Kamis, 12 Maret 2015

PERAN LUDRUK SEBAGAI WUJUD “LOCAL GENIUS” DALAM KEBERLANSUNGAN PEMBANGUNAN NASIONAL


PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan yang kita dapati sekarang adalah bukti sejarah perjalanan panjang manusia sebagai makhluk yang berbudi dan berdaya dalam mengembangkan jiwa mereka, dimana generasi sekarang adalah penerima tongkat estafet kebudayaan dari generasi sebelumnya. Budaya yang terdapat pada setiap daerah merupakan elemen dasar penyusun kebudayaan nasional. Peran budaya daerah begitu besar dalam menentukan arah dan tujuan pembangunan nasional yang berorientasi pada pembentukan manusia yang adil dan beradab, karena nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan daerah adalah merupakan wujud dari kebudayaan nasional, sekaligus merupakan jati diri dan kepribadian bangsa yang menjadikan kebudayaan begitu penting dalam keberadaan suatu bangsa karena merupakan aspek teleologis dalam pembangunan nasional. Kebudayaan secara utuh sebenarnya meliputi pola pikir atau mindset suatu masyarakat (tentang segala perikehidupannya di masa lampau, masa kini dan masa depan), yang banyak terekspresikan melalui aneka-ragam dan aneka dimensi kesenian. Demikian pula, kesenian merupakan salah satu wadah dominan untuk mengartikulasikan kebudayaan tak berwujud (intangible culture). (Meutia Farida Hatta Swasono, 2004). Pembangunan berkelanjutan, dalam pemahamannya seringkali dikaitkan dengan pengertian yang berhubungan dengan kekuatan tradisi yang sering dipahami sebagai sesuatu yang cenderung mengandung nilai terus-menerus atau kemapanan. Sedangkan kesenian mempunyai pemahaman yang cenderung untuk lebih dikaitkan dengan kebutuhan manusia atas suatu kemajuan rasa dan jiwa yang menuntut adanya unsur pemenuhan secara terus menerus sebagai bentuk pemuasan rasa. Budaya suatu daerah mencerminkan pola fikir dan pandangan hidup manusia yang hidup di daerah tersebut, kebiasaan masyarakat pada suatu daerah adalah identitas yang didalamnya terkandung nilai-nilai luhur daerah tersebut (local genius). Nilai-nilai kearifan lokal dapat tercermin dalam kesenian ataupun tradisi yang dijalankan oleh mereka yang hidup dalam suatu daerah atau wilayah kebudayaan. Seperti halnya dengan ludruk yang merupakan kesenian rakyat Jawa Timur, dari wujud kesenian yang sedemikian ini kiranya dapat menggambarkan bagaimana pola-fikir dan pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat tersebut. Pembahasan ini menjadi begitu penting menginggat problem kelangsungan pembangunan akan menjadi malapetaka besar apabila tidak disesuaikan dengan pola pikir dan karakter dasar bangsa ini. B. POKOK MASALAH 1. Apa hakikat kebudayaan dalam ludruk sebagai kesenian rakyat serta kearifan lokal terkandung didalamnya. 2. Bagaimana peran ludruk dalam menggembangkan pembangunan nasional dengan nilai-nilai yang terdapat pada kesenian tersebut. 3. Peran apakah yang dapat dilakukan ludruk dalam mendukung keberlangsungan pembangunan nasional yang diharapkan sesuai dengan nilai kearifan lokal bangsa. C. TUJUAN DAN KEGUNAAN Adapun penulisan makalah ini bertujuan untuk : 1. Menggali lebih dalam tentang nilai yang terkandung dalam kesenian ludruk. 2. Merevitalisasi makna dan arti ludruk dalam masyarakat serta menjelaskan relevansinya terhadap pembangunan nasional. Kemudian, kegunaan dari penulisan makalah ini adalah. 1. Menambah wacana menggenai teori-teori kebudayaan serta sebagai perbandingan dalam menggambil kebijakan peran yang dapat diambil dalam menyikapi kesenian daerah, dalam hal ini adalah ludruk. 2. Sebagai tambahan reverensi menggenai keberadaan ludruk sebagai salah satu elemen penyusun kebudayaan nasional. 3. Sebagai aktualisasi daripada teori-teori kebudayaan. 