Kamis, 12 Maret 2015

ARTIS IKUT PARPOL


PENDAHULUAN
 1. Latar Belakang Masalah
Naiknya harga minyak mentah di pasar internasional yang menanjak secara signifikan sejak awal tahun 2008 akhirnya mendorong pemerintah mengambil kebijakan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri. Seperti yang telah diduga banyak kalangan, kenaikan harga BBM ini kemudian disusul dengan melambungnya harga bahan-bahan kebutuhan pokok masyarakat. Maka tak pelak, kondisi rakyat yang masih diliputi berbagai kesulitan pasca krisis moneter sejak tahun ’97 menjadi semakin bertambah sulit. Sedangkan itu, skema kompensasi kenaikan BBM yang dilakukan pemerintah dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada rakyat (miskin), dinilai banyak kalangan sebagai kebijakan yang jauh dari efektif dan sangat tidak bijaksana, bahkan beberapa daerah dengan tegas menyatakan menolak. Sementara itu, ajang pertarungan politik ditingkat lokal semakin hari semakin panas dan mengeras. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sejak tahun 2004 harus dilaksanakan melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat (tidak lagi melalui perwakilannya di DPRD) telah menciptakan pola persaingan dan pertarungan baru. Strategi dan taktik lama pemenangan calon kepala daerah terbukti tidak lagi cukup; diperlukan strategi, cara, dan taktik baru yang inovatif dan sesuai dengan tuntutan mode pilkada langsung tersebut. Diantara sekian banyak strategi pemenangan yang diambil partai, memasang artis atau selebriti sebagai calon kepala daerahatau calon wakil kepala daerah adalah salah satu yang fenomenal. Beberapa waktu terakhir ini, partai-partai berlomba menggaet artis untuk menjadi kader dan “Jago-jago”nya. Secara aturan dan hukum, merekrut artis atau selebriti sebagai kader partai bahkan memasangnya sebagai “jago” dalam kontestasi politik tentulah tidak salah, bahkan jika hal itu prematur sekalipun, karena setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih. Namun demikian, selain kesamaan hak untuk memilih dan dipilih, substansi pertarungan politik tentu saja tidak hanya bermakna memenangkan kontestasi dan meraih dukungan suara terbanyak pada saat pemilihan, lebih dari itu, pada inti dan akhirnya pertarungan politik tersebut juga sekaligus mengandung tuntutan untuk dapat melayani, mengayomi, dan mengurus kepentingan-kepentingan publik/rakyat. Dan untuk itu, seorang “jago” atau sang calon pemimpin (kepala daerah dan elit politik lainnya) dituntut untuk memiliki kompetensi, kapasitas, dan kredibilitas serta konsentrasi pada tuntutan pelayanan dan pengabdian terhadap rakyat tersebut. Sampai pada titik inilah, pertanyaan dan keraguan berbagai kalangan terhadap masuknya artis ke panggung politik mulai muncul. Tak heran, selama ini dunia artis atau selebriti dikenal sebagai dunia fatamorgana yang dibangun di atas pondasi pencitraan yang penuh dengan kamuflase dan sandiwara. Maka sangatlah beralasan jika kemudian muncul pertanyaan dan keraguan terhadap kepemimpinan para artis yang notabene dididik dalam dunia yang hampir seluruhnya sandiwara itu. Banyak kalangan melihat secara pesimis. Namun demikian, adalah juga tidak adil memberi vonis negatif terhadap mereka sebelum mereka terbukti gagal. Toh, partai-partai justru berlomba untuk merekrut sebanyak-banyaknya kader dari kalangan mereka; toh, dalam beberapa gelaran pilkada, masyarakat justru menunjuk dan memberikan kepercayaan terhadap mereka; toh, kesejahteraan dan keadilan sosial juga tak kunjung datang tatkala tampuk kepemimpinan diberikan kepada politisi yang—katanya—sudah lama dididik dalam partai. 2. Rumusan Masalah Berangkat dari pemikiran diatas, menjadi relevan dibicarakan disini beberapa fokus pembahasan tentang selebriti politik. Oleh karenannya, penelitian ini dibatasi untuk menjawab persoalan-persoalan berikut: 1. Mengapa selebriti masuk panggung politik? 