Kamis, 12 Maret 2015

Kontstruksi dan Eksploitasi Wanita Cantik Iklan


Pendahuluan Pandangan kita tentang realitas, kata Saussure, dikonstruksi oleh bahasa dan tanda-tanda yang digunakan dalam konteks sosial . Pendapat ini menggambarkan bahwa media sebagai sarana menyampaikan berita, penilaian atau gambaran umum tentang banyak hal mampu membentuk persepsi manusia. Kekuatan inilah yang banyak dimanfaatkan oleh berbagai fihak untuk mengkomunikasikan kepentingannya pada dunia. Media pun, pada akhirnya harus berdiri diantara dua sisi yang berbeda; antara munkar dan nakir, ia akan membicarakan sesuatu berdasarkan kepentingan yang bermain. Media, dalam usaha penekanan penerimaan makna terhadap objeknya menggunakan kekuatan tanda. Dalam teks media, tanda yang dipakai dipilih dan disesuaikan dengan konstruksi pesan yang akan disampaikan. Penggunaan tanda atau bahasa tertentu jelas berimplikasi pada makna tertentu. Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa media mampu mempengaruhi persepsi manusia pada realitas, bahkan pada tingkat yang lebih tinggi sebagai pencipta realitas, oleh karenanya, dampak media sangat berpengaruh besar dalam kehidupan social dan budaya. Dengan mudah dan singkat, media dapat membangun iamge masyarakat kita tentang kecantikan,missalnya atau merubah budaya dan pandangan hidup menjadi glamour dan konsumtif. Dalam makalah ini, tidak dibahas dampak media secara luas, tetapi hanya dijelaskan dampaknya terhadap kaum perempuan, maraknya penjualan produk kecantikan samapai pada munculnya istilah mahasiswa (gadis) sinetron. Di sini juga disinggung realita social tentang eksploitasi media terhadap perempuan, Sebuah diskusi yang akan selalu menarik dan tidak akan pernah habis, sejalan dengan semakin maraknya penjualan produk kecantikan dan suburnya usaha dalam bidang perawatan kecantikan; salon, spa dsb. Dan tidak terbendungnya arus sinetronisasi dalam perfilman di Negara kita yang mencerminkan gaya hidup hedon, glamour, gaul dan funky, dibarengi tidak semakin pandainya masyarakat sebagai peenerima pesan dan konsumen dalam proses penyaringan.
Pembahasan Iklan, Pencitraan dan Budaya Konsumerisme Di masa perkembangan teknologi informasi yang amat pesat, segala macam bentuk kebudayaan bisa bercampur baur di seluruh dunia. “The world is flat” begitu kata seorang sosiolog. Salah satu media terbaik—yang juga dapat kita katakan terburuk sebagai penyebar berita adalah televisi. Dikatakan terbaik karena dengan kemampuan audia visualnya, televisi dapat menyampaikan berita dengan mudah kepada para penontonnya. Contohnya, pada tahun 2005 dengan segera kita yang ada di Indonesia dapat melihat rekaman tragedi 9/11 di Amerika secara langsung. Namun, sayangnya banyak juga acara-acara televisi yang menimbulkan banyak kemerosotan budaya bagi para penontonnya, khususnya perempuan, yang akan diulas dalam tulisan ini. Salah satu hal yang turut berperan dan tidak dapat dipisahkan dalam berlangsungnya kehidupan pertelevisian adalah iklan. Iklan bertujuan untuk mempromosikan suatu produk. Dalam sistem perdagangan kapitalisme, iklan adalah salah satu media promosi yang sangat baik untuk menjual suatu produk. Dibutuhkan kode-kode audio visual yang subversif agar orang tertarik untuk membeli produk tersebut. Tak jarang—atau kebanyakan, iklan membentuk suatu pencitraan—apa yang nampaknya ideal dan baik bagi penontonnya disesuaikan dengan “manfaat” dari produknya. Salah satu bentuk iklan yang secara gamblang mencontohkan maksud pernyataan diatas misalnya produk pemutih wajah. Dalam salah satu iklan di televisi Indonesia, produk pemutih wajah membentuk citra perempuan yang cantik dan disukai lelaki adalah perempuan yang putih. Putih berarti cantik. Dan seperti kita ketahui, kebanyakan kulit perempuan Indonesia biasanya berwarna sawo matang atau kecoklatan. Tentu saja, agar produknya laku, sang pembuat iklan membentuk citraan tersebut, sembari menampilkan