4. Sebagai salah satu bentuk penerapan dari adanya hubungan erat antara nilai budaya nasional dan kebudayaan daerah. 5. Bagi filsafat tentunya mengukuhkan peran filsafat sebagai “founding father” pengetahuan yang bersifat komperehensif dan abstraktif. D. TELAAH PUSTAKA Makalah yang ditulis oleh Maryaeni, berjudul Bahasa Jawa dalam Ludruk di Jawa Timur: Studi tentang Tata Krama. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur: Kongres Bahasa Jawa Ke-3. 15--20 Juli 2001; 26 hlm. Makalah tersebut Berisi tentang tata krama bahasa Jawa yang digunakan dalam ludruk Jawa Timur dan difokuskan pada genre dhagelan dan cerita. Plesetan penggunaan bahasa dalam ludruk terdiri atas enam variasi, yaitu bahasa Jawa ngoko, krama, Indonesia, modern, Inggris, dan bahasa Arab. Sedangkan untuk thesis adalah yang ditulis oleh Anita Widjajanti berjudul wacana lawak dalam ludruk : (Sebuah kajian sosiopragmatik), Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 1998. yang mengambil pokok bahasan bahasa ludruk. Buku yang digunakan sebagai bahan pustaka pada penulisan adalah sebagai berikut : Peursen, Van. 1988. Strategi Kebudayaan. (terjemahan Dick Hartoko dari judul asli Strategie Van De Cultuur). Yogyakarta : Kanisius. Edisi II. Bakker, J. W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius. Cet ke-15. Mujianto, dkk. 1985. Karakterisasi Bahasa Ludruk di Jawa Timur. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. H. S. Sunaryo, dkk. 1997. Perkembangan Ludruk di Jawa Timur Kajian Analisis Wacana. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Swasono Meutia Farida Hatta. 2004. Membangun Ketahanan Budaya Bangsa Melalui Kesenian, Jakarta : Bappenas. Mardimin, Johanes (ed). 1994. Jangan Tangisi Tradisi. Yogyakarta : Kanisius. Cet ke- 6. E. KERANGKA TEORITIK Kattsoff (2004: 323) menyatakan bahwa pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara yaitu : • Subyektivitas yatu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung dari pengalaman. • Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. • Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan. Nilai-nilai budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu : 1. Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas). 2. Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut. 3. Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat). ”Seni tradisi bukanlah benda mati. Seni tradisi, secara kronologis selalu berubah untuk mencapai tahap mantap menurut tata nilai hidup pada zamannya” (Johanes Mardimin, 146). Dalam hal ini upaya survival dari ludruk sangat menentukan penerimaan masyarakat terhadap kesenian tersebut. F. METODE PENELITIAN Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini adalah penelitian pustaka. BAB II PEMBAHASAN 1. LUDRUK Ludruk ditenggarai lahir dari budaya rakyat jelata untuk “memberontak” model kesenian keraton dan istana semacam wayang dan ketoprak yang ceritanya dianggap terlalu elit, dengan bahasa priyayi dan dilakukan dengan mengutamakan adab sopan-santun dan unggah-ungguh keraton yang dinilai berlebihan oleh mereka dan tak dialami sehari-hari, sehingga tak menyentuh rakyat. cerita-cerita ludruk umumnya mengangkat masalah kehidupan orang kecil sehari-hari dengan penggunaan bahasa yang lebih egaliter dan terkesan “kasar” tanpa unggah-ungguh dibandingkan dengan bahasa yang digunakan dalam pewayangan ataupun ketoprak. 1. a. Arti Ludruk Kata ludruk berasal dari molo-molo dan gendrak-gendruk, molo-molo berarti mulut yang penuh berisi tembakau sugi, sedangkan gendrak gendruk berarti kakinya menghentak saat menari di pentas (Ahmadi, 1987:7 dikutip oleh Sunaryo dkk). Pendapat lain menyebutkan ludruk berasal dari kata gela-gelo dan gendrak-gendruk, gela-gelo berarti menggeleng-gelengkan kepala saat menari. Jika disarikan pernyataan tersebut mengandung pengertian yang sama yaitu verbalisasi kata-kata dan visualisasi gerak. 