandawa.. Mereka juga menemukan syariat yang mencerminkan hadis Nabi Muhammad
SAW sepulang dari suatu pertempuran: “Kita
baru saja pulang dari jihad kecil menuju jihad yang besar.” Jihad besar
adalah perang melawan semua nafsu diri, begitu banyak roh jahat di dalam batin
kita sendiri yang menyerbu tiada henti. Jika demikian, barangkali pengemberaan
luar biasa Serat Centhini adalah untuk menyingkap dengan perlahan cadar jihad
besar itu. Pertempurannya yang paling berbahaya adalah menempuh asmara antara
kekasih dan terkasih dalam senggama.
Kesemua yang diperoleh itu bisa
dicernai lewat 722 tembang. Tentu butuh waktu untuk mencernanya, apalagi jika
masih dalam bahasa aslinya; Jawa. Ringkasannya berbahasa Indonesia sudah
diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1981. Begitupun 12 jilid pernah diterbitkan
oleh Yayasan Centhini, dan tiga jilid pertama diterbitkan lagi oleh Balai
Pustaka pada 1991. Belakangan seorang kontributor surat kabar Prancis, bernama
Elizabeth D. Inandiak, berhasil menerjemahkan ke dalam bahasa Prancis, berjudul
Les Chants de l'ile a dormir debout le Livre de Centhini (2002).
Pengembaraan Centhini membawa Inandiak
sampai ke Paris, ke sebuah disertasi filsafat, yang dipertahankan pada 1956 di
Universitas Sorbonne, oleh Dr. Mohammed Rasjidi. Beliau pernah menjadi menteri
agama di bawah pemerintah Soekarno dan juga pernah kuliah di Kairo, di
Universitas Al Azhar, di Fakultas Teologi. Disertasinya dalam bahasa Perancis
berjudul: Considerations critiques du Livre de Centhini (Pertimbangan kritis
tentang Centhini) dan diawali dengan kata-kata berikut :
Ilmu yang kita lihat berkembang di Jawa adalah ilmu kesempurnaan yang juga
dikenal sebagai ilmu kebahagiaan dan yang dicari para ilmuwan dan sastrawan,
baik yang tekun beribadah maupun yang menjauhinya. Orang yang saleh lebih suka
berbicara sama sekali tentang ilmu itu dan hanya menyebutnya dengan waspada karena
sering berhubungan dengan ilmu itu tidak sesuai dengan ajaran islam.
Serat Centhini oleh Elizabeth de
Inandiak rencana awalnya mau diterjemahkan secara harfiah dari bahasa Jawa ke
Indonesia, lalu dari bahasa Indonesia ke Perancis. Tetapi Inandiak terbentur
kesulitan yang cukup aneh: bagi beberapa ahli Jawa, Serat Centhini adalah suatu
karya yang terlalu suci untuk diterjemahkan, sedang bagi pakar-pakar lain,
Serat centhini terlalu kotor. Demikianlah rupanya kerohanian yang terlalu
tinggi dan syahwat yang terlalu bejat telah menghalangi penerjemahan Suluk yang
patut dihormati ini.
GOOGLE search
Custom Search