opini pria-pria tampan yang lebih memilih perempuan berkulit putih daripada yang berkulit coklat. Perempuan-perempuan muda, terutama remaja-remaja putri mengalami tekanan yang hebat untuk menyesuaikan dirinya dengan kompetisi kecantikan yang berlangsung secara kontinyu. Mereka harus menilai dan mengkritisi tubuh mereka sendiri dari luar selayaknya laki-laki melihat tubuh mereka, dan pada saat bersamaa harus menyangkal tubuh mereka sendiri di dalam batin. Selain kulit putih, citra tubuh pun turut dibentuk pula oleh iklan-iklan yang ada di televisi saat ini. Perempuan kurus, berdada besar, berkaki jenjang dan berkulit mulus adalah syarat-syarat untuk menjadi perempuan modern. Dan di akhir iklan, ”Tenang saja, belilah terus produk kami dan permasalahanmu selesai!” Kapitalisme telah mengeksploitasi penampilan fisik perempuan. Setiap perempuan dituntut untuk memiliki penampilan fisik yang sempurna. Padahal, dalam televisi, perempuan sempurna itu tidak ada. Perempuan-perempuan cantik dan putih di televisi sebenarnya hanya sebuah rekayasa digital yang sebetulnya juga memiliki banyak kekurangan. Namun kekurangan tersebut tidak boleh terlihat karena menjadi perempuan yang memiliki kekurangan adalah aib dalam sebuah dunia pencitraan. Pada akhirnya, pesan dari sebuah iklan kecantikan mempengaruhi image perempuan kita (baca: Indonesia). Produk-produk pemutih wajah, penghilang jerawat atau obat pelangsing tubuh menjadi sangat laku dipasaran karena diborong kaum hawa. Tidak berhenti disitu, para wanita yang telah terinveksi pencitraan cantik oleh media: berkulit putih, berwajah mulus, bertubuh langsing dan tinggi dengan rambut yang aduhai, rela merogoh koceknya lebih dalam untuk datang ke salon-salon perawatan kecantikan. Bahkan ada juga yang mendatangi para normal. Harga diri perempuan-perempuan yang termakan bualan iklan tak lebih layaknya sapi-sapi yang siap dipotong di pejagalan. Tanpa sadar banyak wanita saat ini baik dari kalangan ABG, dewasa dan yang tergolong tante-tante yang sudah berkepala empat menjadi konsumen dari suatu produk kecantikan karena terobsesi menjadi wanita cantik menurut bias iklan tadi. Sungguh menyedihkan saya melihat beberapa wanita yang terobsesi untuk menjadi cantik dengan cara operasi kecantikan untuk merubah bentuk bagian tubuhnya dengan cara operasi plastic, yang terkadang bila tidak dilakukan oleh orang yang benar-benar professional maka bukan kecantikan yang didapat, malah perubahan yang menyedihkan, bahkan bisa berakibat fatal berupa kematian. Cantik itu relative, penilaian tentang kecantikan abstrak dan berubah-ubah, tidak ada standar kecantikan yang pasti, bisa saja si A mengatakan dewi persik cantik tapi belum tentu bagi pandangan B. Dalam jaman serba komersil ini citra cantik merupakan sebuah komoditas yang dapat dibuat sesuai persepsi sesuai indutri kecantikan, dan tanpa disadari banyak wanita menjadi korban kecantikan yang sengaja dikonstruksi oleh sebuah industry kecantikan melalui pesan dalam iklan dengan menggunakan model terpilih, seakan-akan seperti model itulah wanita yang ideal. Lantas, pertanyaan yang patut diajukan, apakah dengan kita memakai produk tersebut kita bisa seperti model yang ada dalam iklan tadi?, maksudnya, jika kita memakai produk pemutih, yang berubah hanya warna kulit kita, apakah wajah, rambut, dan penampilan kita seperti ikon iklan pada produk kecantikan tersebut, jawabannya tentu tidak. Apakah dengan memakai suatu rancangan model pakaian dari suatu merk terkenal yang mahal kita akan berubah penampilan kita seperti model iklan merk tersebut? Jawabannyan juga sama. Tetapi, dalam realitanya banyak wanita yang rela dan tidak fikir panjang untuk mengeluarkan biaya hanya untuk impian dengan predikat cantik. Padahal, boleh dikata, kecantikan yang transfer melalui iklan tadi sebatas kecantikan fisik yang tentu tidak abadi, kecantikan itu harus didasarkan pada rasa percaya diri, keunikan pribadi, dan