1. b. Sejarah Perkembangan Ludruk Hendricus Supriyanto mencoba menetapkan berdasarkan nara sumber yang masih hidup sampai tahun 1988, bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907, oleh pak Santik dari desa Ceweng, Kecamatan Goda (Diwek, red) kabupaten Jombang, bersama dengan Pono dan Amir adalah yang pertama mengenalkan kesenian ini, berawal dari ngamen syair-syair dan tabuhan sederhana, dia berkeliling ke desa-desa. Pono mengenakan pakaian wanita dan dirias coretan pada wajahnya, dari sinilah penonton melahirkan kata Wong Lorek, yang akibat variasi bahasa maka kata lorek berubah menjadi kata Lerok, seterusnya istilah Lerok digunakan pada kalangan penonton. 1. c. Periodesasi Ludruk Ludruk dapat digolongkan dalam beberapa periode, yaitu : 1. Periode Lerok Besud (1920 - 1930). Pada awal acara diadakan upacara persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan ke empat arah angin atau empat kiblat, kemudian baru diadakan pertunjukkan. Pemain utama memakai topi merah Turki, tanpa atau memakai baju putih lengan panjang dan celana stelan warna hitam. Dari sini berkembanglah akronim “Mbeta” yang artinya membawa maksud, yang akhirnya mengubah sebutan lerok menjadi lerok besutan. 2. Periode Lerok dan Ludruk (1930-1945). Periode lerok besut tumbuh subur pada 1920-1930, setelah masa itu banyak bermunculan ludruk di daerah jawa timur. Istilah ludruk sendiri lebih banyak ditentukan oleh masyarakat yang telah memecah istilah lerok. Nama lerok dan ludruk terus berdampingan sejak kemunculan sampai tahun 1955, selanjutnya masyarakat dan seniman pendukungnya cenderung memilih ludruk. 3. Ludruk pada masa perjuangan. Sezaman dengan masa perjuangan dr Soetomo di bidang politik yang mendirikan Partai Indonesia raya, pada tahun 1933 cak Durasim mendirikan Ludruk Oraganizatie (LO) yang terkenal dengan kidungan Jula Juli nya : ”Pagupon omahe doro, melok nipon tambah sengsoro….”. Ludruk inilah yang merintis pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam mengkritik pemerintahan baik Belanda maupun Jepang. 4. Ludruk Periode Kemerdekaan (1945-1965). Ludruk digunakan sebagai corong PKI untuk melakukan penggalangan masa untuk tujuan pembrontakan. Ludruk benar benar mendapatkan tempat di rakyat Jawa Timur. Ada dua grup ludruk yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk tresna Enggal. Ludruk Marhaen pernah main di Istana negara sampai 16 kali, hal ini menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para pejuang untuk merebut kembali irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh penghargaan dari panglima Mandala (Soeharto). Ludruk ini lebih condong ke kiri, sehingga ketika terjadi peristiwa G 30 S PKI Ludruk ini bubar. 5. Periode Ludruk Pasca G 30 S. Terjadi kevakuman antara 1965-1968. Sesudah itu muncullah kebijaksanaan baru menyangkut grup grup ludruk di Jawa Timur. Peleburan ludruk dikoordinir oleh Angkatan Bersenjata dalam hal ini DAM VIII Brawijaya proses peleburan ini terjadi antara tahun 1968-1970. 1. Eks-Ludruk marhaen di Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit I 2. Eks-Ludruk Anogara Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II 3. Eks-Ludruk Uril A Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma unit III, dibina Korem 083 Baladika Jaya Malang 4. Eks-Ludruk Tresna Enggal Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit IV 5. Eks-Ludruk kartika di Kediri dilebur menjadi Ludruk Kusuma unit V Diberbagai daerah ludruk ludruk dibina oleh ABRI, sampai tahun 1975. Sesudah itu mereka kembali ke grup seniman ludruk yang independen sampai ini. 6. Ludruk Saat Ini. Menurut Depdikbud propinsi jatim, sesudah tahun 1980 meningkat menjadi 789 group (84/85), 771 group (85/86), 621 group (86/87) dan 525 (8788). Suwito HS, seniman ludruk asal Malang mengatakan tidak lebih dari 500 group karena banyak anggota group yang memiliki keanggotaan sampai lima group. 