2. Apakah mungkin para artis tersebut dapat hadir menjadi pemimpin, pengayom, pengurus dan pelayan masyarakat, dan lebih dari itu apakah mungkin mereka dapat menselesaikan problem-problem kerakyatan yang semakin hari kian banyak dan sulit? 3. Bagaimana peran selebriti di masa Orde Baru dan Orde Sekarang (Reformasi), atau penulis menyebutnya Orde Pasca Reformasi? 3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. mengetahui kondisi sosial politik terkini Indonesia. 2. mengetahui tujuan selebriti memasuki panggung politik Indonesia. 3. memberikan kontribusi dalam mengetahui tujuan partai politik merekrut selebriti ke dalam partainya. 4. Manfaat Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: a. Memberikan sumbangan bagi pendekatan filosofis dalam mengkaji politik; b. Memberikan gambaran akan dampak selebriti masuk panggung politik; c. Memperkaya wawasan dalam melihat kontestasi perpolitikan Indonesia saat ini. 5.Tinjauan Pustaka Penyelidikan akan dimulai dengan membaca sumber-sumber pustaka yang bicara tentang etika politik, moralitas politisi, dan demokrasi. Berikutnya, kami akan membaca ulang sumber-sumber pustaka tentang Orde Baru dan Orde Reformasi dari sudut historisitas. Setelah dua hal tadi dilakukan, maka pembacaan akan dilanjutkan dengan menelurusri sumber-sumber lainnya yang sifatnya lebih umum, seperti buku-buku sejarah filsafat, pengantar filsafat, filsafat poitik, dan beberapa media baik lokal maupun nasional sejauh membantu memberi pemahaman lebih baik mengenai tema selebriti politik. 6. Metode Penelitian Penelitian ini, selain penelitian pustaka juga sedikit melakukan penelitian lapangan, karena sumber datanya adalah buku-buku atau media-media yang jadi objek penelitian dan beberapa tokoh yang menjadi nara sumber. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif-analitis. Metode deskriptidf mencoba memaparkan gambaran sosial politik saat ini. Sementara metode analitis merupakan gabungan antara deduktif dan induktif. Deduktif digunakan untuk memeperoleh gambaran yang komprehensif tentang gambaran sosial politik. Sedangkan induktif digunakan untuk memperoleh gambaran utuh mengenai topik-topik yang diteliti setelah dikelompokkan secara tematik. PEMBAHASAN Kekuasaan, pada hakekatnya adalah esensi yang hampir selalu menawarkan daya tarik tersendiri bagi tiap orang. Bahkan seperti diungkapkan Bertrand Russell, keinginan untuk meraih kekuasaan merupakan motivasi yang kuat bagi manusia untuk berbuat sesuatu. Maka menjadi wajar ketika setiap orang melakukan berbagai cara dan beragam upaya guna mendapatkan apa yang disebut sebagai kekuasaan itu. Dalam kehidupan politik, dimana kekuasaan menjadi sentrum aktivitas. Pertarungan memperebutkan kuasa telah melahirkan tata relasi sosial yang paling dinamis. Sejak abad terdahulu, Aristoteles—seorang filsuf besar Yunani—dalam sebuah karyanya sudah mengatakan bahwa politik merupakan sebuah dimensi penting kehidupan, sebab politik memberikan pengaruh yang sangat besar di dalam kehidupan masyarakat. Barangkali juga dapat disebut, politik adalah salah satu dari pilar peradaban. Kenyataan bahwa politik mampu melahirkan dinamika yang tinggi dalam kehidupan dapat dilihat dari fenomena terkini pentas politik nasional Indonesia, strategi, taktik, intrik, dan bermacam manuver menjadi hiasan dunia politik kita setiap hari. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa politik (perebutan kuasa) melahirkan dinamika sosial yang tinggi. Dan diantara sekian banyak wujud dinamika dan laku politik untuk meraih kuasa tersebut, fenomena partai memasang artis sebagai “jago” kontestasi menjadi sesuatu yang menarik untuk diperhatikan. Sesungguhnya, artis atau selebriti berpolitik bukanlah hal yang baru di Indonesia. Pada masa Orde Baru (Orba), banyak kalangan artis yang terjun ke dunia politik dengan menjadi simpatisan dan kader Partai politik. Namun pada masa itu mayoritas keterlibatan mereka hanya sebatas menjadi juru kampanye (jurkam) Parpol. Hal itu berbeda