tidak terpaku pada dimensi visual yang dapat di ihat mata. Kepribadian yang menarik bisa membuat seorang wanita terlihat cantik dan menarik. Dan kecantikan terpancar dari karakter, prilaku dan pengetahuan. Seperti itulah hakikatnya sebuah kecantikan. Jadi, kenapa kita harus mengikuti konsep cantik yang dituangkan oleh dunia industri kecantikan, seharusnya bagi seorang wanita berkeyakinan bahwa wanita itu cantik, tinggal bagaimana kita menunjukan kecantikan itu dengan rasa PD lewat perilaku dan hati. Janganlah selalu menjadi korban kecantikan industri. Tunjukan jati diri sendiri. Karena anda wanita, semuanya cantik. Jadi banggalah menjadi diri sendiri. Karena anda cantik. Cantik fisik akan sirna bersama usia, cantik hati dan prilaku akan terus terpelihara seumur hidup. Iklan Televisi; Kontstruksi dan Eksploitasi Wanita Cantik Iklan merupakan bagian dari reklame yang berasal dari bahasa prancis, yaitu re-clame yang berart “meneriakkan berulang-ulang” (Dendi sudiana,1995). Dalam Advertising Exellance sebagimana dituliskan arena ( dalam ratna Noviani,2002). Iklan adalah struktur informasi dan susunan komunikasi non personal yang biasanya dibiayai dan bersifat persuasif, tentang produk (barang, jasa, dan gagasan) oleh sponsor yang terindentifikasikan, melalui berbagi macam media. Jadi hakikat iklan adalah pesan yang disampaikan dari komunikator pada komunikan. Oleh karena itu iklan adalah bentuk kegiatan komunikasi. Iklan merupakan komponen yang vital dalam organisasi dan reproduksi kapital. Iklan televisi (television commercial) adalah iklan yang ditayangkan melalui media televisi, melalui media ini, pesan dapat disampaikan dalam bentuk audio visual, dan gerak. Bentuk pesan audio visual dan gerak. Bentuk pesan audio visualdan gerak tersebut pada dasarnya merupakan sejumlah tanda. Dalam kajian semologi, iklan adalah seperangkat tanda yang berfungsi meyampaikan sejumlah pesan ( Kasiyan : 2001). Umumnya struktur iklan terdiri atas beberapa unsur pokok yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Unsur utama iklan adalah ilustrasi. Biasanya ilustasi dibangun dari potret model atau pemandangan. Unsur kedua adalah headline,berupa kata-kata yang mecoba menyampaikan inti pesan terpenting untuk disampaikan pada khalayak. Unsur ketiga adalah body copy, yaitu uraian yang biasanya menyampikan tiga jenis informasi yaitu ciri produk, kegunaan dalam kelebihan produk serta mengarahkan tindakan nyata pada khalayaknya. Unsur kempat adalah Signature line, yang menerakan nama atau merek paten( band name) dari produk yang diiklankan.unsur kelima slogan yaitu rangkaian kata yang biasanya singkat, padat ,penuh arti, mudah diingat, mengandung arti yang dalam ,serta mampu mengetengahkan khasiat/kegunaan unik dari produk. Pada artikel yang ada di koran kompas mencoba manganalisis perkembangan iklan-iklan produk kecantikan yang mencoba mengambarkan wanita cantik yang di tawarkan dalam setiap produk kecantikan kulit yaitu wanita yang berkulit putih di gambarkan wanita yang cantik, hal ini terlihat dari pemilihan model yang berkulit putih. Padahal realitasnya kulit yang sehat adalah kulit yang cerah, berkilat, lembab, lentur dan tanpa noda, lentur dan tanpa noda. Menurut Prof Dr dr SPKK( konsultan) Retno Widowati Soebaryo, sebetulnya kulit orang indonesia yang putih kekuningan atau kuning kecoklatan ini menandakan kulit kecoklatan ini menandakan kulit yang banyak pigmentasi, pigmen yang di dalamnya mengandung melanin, memberikan perlindungan terhadap sinar matahari. Iklan media televisi untuk produk kecantikan seperti pond’s,Olay,Citra dls memiliki ilustrasi, mengunakan potret wanita cantik adalah wanita yang berkulit putih yang sebetulnya bukan mayoritas warna kulit bangsa Indonesia . Pemilihan headline, body copy dan slogan juga lebih cenderung mengunakan kata produk kecantikan yang mengandung tema putih citra dan oley mengunakan kata “ putih” di dalam produk mereka, citra