Budaya
Pop
Orang di seluruh dunia boleh saja waswas dengan
wabah SARS yang dituduh sebagai penyakitnya orang Asia yang mendunia. Tapi
sebenarnya ada lagi wabah lain yang mungkin justru lebih berbahaya ketimbang
SARS. Namanya budaya pop Asia (Asia pop culture). Demikian petikan artikel yang
dimuat di salah satu media massa, menunjukkan betapa budaya pop telah begitu
mempengaruhi masyarakat. Globalisasi, perkembangan teknologi informasi dan
konsumerisme telah merangsang percepatan penyebarannya. (http://www.jurnalislam.com/)
Budaya pop
menurut Stuart Hal digambarkan sebagai Sebuah arena konsesus dan
resistensi. Budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah
dimana hegemoni berlangsung. Ia bukan
ranah di mana sosialisme , sebuah kultur sosialis- yang telah terbentuk sepenuhnya-
dapat sungguh-sungguh “diperlihatkan’. Namun, ia adalah salah satu tempat di
mana sosialisme boleh jadi diberi legalitas. Itulah mengapa “budaya pop”
menjadi sesuatu yang penting. (John Storey ,2008: 3)
Berbicara mengenai budaya pop maka tidak bisa
lepas dari pengertian budaya dalam cultural studies. “Budaya” dalam cultural
studies lebih didefinisikan secara politis ketimbang secara estetis. Objek
kajian dalam cultural studies bukanlah budaya yang didefinisikan dalam
pengertian sempit yaitu sebagai objek keadiluhungan estetis (‘seni tinggi’);
juga bukan budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sama-sama sempit,
yaitu sebagai sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spiritual;
melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. (John
Storey ,2008: 2)
Budaya pop juga sering diartikan sebagai budaya
massa. Kadangkala, budaya pop didefinisikan sebagai budaya yang berlawanan
dengan budaya luhur. Bahkan, ada pula yang menyebut budaya pop sebagai budaya
komersial. Belakangan budaya pop dikaitkan dengan budaya yang berasal dari
rakyat. (http://www.jurnalislam.com/)
Di dalam Ensiklopedia Encarta, budaya pop
diartikan sebagai berikut: Popular
Culture is values that come from advertising, the entertainment industry, the
media, and icons of style and are targeted to the ordinary people in society. (Encarta
reference library, 2004). Budaya pop adalah nilai-nilai yang berasal dari
industri iklan, industri hiburan, media dan
simbol mode yang ditujukan pada masyarakat awam. (http://www.jurnalislam.com/)
Nampak dari definisi di atas, budaya pop dipandang
sebagai budaya yang mengambil nilai dari dunia iklan, industri hiburan dan
media massa. Ketimbang disebut sebagai budaya rakyat, budaya pop lebih tepat
disebut sebagai budaya massa yang digerakkn oleh kepentingan pasar. Karena
dalam perjalanannya, budaya ini lahir dan dibesarkan oleh kapitalisme. (http://www.jurnalislam.com/)
Budaya
pop secara jelas memiliki dua karakter.
1). bersifat instant, memberikan pemuasan sesaat,
pasif dan cenderung dangkal. Maka tak jarang budaya ini, dipenuhi oleh intrik seksualitas dan konsumerisme.
Konsumsi muncul sebagai sebuah perhatian budaya pada akhir
1950-an dan awal 1960-an dalam perdebatan
mengenai perkembangan “ masyarakat modern . Baru-baru ini, konsumsi bisa
ditemukan dalam pelbagai studi tentang belanja sebagai bentuk budaya pop (John
Storey ,2008: 143). Konsumsi selalu lebih dari sekedar aktivitas ekonomi. Konsumsi juga berhubungan dengan mimpi,
hasrat, identitas, dan komunikasi. Pendek kata, berbelanja telah menjadi budaya
pop (John Storey ,2008:169)
Dalam hal ini kalangan feminis justru meyakini, budaya pop menjadi media jitu terhadap
penyebaran konsep kesetaraan gender. Maka, ketika budaya pop menempatkan seks sebagai
komoditas, justru para feminis berpendapat seksualitas
adalah kekuatan perempuan. Sehingga perilaku Madonna dan aktris Hollywood
lainnya, tidak dianggap bertentangan bahkan sebaliknya mengandung pesan
pembebasan perempuan. (http://www.jurnalislam.com/)
2). Budaya ini juga bersifat massa, sehingga
penyebarannya di tengah masyarakat sedemikian cepat.