dengan kenyataan saat ini, dimana artis tidak hanya menjadi alat untuk menarik dan menghibur konstituen pada saat kampanye, namun lebih dari itu mereka telah masuk pada ranah yang sebelumnya tidak banyak diperkirakan dan dipikirkan orang, yaitu pada ranah kontestasi, baik lokal ataupun nasional, baik legislatif ataupun eksekutif. Darrell West, penulis buku “Celebrity Politics” berpendapat bahwa artis (dan pelawak) mulai tergiur terjun ke dunia kontestasi politik akibat perkembangan media—khususnya televisi—dan perubahan mode demokrasi. Televisi, sebagaimana menjadi maklum mayarakat luas, saat ini telah menjadi medium sempurna bagi selebiriti untuk memupuk kemasyhuran dan citra (image). Sedang pada itu, mode demokrasi—atau lebih tepatnya sistem pemilihan elit politik—juga sudah bergeser ke arah demokrasi liberal yang salah satunya bertumpu pada mode pemilihan langsung. Perpaduan perkembangan dua entitas tersebut, media dan mode pemilihan, sangat cocok dan menguntungkan kalangan selebriti. Satu sisi, mode pemilihan secara langsung menuntut popularitas dan citra, pada sisi yang lain media menyediakan kebutuhan untuk membangun citra dan popularitas tersebut. Dan artis—diakui atau tidak—adalah kelompok yang paling diuntungkan. Menurut Drs. Joko J. Prihatmoko M.Si, staf pengajar dan peneliti utama FISIP Universitas Wahid Hasyim Semarang, dalam konteks ini, para selebriti diuntungkan juga oleh budaya konsumtif masyarakat, di mana “kesan” atau citra (image) memainkan peranan utama. Masyarakat sudah hampir tidak dapat memisahkan antara yang “nyata” dan “pencitraan”. Sehingga jika seorang artis memainkan peran tokoh baik (protagonis) dalam sebuah film atau sinetron, maka seakan-akan dunia nyata sang artis sama persis dengan dunia dalam peran tersebut, padahal belum tentu demikian adanya, bahkan boleh jadi berkebalikan. Barangkali dapatlah dikatakan, kemenangan Rano Karno dalam pertarungan pilkada di salah satu kabupaten di Jawa Barat banyak dipengarui perannya dalam sinetron “Si Doel”. Dan begitu pula dengan kemenangan selebriti-selebriti lainnya Agaknya, kehidupan masyarakat saat ini telah bergeser menuju pemujaan terhadap artis atau selebriti, yang pada akhirnya juga memberi pengaruh terhadap pola partisipasi politik masyarakat. Sebagian masyarakat memang mulai rasional dalam berpolitik, namun sebagian terbesar yang lain sangat dipengaruhi kesan dan citra yang ditampilkan media, dan rasanya, hal ini diketahui betul oleh kalangan aktivis partai dan “para kandidat” sehingga pencitraan dan pemberian kesan baik adalah upaya utama para tokoh dan partai yang akan bersaing dalam medan kontestasi, sedang ideologi dan pematangan konsep kesejahteraan dan keadilan sosial menjadi pilihan belakangan, atau bahkan hanya menjadi pemanis saja. Melihat kenyataan masuknya kalangan artis atau selebriti ke dunia politik ini, anggota DPRD DIY, Henricus Wiseno dalam suatu kesempatan memberi komentar “selebriti masuk politik itu sah-sah saja, asalkan ia bisa membawa ideologi bangsa dan mampu untuk menjalankannya. Dengan membawa ideologi bangsa ke dalam dunia politik, hal itu akan membawa perubahan positif bagi bangsa ini.” Ujarnya. Masih menurut anggota DPRD yang akrab dipanggil Bung Seno ini, Perekrutan terhadap selebriti yang dilakukan beberapa partai memang mampu mendongkrak perolehan suara dan simpati publik. Namun dalam perekrutan itu, partai semestinya tidak sekedar asal merekrut, mestinya, selebriti yang direkrut harus mempunyai kualitas dan ideologi politik, karena, tambahnya, politikus atau pemimpin adalah orang yang seharusnya memiliki pemahaman ideologi yang kuat dan sekaligus mampu mengimplementasikannya. Berbeda dengan Seno, Dickson, mantan ketua BPC GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) Yogyakarta menilai, masuknya selebriti ke dunia politik adalah salah tempat, karena dunia selebriti dengan dunia politik sangat jauh berbeda. Menurut Dikcson, dunia artis