misalnya menggunakan narasi: membuat wajahmu tampak lebih putih alami”. Sementara Olay memiliki produk Olay White Radiance. Pemilihan pesan yang salah juga dapat di lihat dari istilah “whitening”atau pemulihan yang dipakai oleh sejumlah perusahaan kosmetik saja sebenarnya sudah salah karena pada dasarnya kulit yang coklat tidak bisa diputihkan hanya dengan olesan krim. Istilah tepat adalah skim lighening yakni kulit dibuat lebih terang dan bercahaya. Skin lightening disini adalah pemudar warna, maksudnya noda-noda hitam yang adadi kulit (kompas 9/3/2008). Iklan merupakan kontruksi dari realitas yang terjadi di masyarakat yang membuat suatu kultur tersendiri. dalam artikel kompas,9 Maret 2008 dan hasil riset yang dilakukannya mengatakan bahwa sebagian besar pada perempuan memiliki asumsi bahwa wanita kulit putih lebih menarik dari tidak berkulit putih dan ukuran kecantikan seseorang ketika berkulit putih , sedangkan pada kenyataannya sebagian besar orang Indonesia berkulit sawo matang dari data 65% merasa dirinya berkulit sawo matang sementara 34% merasa dirinya berkulit kuning langsat hingga putih. hal ini tertu saja menjadi sasaran pasar produk kecantikan yang menguntungkan dengan menggunakan slogan dan body copy yang intinya jika menggunakan produknya akan memiliki wajah putih secara cepat. Sedangkan jika di pertanyakan pada laki-laki bahwa perempuan putih tidak menjadi suatu ukuran kencantikan diri seorang wanita dan juga bukan ukuran mutlak kecantikan bagi seseorang. Penggunaan produk kecatikan yang dapat memutikan wajah paling besar di konsumsi perempuan pada usia 17-29 tahun sedangkan laki-laki pada usia 17-29 tahun. Media masa sering mengambarkan bias gender seperti iklan pada televisi. Penggambaran wanita pada umumnya di gambarkan wanita yang mengurusi rumah, berpakaian cantik, menguruhi anak tetapi pada saat ini wanita juga di gambarkan wanita bekerja dengan berbagai segudang prestasi atau disebut wanita karier. Berbagai macam semiotic di tampilkan dalam label seorang wanita. Pada koran kompas wanita cantik dan putih menjadi representasi kesempurnaan wanita sehingga wajar saja hampir semua produk kecantikan menjanjikan dapat memulihkan wajah secara cepat. Dalam cuplikan iklan salah satu produk pemutih wajah diceritakan seorang wanita yang bertengkar dengan pacarnya karena selingkuh, sehingga hubungan antar keduanya putus tetapi setelah beberapa hari wanita dan laki-laki tersebut secara tidak sengeja bertemu kembali di Juanda, betapa terkejut laki-laki itu melihat wajah mantan kekasihnya Nampak lebih cantik dengan kulit yang putih dan bersinar, pada fragmen akhir dari iklan tadi, disebutkan oleh pengisi suara laki-laki kembali pada perempuan yang pernah ia tinggalkan karena begitu terpesona melihat perubahan pada wajahnya dan meninggalkan pacar barunya kemudian mereka menikah. Dari sini dapat kita lihat bahwa media menawarkan kultur baru yang ingin meyampaikan pesan bahwa wanita cantik adalah wanita yang tampak putih. Iklan tersebut tampaknya mengkontruksi ukuran kecantikan perempuan sebagi orang yang memiliki warna kulit putih,dengan mengatasnamakan seolah sudah “ menyepakati” Standar ini sehingga perempuan rela melakukan apa saja untuk memperoleh warna kulit yang putih. Sehingga tidak salah sekarang banyak produk kecantikan yang mengandung unsur dapat memutihkan wajah dengan cepat sangat marak di jual. padahal jika dilihat kebelakan pemaknaan wanita cantik pada tahun 80-90an adalah wanita cantik digambarkan seorang yang memiliki warna kulit kuning langsat. Pemaknaan wanita cantik menurut Agensi Periklanan Ogilvy mengatakan penggunaan kata putih di dalam iklan produk pond’s karena pemahaman kata itu secara sematik adalah bersih.” Putih itu maksudnya sama dengan bersih. Kami tidak menjanjurkan orang mengubah kulit coklat menjadi putih,” Kata Rudy. Yusdian,Account Directur Lowe, yang mengangani iklan citra juga mengatakan, produk