Sudah tidak ada tempat di dunia ini yang
hanya dihuni oleh satu ras tertentu, bahkan negara Jepang yang terkenal dengan
tradisi tertutup. Setiap bangsa dihuni lebih dari satu ras/budaya tertentu.
Bahkan ada beberapa negara yang dihuni oleh banyak etnik dan ras. Bukanlah hal
yang mudah untuk menyatukan etnik dan ras tersebut dalam satu negara,
diperlukan suatu perjuangan dan persamaan hak asasi manusia yang tinggi
terlebih jika ras atau etnik tersebut bergabung dalam negara karena
pernjajahan. Bahkan dalam beberapa hal sentimen-sentimen atas suatu ras
tertentu muncul meskipun multikulturalisme telah menjadi bagian dalam paham suatu
negara.
Salah satu negara yang mengalami masalah
di atas adalah Amerika Serikat. Negara yang menjadi ikon multikulturalisme
dunia ini, ternyata juga banyak mengalami masalah sentimen ras. Ini nampak
dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat lalu di mana isu rasial menjadi isu
yang menarik dibahas terlebih Barack Obama, selaku calon presiden, merupakan
calon presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat dan mampu memenangi
pemilihan presiden. Ini merupakan loncatan besar sebab sering kali kulit hitam
diidentikkan sebagai berandalan dan bukan orang terpelajar. Masalah rasial di Amerika
Serikat juga menjadi inspirasi sineas Hollywood untuk membuat film yang
berjudul Crash. Berlatarkan kehidupan Los Angels sebagai kota
metropolitan yang disesaki dengan banyak ras pendatang, Crash mencoba
menarik perhatian penonton bahwa rasialis terjadi dalam segala aspek kehidupan bahkan
terkecil sekalipun di Amerika Serikat. Atas kehebatan ini pula Crash
mendapatkan Piala Oscar sebagai film terbaik.
Masalah rasialis yang nampak dalam film Crash
diakibatkan munculnya sentimen, diskriminasi, dan stereotype yang telah
melekat pada masing-masing ras. Jika demikian bagaimana cara agar rasialis
tidak berkembang menjadi crash (tabrakan)? Melalui paper ini, kami
mencoba memecahkan masalah rasialis dalam film Crash melalui perspektif
multikulturalisme.
Film
Crash
Crash bercerita
mengenai kehidupan sehari-hari di kota Los Angels yang dipenuhi oleh
orang-orang dari berbagai ras yang saling bersinggungan dan saling merendahkan.
Gesekan-gesekan yang berhubungan dengan rasialis sudah banyak difilmkan, tapi
yang menjadinya menarik karena film ini mengambarkan rasialis dengan cara
natural dan melalui tindakan-tindakan kecil. Sepanjang film banyak
singgungan-singgungan mengenai diskriminasi, stereotype, dan sentimen
tertentu.
Pusat cerita ada pada 20 orang yang
mewakili lima ras, yaitu Putih (Eropa), Hitam (Negro), Arab dan Parsi, Latin, serta
Thionghoa. Penggambaran karakter dari masing-masing ras menunjukkan stereotype
yang melekat, baik itu secara positif maupun negatif.
Ras kulit putih diwakili oleh karakter
penjual senjata, Jean, Jaksa Carol, Produser TV, Tommy, dan Ryan. Kulit putih
selalu ingin mendominasi dan memiliki kehidupan yang lebih mudah. Mereka
cenderung memiliki karakter merendahkan ras lain dan menganggap ras lain
sebagai penghalang jalan. Akibatnya kulit putih cenderung penakut, mudah panik,
dan banyak mengalami kecurigaan yang berlebihan terhadap setiap orang yang
bukan rasnya. Contohnya ketika Jean melihat ada orang Latin bertato yang sedang
membenarkan kunci rumahnya, Jean terburu-buru minta pada suaminya untuk
mengganti kunci rumahnya besok pagi karena takut jika orang Latin bertato
selalu sebagai penjahat yang lepas dari penjara. Ketakutan ini ditutupi dengan
sikap mengancam ras lain.
Ras kulit hitam diwakili oleh karakter
keluarga Water dan Cameron, serta Antony. Melihat sejarahnya, kulit hitam
datang ke Amerika Serikat akibat penjualan budak Eropa pada orang kulit putih.
Maka, orang kulit hitam sangat membenci kulit putih. Masalah ini ditambah lagi
ketika kulit hitam menjadi orang yang bebas mereka tidak mendapatkan kehidupan
yang layak. Demi mempertahankan hidup mereka berbuat kejahatan. Image
yang nampak pada kulit hitam selalu sebagai berandalan, penjahat, dan sering
melukai kulit putih. Kalaupun mereka mempunyai pekerjaan layak biasanya mereka
mendapatkan tekanan dari kulit putih sebagai pemilik modal. Dalam film ini
banyak menyeritakan tekanan-tekanan pekerjaan yang dialami orang kulit hitam
oleh kulit putih. Bahkan ada salah satu dialog yang berkata: “dasar kulit hitam
tak tahu diri!”.
