Rabu, 08 April 2015

BUDAYA POP DAN FEMINISME

Keberadaan Budaya Pop telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan feminisme. Sebagian berpendapat bahwa budaya pop merugikan kepentingan feminisme, misalnya pornografi, eksploitasi perempuan dalam film dan iklan. Tetapi, tidak jarang para feminis yang mendukung budaya pop karena diyakini dapat menjadi media jitu terhadap penyebaran konsep kesetaraan gender Kelompok kedua ini, belakangan semakin besar jumlahnya. Pada paper saya kali ini, saya lebih tertarik membahas feminisme yang mendukung budaya pop ini dari pada feminisme yang menolak budaya pop.



Budaya Pop
Orang di seluruh dunia boleh saja waswas dengan wabah SARS yang dituduh sebagai penyakitnya orang Asia yang mendunia. Tapi sebenarnya ada lagi wabah lain yang mungkin justru lebih berbahaya ketimbang SARS. Namanya budaya pop Asia (Asia pop culture). Demikian petikan artikel yang dimuat di salah satu media massa, menunjukkan betapa budaya pop telah begitu mempengaruhi masyarakat. Globalisasi, perkembangan teknologi informasi dan konsumerisme telah merangsang percepatan penyebarannya. (http://www.jurnalislam.com/)
Budaya pop  menurut Stuart Hal digambarkan sebagai Sebuah arena konsesus dan resistensi. Budaya pop merupakan tempat di mana hegemoni muncul, dan wilayah dimana  hegemoni berlangsung. Ia bukan ranah di mana sosialisme , sebuah kultur sosialis- yang telah terbentuk sepenuhnya- dapat sungguh-sungguh “diperlihatkan’. Namun, ia adalah salah satu tempat di mana sosialisme boleh jadi diberi legalitas. Itulah mengapa “budaya pop” menjadi sesuatu yang penting. (John Storey ,2008: 3)
Berbicara mengenai budaya pop maka tidak bisa lepas dari pengertian budaya dalam cultural studies. “Budaya” dalam cultural studies lebih didefinisikan secara politis ketimbang secara estetis. Objek kajian dalam cultural studies bukanlah budaya yang didefinisikan dalam pengertian sempit yaitu sebagai objek keadiluhungan estetis (‘seni tinggi’); juga bukan budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sama-sama sempit, yaitu sebagai sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spiritual; melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. (John Storey ,2008: 2)


Budaya pop juga sering diartikan sebagai budaya massa. Kadangkala, budaya pop didefinisikan sebagai budaya yang berlawanan dengan budaya luhur. Bahkan, ada pula yang menyebut budaya pop sebagai budaya komersial. Belakangan budaya pop dikaitkan dengan budaya yang berasal dari rakyat. (http://www.jurnalislam.com/)
Di dalam Ensiklopedia Encarta, budaya pop diartikan sebagai berikut: Popular Culture is values that come from advertising, the entertainment industry, the media, and icons of style and are targeted to the ordinary people in society. (Encarta reference library, 2004). Budaya pop adalah nilai-nilai yang berasal dari industri iklan, industri hiburan, media dan
simbol mode yang ditujukan pada masyarakat awam. (http://www.jurnalislam.com/)
Nampak dari definisi di atas, budaya pop dipandang sebagai budaya yang mengambil nilai dari dunia iklan, industri hiburan dan media massa. Ketimbang disebut sebagai budaya rakyat, budaya pop lebih tepat disebut sebagai budaya massa yang digerakkn oleh kepentingan pasar. Karena dalam perjalanannya, budaya ini lahir dan dibesarkan oleh kapitalisme. (http://www.jurnalislam.com/)