2. PENAMPAKAN LUDRUK Secara historis akar konflik kebudayaan Jawa berupa pertentangan budaya antara (1) budaya pedalaman dengan budaya pesisiran, (2) budaya keraton (Mentaraman) dengan budaya rakyat, dan (3) budaya santri dengan budaya abangan ( Kompas, 3-1-2003 ). Ludruk mempunyai beberapa sebutan yang melekat berdasar ciri-khasnya. 1. Teater tradisional, ludruk mempunyai karakter pertunjukan dilakukan secara improvisatoris, spontan, tidak dipersiapkan menghafal naskah. Konvensi-konvensi khas ludruk, misal : pemeran sebagian besar pria, lagu seniman yang disebut kidungan dan lakon-lakon dari cerita rakyat yang telah dikenal luas. Nyanyian khasnya disebut jula-juli. 2. teater rakyat (masyarakat bawah, desa, tradisi kecil). Cerita-cerita ludruk umumnya mengangkat masalah kehidupan orang kecil sehari-hari. 3. teater sosial (aspek sosial ludruk pada status sosial pemain (penghasilan pemain) dan fungsi sosial ludruk). Secara luas, jenis cerita ludruk meliputi : (a) mitologi seperti pada lakon ”Sang Ajisaka”, (b) epos kerakyatan seperti dalam lakon ”Sekar Pundak Jaya Mulya dan Ki Danureksa Dan Kanjeng Sunan Giri”, (c) sejarah, (d) keseharian seperti dalam lakon ”Menik Purik” dan (e) humor kerakyatan. Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan tema ludruk mulai merambah hal-hal yang bermuatan mendasar, diantara yang menonjol seperti : (1) tema keadilan ”Pundak Jaya Mulya” yang bermuatan tema keadilan dengan menggabungkan dua unsur cerita tradisi dan kreatif. Munculnya kekuatan hitam dan putih dilambangkan melalui dua kubu pedepokan Guwa Lumut dan Budi Luhur, (2) tema pandangan hidup semisal tentang dialog yang menyertakan pengertian tentang wajib belajar 9 tahun, (3) tema keyakinan yang biasanya digarap sebagai persoalan dalam lakon yang memberikan pengetahuan tentang keagamaan dan kebenaran yang dapat dikaitkan dengan keteguhan hati dan iman seseorang. Ludruk biasanya dibuka dengan tandhakan (tarian) seperti Tari Ngremo, atau beskalan Putri untuk ludruk gaya Malang. Pembukaan pertunjukan ludruk biasanya diisi dengan parikan (tembang) yang isinya merespon situasi yang sedang hangat di masyarakat. Dalam ludruk nyanyian yang didendangkan disebut Gendingan Jula-juli. Bentuknya menyerupai pantun yang biasa disebut parikan. Isinya berupa nasehat, sindiran atau sketsa masyarakat yang berbau kritik (biasanya kritik sosial). Dibawakan oleh pelawak yang dinyanyikan atau didendangkan secara humoris, diiringi oleh gamelan. 2. a. Fungsi ludruk. Sebagai alat pendidikan masyarakat, alat pemupuk rasa solidaritas kolektif, alat hiburan yang memperkaya jiwa dan nilai estetika dan sebagai dunia alternatif cara berfikir dan pengendalian atmosfer budaya. (Danandjaja,1983 dan Supriyanto, 1992 dikutib oleh Sunaryo, dkk, 9). Kemudian sebagai alat hiburan yang memperkaya jiwa dan nilai estetika dan sebagai dunia alternatif cara berfikir dan pengendalian atmosfer budaya dimaksudkan bahwa ludruk sebagai kesenian yang bersifat menghibur dengan aneka gandangan, syairan dan dagelan/banyolan telah bertransmormasi menjadi pembawa pesan moral dan juga pendidikan. Pengendalian atmosfer budaya dimaksudkan sebagai benteng pertahanan bangsa ditengah gempuran budaya asing yang sebagian tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia. Keberadaan ludruk menjadi penting ketika arus kemodernan menyeruak masuk dan mengancam sendi-sendi kemandirian bangsa, walaupun juga merupakan keharusan bagi ludruk untuk bertransformasi menjadi lebih modern untuk tetap eksis sebagai kesenian yang disukai masyarakat. 