Ras Arab dan Parsi digambarkan
mendapatkan tekanan yang luar biasa dari publik akibat Serangan 11 September
2001 dan infansi Amerika Serikat terhadap Irak. Dalam film ini hanya
digambarkan ras Parsi saja, yaitu dari keluarga Golzari namun karena
ketidaktahuan masyarakat sering kali mereka disamakan dengan Arab. Keluarga
Gonzali sering kali mendapatkan ancaman, pengrusakan, dan makian yang
dikarenakan wajahnya mirip dengan orang Arab. Akibat tekanan yang berat, mereka
cenderung tidak mudah percaya pada siapapun karena takut akan mendapat celaka
yang lebih besar.
Ras Latin diwakili oleh keluarga Lucio
dan Maria. Dibawah pengaruh ajaran agama Katolik yang kuat, ras Latin biasanya digambarkan
religius, meski banyak pula yang menjadi mafia. Mereka juga terdorong untuk
berbuat cinta kasih pada sesamanya. Mereka memilih untuk tidak bertengkar
dengan ras lain karena di Amerika Serikat sendiri mereka masih merasa terjajah
di tanah-airnya sendiri. Dalam film menunjukkan Maria mengasihani majikannya
meskipun Maria terus dihina. Selain itu, Lucio juga memilih mengalah ketika
tuan Golzari memaki-maki.
Ras Thionghoa terwakili oleh seorang
sindikat trafficking. Thionghoa di mana pun keberadaannya sering kali
digambarkan sebagai sosok yang pintar berdagang apa saja dan tak segan-segan
menjadi jaringan mafia penjual manusia. Kesan yang tertangkap dari film ini,
sutradara termasuk orang yang rasialis pada ras Thionghoa karena film ini
seakan-akan makin memperjelas citra oran Thionghoa sebagai pelaku bisnis gelap.
Persatuan
Amerika Serikat
Sejarah menceritakan sejak Colombus
menemukan daratan baru banyak orang Eropa berbondong-bondong untuk mencari
kehidupan yang lebih baik. Tanah-tanah di Amerika dibagi-bagi berdasar negara
masing-masing, seperti wilayah orang-orang Portugis, orang-orang Spanyol,
orang-orang Inggris. Dikarenakan Inggris membutuhkan tempat buangan bagi penjahat,
Amerika menjadi wilayah buangan penjahat Inggris. Amerika tidak dipandang baik
oleh Inggris.
Ketika bangsa Spanyol menemukan emas di
Amerika, keserakahan Inggris nampak. Inggris menjajah seluruh Amerika. Keadaan
genting yang demikian menjadikan orang-orang dari berbagai ras bersatu melawan
Inggris demi melindungi kepentingan masing-masing orang. Mereka melawan Inggris
dan membentuk negara baru yang disebut Amerika Serikat. Tak hanya sampai
disini, Amerika Serikat juga berperang untuk melakukan ekspansi. Warga pribumi
dipaksa untuk bergabung dan menjadi bagian dari negara Amerika Serikat. Inilah
yang menjadikan Amerika Serikat sejak awal telah menjadi bangsa multi etnik.
Terlebih pada masa perbudakan banyak orang-orang Afrika yang dijadikan budak
tuan tanah di Amerika Serikat. Dan kemajuan pesat Amerika Serikat telah
menyedot banyak orang untuk mencari penghidupan yang lebih layak.
Meski nampak dari luar Amerika Serikat
sangat terbuka pada orang dari berbagai ras namun sebetulnya Amerika Serikat
dalam mengatasi masalah rasialis seperti api dalam sekam. Untuk itu diperlukan
suatu paham ideologi untuk menyatukan warga Amerika Serikat tanpa ada pengaruh
rasial. Dua teori pernah dicetuskan untuk menyatukan warga Amerika Serikat,
yaitu melting pot dan salad bowl. Namun keduanya gagal.
Dengan teori melting pot diupayakan
untuk menyatukan seluruh budaya yang ada dengan meleburkan seluruh budaya asal
masing-masing. Dengan teori salad bowl, masing-masing budaya asal tidak
dihilangkan melainkan diakomodir dan memberikan kontribusi bagi budaya bangsa,
namun interaksi kultural belum berkembang dengan baik.
Multikulturalisme
Setelah kegagalan dua teori untuk
menyatukan warga Amerika Serikat, muncul teori baru yang disebut dengan
multikulturalisme. Teori ini awalnya diadopsi dari negara tetangga Amerika
Serikat, yaitu Kanada.