tersebut tidak bermaksud menawarkan kulit menjadi putih, tetapi tamak lebih putih” tagline kami, hadirnya ceraj suasana,” kata yustina tantang produk yang menggambarkan seorang yang mengambarkan seorang kakek di panti jompo yang baru mau makan bubur setelah dilayani suster muda yang memakai citra,Kompas , 9 Maret 2008. Dari pejelasan di atas yang merupakan penuturan dari agensi periklanan nampak bahwa terjadi perbedaan pemaknaan tanda dan pesan yang ditampilkan oleh iklan produk kecantikan. Hal ini terlihat terjadinya stereotype dari masyarakat bahwa wanita yang menarik adalah yang memiliki warna kulit putih, seperti hasil riset 56,5 % wanita setuju bahwa perempuan yang menarik adalah yang memiliki warna kulit lebih putih. Pemaknaan tersebut tentu saja berasal dari pesan-pesan media masa dalam menkonsruksinya.hal tersebut juga di perkuat oleh fotografer terkenal Darwis Triadi, yang produk fotonya bisa disebut “ high end”. Darwis mengakui sebagian kliennya lebih senag jika wajah atau kulitnya tampak lebih terang ketika difoto. Serta menurut John Setiawan sebagian besar pelanggannya menginginkan agar dilakukan rekayasa digital agar wajah pelanggannya tanpa lebih putih atau cerah. Jadi dapat di simpulkan bahwa representasi wanita cantik adalah wanita yang berkulit putih walaupun hasil penyelasan dari si pembuat iklan mengatahan bahwa sebetulkan pesan yang disampaikan tidak sepenuhnya seperti itu tapi tetap saja realitas yang terjadi dimasyarakat bahwa tika ingin tampil menarik maka harus berkulit putih seperti model bintang iklan yang di tampilkan pada media televisi dari berbagai produk dan berbagai versi iklan. Sebuah iklan kecantikan, demi tujuan penerimaan pesannya terhadap konsumen Nampak sangat jelas melakukan eksploitasi terhadap wanita, media mengeksploitasi wanita secara habis-habisan, sanagat mirip dengan eksploitasi para pekerja pada kapitalisme awal.. sebagaimana kelas pekerja, nilai tenaganya dijadikan ekivalensi dari nilai tukar ekonomi, maka wanita dieksploitasi nilai tandanya sebagai ekivalensi nilai tukar komodity. Jadi, wajar saja foto wanita banyak mengisi cover suatu majalah atau tabloid. Foto wanita yang ditelanjangi mempunyai daya tarik tersendiri bagi calon konsumen. Gadis Sinetron Selain iklan yang mampu mempengaruhi budaya masyarakat, varian lainnya adalah sinetron, Sinetron yang merupakan kepanjangan dari sinema elektronik merupakan hiburan tersendiri ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang sekarang didominasi oleh hiburan dari televisi. Sinetron yang berkembang karena maraknya progam acara telenovela dan cerita serial, merupakan suatu industri yang banyak membawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat sekarang. Banyak berbagai tema cerita yang ditawarkan, mulai dari cerita religi, asmara, kisah hidup hingga cerita yang berbau kekerasan. Namun, lambat laun perkembangannya meskipun tema cerita yang dihadirkan bervariasi tetapi inti dari cerita yang disuguhkan tetap saja kisah asmara. Dari kisah inilah nantinya akan dihadirkan suatu pencitraan wanita cantik Paradigma cantik yang berkembang dimasyarakat sekarang telah sedikit bergeser. Kebanyakan wanita sekarang akan mengikuti tren mode yang disuguhkan oleh seorang yang dianggap trend centre hanya untuk menampilkan bentuk kecantikan yang ada muncul dalam bentuk atau cara mereka berpakaian. Ramai-ramai remaja putri kita menjiplak cara berpakaian, gaya berbicara dan tingkah laku pemeran dalam sinetron tersebut. Perhatikan sekeliling kita, sudah banyak mahasiswa yang terkena pengaruh sinetron; korban sinetron atau mahasiswa sinetron. Dimaksudkan dengan istilah ini adalah para mahasiswa yang berpenampilan serba gaya aktris sinetron Kita terkadang lupa bahwa pada dasarnya kecantikan merupakan suatu yang ada dalam diri wanita. Namun, karena perspektif yang dibentuk oleh masyarakat modern bahwa cantik harus memenuhi –paling tidak- kriteria yang telah