2. b. Aspek interaksi ludruk. Aspek interaksi yang terkandung dalam ludruk : 1. interaksi komunikasi kidungan (dalam komedi / humor). Interaksi pemain dan penonton menjadi lebih intensif ketika syair-syair kidungan dikreasikan menjadi pola-pola kidungan yang tidak tertebak penonton. Misalnya bentuk syair dan parikan dalam kidungan yang telah dikreasikan ”mangan bakso kebrukan gentong --- keraya-raya rebutan bokong” yang artinya ””makan bakso tertindih gentong --- berpayah-payah memperebutkan pantat”. 2. interaksi komunikasi dagelan (syair-syair). Interaksi pemain dan penonton melalui komunikasi dagelan pun tidak sebatas pada waktu adegan lawak, tetapi banyak pula pada adegan cerita yang memang disajikan secara komedi dan humor. Seperti : PM : ”jenengmu iku lho sopo ?”. Mn : ”jeneng lawas nopo jeneng anyar ?”. PM : ”Jeneng lawas ?”. Mn : ”Mpun rusak”. Pm : ”Jeneng anyar ?”. Mn : ”Dereng dados”. 3. interaksi komunikasi cerita (cerita keseharian menarik). Interaksi pemain dan penonton melalui komunikasi cerita dapat terjadi secara intensif jika permasalahan yang diangkat dalam cerita menarik. Misal : BL :”E......sing tiba kene, kok koen sing nagis!”. Mn :”Kula mboten nagisi Sampeyan kok!”. BL :”Lha Koen nangisi sopo, Nduk?”. Mn :”Nangisi awak kulo dewe” BL :”Lha Koen iku kate nang endi” Mn :”Ajenge minggat, Sampeyan teraken, Wak!” 4. interaksi komunikasi sosial (penonton & ditonton). Interaksi pemain dan penonton terjadi secara alami melalui interaksi komunikasi sosial. Dalam interaksi ini bukan lagi berlaku ”tontonan dan penonton” namun sebagai anggota sosial dalam situasi kewacanaan berkesenian atau dalam konteks realis bukan lagi dalam konteks fiksional. 3. TINJAUAN FILOSOFIS. Menurut Bakker dalam setiap kebudayaan yang muncul pasti terdapat tahap-tahap penertiban alam, melalui tingkat-tingkat dari segala yang ada dalam proses penertiban alam sebagai usaha membudayakan alam. Eksteriorisasi : manusia yang melaksanakan budi daya untuk menertibkan alam menyebabkan adanya hasil diluarnya, sebuah produk yang berdiri sendiri sebagai hal, peristiwa dan benda fisik. (Bakker, Filsafat Kebudayaan, 16-17). Manusia menggolah alam sedemikian rupa sehingga menghasilkan karya yang memang sesuai dengan karakter mereka yaitu ludruk. Komunikasi : hasil daya budi perseorangan tersedia untuk digunakan dalam kesatuan antar sebjek secara dialog dengan saling menyumbang dan bertukar pikiran, agar hasil itu semakin sempurna dan berfaedah. (Bakker, Filsafat Kebudayaan, 16-17). Interaksi komunikasi dalam ludruk sesuai dengan karakter dan keadaan pemikiran masyarakat, sehingga dalam proses ini manusia telah mencapai tahapan komunikasi dalam rangka menyumbang dan bertukar pikiran, agar hasil itu yang didapat semakin sempurna dan berfaedah. Kontinuitas : karya kebudayaan berlangsung terus dan merupakan titik tolak untuk perkembangan lebih lanjut. Kebudayaan merupakan titipan sadar kepada umat manusia, dipakai juga secara sadar dan bebas, bukan sebagai nasib. (Bakker, Filsafat Kebudayaan, 16-17). Ludruk tidak berhenti ketika sudah tercipta dalam bentuk kesenian, akan tetapi terus berbenah dan bertransmormasi mengikuti pola perkembangan manusia yang menggerakkannya agar semakin leluasa dalam interaksi dengan masyarakat. Tidak menutup kemungkinan bahwa ludruk akan berubah total bila itu menjadi kehendak manusia dalam rangka memenuhi dan menggelola budi dan dayanya. Penertiban alam juga meliputi : Kepribadian manusia : yang oleh realisasi wajar, harmonis, dan hierarkis