Budaya pop secara jelas memiliki dua karakter.
1). bersifat instant, memberikan pemuasan sesaat, pasif dan cenderung dangkal. Maka tak jarang budaya ini, dipenuhi oleh intrik seksualitas dan konsumerisme.
Konsumsi muncul sebagai sebuah perhatian budaya pada akhir 1950-an dan awal 1960-an dalam perdebatan  mengenai perkembangan “ masyarakat modern . Baru-baru ini, konsumsi bisa ditemukan dalam pelbagai studi tentang belanja sebagai bentuk budaya pop (John Storey ,2008: 143). Konsumsi selalu lebih dari sekedar aktivitas ekonomi. Konsumsi juga berhubungan dengan mimpi, hasrat, identitas, dan komunikasi. Pendek kata, berbelanja telah menjadi budaya pop (John Storey ,2008:169)
Dalam hal ini kalangan feminis justru meyakini, budaya pop menjadi media jitu terhadap penyebaran konsep kesetaraan gender. Maka, ketika budaya pop menempatkan seks sebagai komoditas, justru para feminis berpendapat seksualitas adalah kekuatan perempuan. Sehingga perilaku Madonna dan aktris Hollywood lainnya, tidak dianggap bertentangan bahkan sebaliknya mengandung pesan pembebasan perempuan. (http://www.jurnalislam.com/)

2). Budaya ini juga bersifat massa, sehingga penyebarannya di tengah masyarakat sedemikian cepat.
Budaya yang disediakan oleh pasar hiburan komersial.... memainkan peran penting. ia mencerminkan sikap dan sentimen yang telah ada disana, dan pada saat bersamaan menyediakan wilayah yang penuh ekspresi serta sederet simbol yang dengan simbol itu sikap tersebut diproyeksikan....budaya remaja merupakan sebuah paduan kontradiktif  antara yang autentik dan yang dimanufaktur: ia adalah area ekspresi diri bagi kaum muda dan padang rumput yang subur bagi provider komersial (John Storey ,2008:126)

Dua ciri di atas, tentunya sangat mempengaruhi tatanan nilai di masyarakat. Pada satu sisi, coraknya yang instant dan dangkal memberi peluang diterimanya berbagai nilai, tanpa mempertimbangkan kelayakannya. Di sisi lain, penyebarannya yang sedemikian cepat, menyebabkan nilai-nilai yang terserap dengan segera akan meluas di tengah masyarakat, tak terkecuali nilai yang bertentangan dengan moral.

Relasi Feminisme dan Budaya Pop
Aliran budaya pop telah mejebolkan keran-keran kelompok dan ideologi. Keberadaannya pun telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan feminisme. Sebagian berpendapat bahwa budaya pop merugikan kepentingan feminisme, misalnya pornografi, eksploitasi perempuan dalam film dan iklan. Tetapi, tidak jarang para feminis yang mendukung budaya pop. Kelompok kedua ini, belakangan semakin besar jumlahnya.
Kalangan feminis meyakini, budaya pop menjadi media jitu terhadap penyebaran konsep kesetaraan gender. Maka, ketika budaya pop menempatkan seks sebagai komoditas, justru para feminis berpendapat seksualitas adalah kekuatan perempuan. Sehingga perilaku Madonna dan aktris Hollywood lainnya, tidak dianggap bertentangan bahkan sebaliknya mengandung pesan pembebasan perempuan. (http://www.jurnalislam.com/)
Para penggemar adalah bagian paling tampak dari khalayak dan praktik budaya pop. kelompok penggemar merupakan suatu simptom (patologis) yang tampak dari kemungkinan runruhnya budaya, moral, dan sosial yang tak terelakkan lagi mengikuti transisi dari masyarakat pedesaan dan agrikultural menuju masyarakat industrial dan urban. (John Storey ,2008:159)
Pertalian Feminisme dan budaya pop menyuguhkan beberapa catatan. Pertama, budaya pop, bagaimanapun merupakan budaya yang berangkat dari nilai yang sangat rentan dan dangkal. Maka, penempelan feminisme pada budaya pop, menunjukkan bahwa feminisme sendiri tidak memiliki akar budaya yang jelas.
Kedua, adanya ketidakkonsistenan para feminis. Pada satu sisi, terjadi kecaman terjadinya pelecehan seksual dan kekerasan perempuan. Namun, di sisi lain dengan mendukung budaya pop secara tidak sadar telah melegalkan terjadinya praktek kekerasan
perempuan.

Salah satu yang menjadi alasan feminisme menggandeng budaya pop terletak pada pencitraan perempuan. Misalnya, perempuan millennium dicitrakan sebagai perempuan yang seksi, cantik, menarik dan humoris. Sedangkan pencitraan perempuan sendiri mengalami perubahan. Maka, feminisme tidak memiliki standar konsep ideal perempuan.
GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search