disebut dalam penjelan diatas, maka terwujudlah pandangan cantik dalam masyarakat. Dampak pencitraan ini tentu tidak hanya akan terjadi disekitar lingkup paradigma, namun juga akan mengarah kepada gaya hidup yang berkembang. Jika dilihat lebih jauh “pencitraan” cantik yang sekarang terjadi cenderung mambawa masyarakan ke arah konsumerisme yang akan mengutamakan barang-barang bermerek dan kelas atas. Gaya hidup inilah yang dinilai sangat tidak relevan dengan keadaan kita yang masih dalam lingkup krisis. Terjadi kesenjangan sosial maupun kelas, namun tidak ada kesadaran menumbuhkan rasa senasib sepenanggungan. Posmodernitas yang berkembang ikut pula menambah deretan panjang gejala social ini. Gaya hidup yang kebarat-baratan, yang mana prinsip kesenangan dan dorongan mengonsumsi menggantikan etika kerja yang menekankan disiplin, kerja keras, antikemalasan, dan ibadah juga membawa pengaruh terhadap masyarakat yang tercermin juga pada gaya hidup yang ditampilkan dalam acara-acara televisi. Kecantikan adalah menilai wanita menurut perspektif orang lain dan kita tidak mampu member suatu penegasan bagaimana wanita yang cantik dan mana wanita yang tidak cantik. Standar yang ada diatas tentunya hanya sebuah gambaran bagaimana gejala yang terjadi sekarang dimasyarkat. Tentu gejala ini tidak begitu berpengaruh bagi kehidupan kita karena bukan suatu yang masalah yang substansial yang harus diperhatikan, tapi setidaknya kita tahu bahwa pencitraan wanita Indonesia yang harus dan setidaknya mulai dicerminkan ialah suatu bentuk pencitraan wanita Indonesia yang memiliki ciri khas ke Indonesiaan yang tentunya lebih inovatif.
Kesimpulan Meskipun bagi sebagian kecil perempuan, media menjadi sesuatu yang berarti dalam menghadapi realita kehidupan, penunjang karier dan menjadi alat perjuangan memperebutkan “makna”; memperebutkan posisi yang memandang dan yang dipandang. Artinya, perjuangan memperebutkan hegemoni kekuasaan yang tercermin dalam mencapai hegemoni tanda di dalam media, khususnya hegemoni gender. Namun, tidak sedikit wanita yang masih menjadi korban kegalakan bias media. Wanita, oleh media dijadikan komoditi yang sangat laku demi kepentingan kapitalisme yang memenjarakan wanita dalam hutan rimba tanda-tanda yang diciptakan sebagai bagian ekonomi politik kapitalisme. Ekonomi kapitalisme telah menuju ke a rah penggunaan tubuh dan hasrat sebagai titik sentral komoditi atau yang biasa disebut ekonomi libido. Tubuh wanita yang ditelanjangi, dalam ribuan varian gaya, sikap dan penampilan mengkontruksikan tubuhnya secara social dan cultural sebagai objek fetish, objek yang dipuja yang memiliki pesona. Selain eksploitasi terhadap wanita, media juga menjadikan wanita sebagai sasaran empuk untuk menerima pesan yang sengaja dikonstruksikan berdasarkan kepentingan-kepentingan. Media nampaknya telah menguasai pikiran wanita mengenai kecantikan, konsep kecantikan yang hanya diartikan sebagai kecantikan fisik semata, berkulit putih, rambut lurus, dengan besar dan tinggi badan yang ideal, telah melupakan kecantikan bathiniyah yang sebenarnya lebih esensial. Akibatnya, mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan predikat cantik itu, muncullah budaya baru; budaya konsumerisme. Pencitraan kecantikan yang dibuat media mampu mempengaruhi budaya perilaku wanita, sebuah kajian antropologi mengemukakan, dalam proses penerimaan pesan dari sebuah media terdapat identifikasi diri yang mengarah pada totemisme: suatu kelompok masyarakat mengidentifikasikan diri mereka dengan suatu benda (totem)yang dengan demikian mempunyai satu rujukan bersama, iklan yang diluncurkan tidak lagi berbicara ”belilah” tetapi ”jadilah seperti”, artinya, telah terjadi pembentukan totem, misalnya, sabun lux, sebagai rujukan bersama sekelompok orang. Kultur baru yang ditawarkan media pun sangat mudah merealita dalam kehidupan masyarakat.

GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search