dari budi dan bakat insani mencapai kemanusiaan sempurna, lengkap, utuh dan otentik. Segala fungsinya bekerja seharusnya. Oleh perbuatan secara bijaksana, alam insani direalisasi menurut kecakapan yang terpendam didalamnya. Alam fisik : diketahui oleh ilmu, diatur menurut hukum alam, disempurnakan bagi simbiose dengan manusia oleh teknik, diintegrasi sebagai nilai. Lingkungan sosial : hubungan antara manusia ditertibkan untuk mencapai solidaritas, kerjasama, saling-menghargai, dan cinta kasih. Itu terjadi oleh penelitian ilmu-sosial dan karya-karya sosial dan karya sosial yang mengarah penyatuan keluarga bangsa-bangsa. (Bakker, Filsafat Kebudayaan, 16-17). Dalam hal ini faktor lingkungan sangat mempengaruhi keadaan akal dan kepribadian manusia. Kesatuan yang dimaksud adalah kesatuan unsur-unsur yang membentuk dan terkandung dalam setiap kebudayaan, juga antara manusia dengan alam yang menhasilkan sesuatu yang baru dan bernilai dihadapannya. Budaya meliputi baik menyangkut hal yang berwujud (kebudayaan objektif) maupun tak berwujud (kebudayaan subjektif). Kebudayaan objektif adalah aspirasi fundamental yang ada pada manusia, meliputi nilai-nilai batin yang terdapat dalam perkembangan kebenaran, kebajikan dan keindahan yang merupakan puncak-puncak bakat dari badan, rasa, kemauan dan akal. Penerapannya pada ludruk nampak pada ketrampilan, kecekatan, kedermawanan dan bentuk lain yang diperkembangkan dalam tabiat masyarakat. Sedangkan yang berwujud (kebudayaan objektif) merupakan perwujudan dari nilai-nilai imanen kebudayaan subjektif, yang dihasilkan oleh usaha sepanjang sejarah secara terus-menerus. Dibagi dalam beberapa aspek yang biasa disebut unsur, yaitu : bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi, dan kesenian. Hakekat nilai diketahui dengan subyektivitas, obyektivisme logis dan obyektivisme metafisik. Subyektivitas yaitu nilai sepenuhnya berhakekat subyektif. hal ini tercermin dalam bahasa ludruk yang egaliter dan bentuk cerita yang merakyat. Obyektivisme logis yaitu nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu, inilah yang tercermin dalam sejarah panjang perjalanan ludruk. Meskipun menggalami berbagai perubahan, ludruk tetap milik rakyat. Obyektivisme metafisik yaitu nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan, sedangkan kenyataan yand didapat dalam ludruk adalah bentuk kesenian yang mencerminkan kondisi sosial masyarakat bawah dengan segala ekses-eksesnya. Bertahannya nilai yang terkandung dalam ludruk merupakan hal yang paling penting, sebab dalam perjalanan panjangnya ludruk telah melalui berbagai perubahan alam yang menuntut ludruk untuk bisa menyesuaikan diri agar tetap eksis ditengah masyarakat. 4. a. Ludruk sebagai buah alam pikir fungsionil. Ludruk juga merupakan buah karya dari pada alam pikir fungsionil, keberadaan ludruk muncul sebagai representasi kesenian rakyat jelata terhadap budaya kesenian keraton yang notabene adalah karya seni dengan bahasa, tata cara dan kebiasaan keraton. Terdapat tali keterkaitan antara dua hal tersebut, yaitu alam pikir fungsionil dan ludruk, hubungan itu dilandasi kesamaan konsep dan arahan eksistensi untuk menjalin kerjasama dan hubungan antar manusia. Sebagai alat yang memang diciptakan untuk menjaring peminat dari kalangan rakyat jelata, ludruk bersesuaian dengan ”lokal genius” yang ada pada masyarakat tersebut, karena pola fikir yang polos dan sederhana pada masyarakat disambut dengan tampilan ludruk yang dalam tanpilannya menggunakan bahasa sehari-hari tanpa balutan kata-kata yang biasa digunakan oleh para pembesar keraton. Itulah sebabnya mengapa dengan bahasa lugas pada ludruk, mereka dapat diterima oleh lingkungan sehingga pesan dan jalan cerita