Budaya yang disediakan oleh pasar hiburan
komersial.... memainkan peran penting. ia mencerminkan sikap dan sentimen yang
telah ada disana, dan pada saat bersamaan menyediakan wilayah yang penuh
ekspresi serta sederet simbol yang dengan simbol itu sikap tersebut
diproyeksikan....budaya remaja merupakan sebuah paduan kontradiktif antara yang autentik dan yang dimanufaktur:
ia adalah area ekspresi diri bagi kaum muda dan padang rumput yang subur bagi
provider komersial (John Storey ,2008:126)
Dua ciri di atas, tentunya sangat mempengaruhi
tatanan nilai di masyarakat. Pada satu sisi, coraknya yang instant dan dangkal memberi peluang diterimanya berbagai nilai,
tanpa mempertimbangkan kelayakannya. Di sisi lain, penyebarannya yang
sedemikian cepat, menyebabkan nilai-nilai yang terserap dengan segera akan
meluas di tengah masyarakat, tak terkecuali nilai yang bertentangan dengan
moral.
Relasi
Feminisme dan Budaya Pop
Aliran budaya pop telah mejebolkan keran-keran
kelompok dan ideologi. Keberadaannya pun telah menimbulkan pro dan kontra di
kalangan feminisme. Sebagian berpendapat bahwa budaya pop merugikan kepentingan
feminisme, misalnya pornografi, eksploitasi perempuan dalam film dan iklan.
Tetapi, tidak jarang para feminis yang mendukung budaya pop. Kelompok kedua
ini, belakangan semakin besar jumlahnya.
Kalangan feminis meyakini, budaya pop menjadi
media jitu terhadap penyebaran konsep kesetaraan gender. Maka, ketika budaya
pop menempatkan seks sebagai komoditas, justru para feminis berpendapat
seksualitas adalah kekuatan perempuan. Sehingga perilaku Madonna dan aktris Hollywood lainnya, tidak dianggap
bertentangan bahkan sebaliknya mengandung pesan pembebasan perempuan. (http://www.jurnalislam.com/)
Para penggemar adalah bagian paling tampak dari khalayak
dan praktik budaya pop. kelompok penggemar merupakan suatu simptom (patologis)
yang tampak dari kemungkinan runruhnya budaya, moral, dan sosial yang tak
terelakkan lagi mengikuti transisi dari masyarakat pedesaan dan agrikultural
menuju masyarakat industrial dan urban. (John Storey ,2008:159)
Pertalian Feminisme dan budaya pop menyuguhkan
beberapa catatan. Pertama, budaya
pop, bagaimanapun merupakan budaya yang berangkat dari nilai yang sangat rentan
dan dangkal. Maka, penempelan feminisme pada budaya pop, menunjukkan bahwa
feminisme sendiri tidak memiliki akar budaya yang jelas.
Kedua, adanya ketidakkonsistenan para feminis. Pada
satu sisi, terjadi kecaman terjadinya pelecehan seksual dan kekerasan
perempuan. Namun, di sisi lain dengan mendukung budaya pop secara tidak sadar
telah melegalkan terjadinya praktek kekerasan
perempuan.
Salah satu yang menjadi alasan feminisme
menggandeng budaya pop terletak pada pencitraan perempuan. Misalnya, perempuan
millennium dicitrakan sebagai perempuan yang seksi, cantik, menarik dan
humoris. Sedangkan pencitraan perempuan sendiri mengalami perubahan. Maka,
feminisme tidak memiliki standar konsep ideal perempuan.
GOOGLE search
GOOGLE search
Custom Search