atau selebriti adalah dunia glamour yang gemerlap dan penuh kesenangan. Sedangkan dunia politik adalah dunia yang penuh dengan tugas-tugas kerakyatan. “Bagaimana mungkin orang yang tidak pernah memikirkan publik, hanya memikirkan dirinya sendiri dan “materi” harus didorong untuk mengurus dan menselesaikan tugas-tugas yang bersifat publik”, terangnya. Masuknya para artis itu, menurut Dickson, sesungguhnya juga diuntungkan oleh lemahnya partai politik dan semakin kuatnya citra buruk politisi konvensional. Fenomena ini, menurut dia, merupakan sebuah tantangan bagi aktivis gerakan mahasiswa ke depan, sebagai kaum intelektual yang setiap saat selalu bersinggungan dengan aktivitas politik, aktivis gerakan mahasiswa harus mampu membendung arus ini. Caranya adalah dengan memberikan pendidikan politik, pendampingan, dan pemberdayaan masyarakat. Terangnya.Senada dengan Dickson, Heri Purnomo, atau yang biasa disapa Bung Ipunk mengatakan bahwa masuknya kalangan artis ke dunia politik adalah satu bentuk pembodohan politik terhadap masyarakat, karena yang dikedepankan hanya soal popularitas, sedang ideologi, visi, misi, dan cara kerjanya tidak diperhatikan. Namun demikian, Bung Ipunk masih percaya bahwa hal ini tidak akan berlangsung lama, masyarakat dan utamanya para aktivis partai tidak akan membiarkan hal ini terus berlangsung. PENUTUP
1. Kesimpulan Terlepas dari berbagai komentar pesimis tersebut, sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, masuknya artis ke dunia politik adalah sah dan harus tetap dihormati. Namun apa yang dipesankan Arbi Sanit juga penting untuk diperhatikan oleh kalangan artis bahwa artis atau selebriti yang belum mampu berpolitik, harus berpikir panjang untuk memasukinya, karena dunia politik tidak sekedar “memainkan peran” dan merebut kekuasaan, tapi lebih dari itu juga adalah menentukan nasib rakyat dan bangsa. Sebenarnya tradisi demokrasi kita yang dulu itu cukup bagus, karena hal-hal yang instant tidak akan laku. Sederhananya begini, seorang Kepala Daerah barangkali cukup orang yang dermawan, tapi untuk seorang Presiden atau Wakil Presiden tentu harus orang yang serius dan mempunyai kapasitas yang memadai. Artinya, artis, dengan mengandalkan popularitasnya saja jelas tidak cukup. Namun begitu, kemungkinan artis untuk menjadi Presiden di Indonesia memang relatif terbuka. Di Filipina artis pernah menjadi Presiden. Kecerdasan politik masyarakat kita—yang notabene adalah negara berkembang seperti Filipina—memang membuka ruang bagi naiknya artis ke tampuk kepemimpinan, dan itu mengkhawatirkan. Dengan demikian, barangkali akan ada baiknya jika semua kalangan mencoba untuk “memamah” fenomena dan kenyataan ini satu-persatu dan perlahan-lahan. Barangkali ini adalah sebuah bentuk kritik kepada para politisi “gemblengan” partai yang selama ini justru lebih banyak berpikir tentang dirinya sendiri ketimbang memikirkan kesejahteraan rakyat; barangkali hal ini adalah pula bentuk kritik bagi partai-partai yang selama ini hanya sibuk mengibarkan bendera di jalan-jalan sementara rakyat dibiarkan bergelut dengan permasalahan dan kesulitannya, termasuk kesulitan tatkala pemerintah kembali menaikkan harga BBM untuk kesekian kalinya beberapa waktu lalu. Maka jika benar demikian adanya—sementara para artis menikmati dunianya yang baru—inilah waktu yang tepat bagi partai dan seluruh aktivisnya untuk berbenah dan kembali mentasbiskan diri menjadi pelayan dan pengabdi kepentingan rakyat. 2. Saran Untuk itu harus ada tandingan proses yang dilakukan, yaitu dengan membangun kehidupan politik yang lebih cerdas, yaitu dengan melakukan pendidikan politik, advokasi politik, dan pendampingan politik terhadap rakyat. kalau hal-hal seperti itu tidak dilakukan, tampuk kepemimpinan di negeri ini akhirnya hanya akan jatuh ke tangan orang-orang yang berduit dan populer; pengusaha, koruptor, dan artis.



GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search