yang disampaikan oleh pemain mudah diserap oleh kalangan non intelek (tukang becak, peronda, sopir angkotan). Komunitas ludruk pada awalnya berada dalam kehidupan kampung yang homogen dan komunal, kemudian mulai beranjak ke arah ekstra kampung yang heterogen dan rasional-spesifik. Tidak hanya itu, kehadiran ludruk dalam masyarakat heterogen ditenggarai merupakan akibat dari bentuk keluwesan ludruk sebagai kesenian rakyat yang mencerminkan cita-cita pergerakan sosial, sambutan yang diberikan oleh masyarakat kampung bukanlah tanpa sebab, hal ini sebagai representasi terhadap nilai-nilai ludruk yang menujukkan keterbukaan, kesederhanaan dan interaksi sosial. Berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan ludruk dapat diketahui bahwa pertunjukan ludruk merupakan keutuhan dari tiga genre, yaitu ngremo (tari kepahlawanan), dagelan (lawakan) dan cerita (Peacock, 1968) Salah satu kehebatan ludruk sebelum 1965, seperti yang diungkap James L. Peacock, adalah konsistensinya sebagai pertunjukan proletar, improvisasi-kreatif, suka memainkan simbol untuk menyampaikan pesan-pesan perubahan kehidupan. Bahkan lebih dari itu, ludruk adalah pendorong, agen atau mediator perubahan massa rakyat Jawa Timur. ( Peacock, 1968)
KESIMPULAN Berdasarkan permasalahan dan pemaparan diatas, dapat disimpulkan : 1. Hakikat kebudayaan dalam ludruk sebagai kesenian rakyat serta kearifan lokal terkandung didalamnya adalah suatu proses penciptaan, penertiban dan penggolahan nilai-nilai insani untuk mencapai sempurna, termasuk memanusiakan bahan alam mentah maupun alam diri maupun alam lingkungan baik fisik maupun sosial. Dalam hal ini nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung adalah keterbukaan, kepolosan, kesetiaan sosial, kesatuan, kemandirian dan semangat membangun menuju yang lebih baik. 2. Peran serta ludruk dalam menggembangkan pembangunan nasional dengan nilai-nilai yang terdapat pada kesenian tersebut adalah terwujudnya semangat untuk meneruskan pembangunan yang telah diawali oleh pendahulu kita, sebagai bentuk dari pewarisan yang memang berguna dalam pemciptaan kebudayaan. Nilai-nilai kearifan lokal yang telah ada hendaknya mampu menjadi landasan untuk membawa bangsa ini kearah kemajuan moral dan material. Ludruk merupakan bagian penting dari kebudayaan, sebagai ekspresi dan artikulasi dari hasil cipta, karsa dan karya. Apabila kesenian dapat mentransformasi diri sebagai milik bersama dan kebanggaan bersama yang dipangku oleh suatu masyarakat (lokal atau nasional), maka kesenian akan dapat berperan untuk meningkatkan ketahanan budaya. 3. Peran yang dapat dilakukan ludruk dalam mendukung keberlangsungan pembangunan nasional yang diharapkan sesuai dengan nilai kearifan lokal bangsa adalah dengan menjiwai pembangunan dan turut serta sebagai benteng ketahanan budaya nasional, sehingga banga ini mampu bersaing dengan nilai dan karakter luhur bangsa Indonesia. Keragaman budaya yang ada tidak memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Karena masing-masing ber”local genius” yang membuat bangsa ini bisa meneguhkan jati diri dan mempunyai nilai tawar didunia internasional. Keanekaragaman budaya hendaknya menjadi semangat untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi bangsa serta membangun negara agar lebih maju dan mampu unjuk gigi sebagai bangsa yang mandiri dan berdikari. Perubahan yang terjadi dalam bentuk suatu kebudayaan tidaklah patut kita sesalkan, karena yang terpenting adalah esensi nilai yang terkandung dalam setiap kebudayaan. Nilai itulah yang harus dilestarikan dan dipertahankan dalam mengawal pembangunan bangsa menuju kehidupan yang lebih baik.

GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search