Multikulturalisme saat ini merupakan
sebuah isu yang hidup sekali. Multikulturalisme juga dianggap penting secara
politis. Di dalam satu masyarakat yang demikian plural, dengan kebudayaan yang
begitu heterogen, perlu pemahaman yang didasarkan pada perspektif
multikultural. Konsep multikultural biasanya diadopsi di negara-negara yang
menganut konsep demokratis Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam dalam
upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit pulit dan kulit hitam,
yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.
Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara
negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi
35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari
tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik
etnis berdarah. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras,
golongan dan juga agama.
Multikulturalisme secara etimologis
marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary
istilah "multiculturalism" merupakan deviasi dari kata "multicultural"
Kamus ini menyitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang
menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat "multicultural dan
multi-lingual" (El-Ma'hady_html: 2004: www.kompas.com). Sedangkan
secara terminologis, multikulturalisme mengandung banyak arti, diantaranya
menurut Pasurdi Suparlan dalam penelusuran terminologisnya terhadap Brian Fay
(1996), Jary and Jary (1991) serta C.W. Watson (2000), multikulturalisme adalah
sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan
baik secara individual maupun secara kebudayaan (Rifai_html: http://pustakawan.pnri.go.id).
Dalam model multikulturalisme ini,
sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum
dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam
mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil
yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai
kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut. Alo Liliweri melihat
multikulturalisme sebagai kondisi kemajemukkan kebudayaan (pluralisme budaya)
dari suatu masyarakat. Kondisi ini diasumsikan dapat membentuk sikap toleransi.
Sebagai sebuah ideologi, multikulturalisme bisa dikatakan sebagai gagasan
bertukar pengetahuan dan keyakinan yang dilakukan melalui pertukaran kebudayaan
atau perilaku budaya setiap hari. (Supartiningsih_html).
Multikulturalisme telah menjadi
paradigma yang tidak saja mengandaikan hadirnya keanekaragaman elemen sosial
budaya, tetapi juga proses peleburan antara elemen yang satu dengan elemen yang
lain ke dalam sebuah bejana social. Multikulturalisme menganggap bahwa
etnosentrisme, xenosentrisme maupun xenofobia bukan tutur kata dan sikap yang
relevan. Yang relevan ialah kewajiban untuk menghormati hak-hak atas keanekaan
budaya atau hak-hak untuk berbeda secara budaya. Multikulturalisme dengan
demikian memproklamasikan emansipasi budaya-budaya kecil yang masing-masing
juga memiliki "hak hidup" yang wajib dihormati (Nugroho_html: www.kompas.com).
Keanekaan budaya yang masing-masing duduk sama rendah berdiri sama tinggi ini
merupakan konsientisasi berikut yang disodorkan oleh multikulturalisme. Pada
tingkat praktis, multikulturalisme juga menunjuk kemungkinan "penyesuaian
budaya" atau "dialog budaya" dalam pengalaman individual maupun
kelompok.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah
wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan
sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup
masyarakatnya. Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri
sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme
membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep
untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam
kehidupan bermasyarakat (Suparlan_html: www.scripps.ohiou.edu).
Suatu tuntutan mutlak dari paradigma multukulturalisme adalah terbangunnya
dialog antara unsur yang berbeda. Perbedaan dan/atau multikulturalitas
kebangsaan padahal harus dihayati dan direnungkan secara lebih ke dalam,
sehingga, “roh” perbedaan itu dapat ditangkap dan kemudian dikelola untuk
menghasilkan perekat-perekat yang dapat menyatusaudarakan antara yang satu
dengan yang lain.
Pembahasan
Malalui film Crash nampaklah jika
masing-masing ras memiliki kecurigaan yang berbeda-beda terhadap ras lain.
Mereka menjadi orang yang tak percaya diri bahkan cenderung tertutup pada ras
lain. Tidak ada dialog yang terbentuk untuk menghapus kecurigaan tersebut.
Film crash ingin mengatakan bahwa sesungguhnya Amerika Serikat (baik warga
maupun pemerintahannya) belum siap menerima begitu banyak macam ras. Kecenderungan
yang terjadi, Amerika Serikat lebih mementingkan, bahkan mendominasikan, ras
kulit putih saja. Padahal, Amerika Serikat tidak dihuni dominan oleh ras kulit
putih saja. Jumlah ras yang masuk ke Amerika Serikat menjadi tidak terhitung
jumlahnya dan mereka masing-masing memiliki karakter yang berbeda-beda, bahkan
sering kali karakter ini saling bertabrakan dengan ras lain. Negara tidak siap
untuk mengatasi benturan-benturan karakter ras.
Ditambah lagi sikap kulit putih sering
kali mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang seakan-akan telah mengakomodir
kepentingan bersama namun hasilnya tetap saja menjatuhkan ras lain. Contohnya
baru Barack Obama yang menjadi presiden bukan dari kulit putih. Lebih memalukan
lagi ketika John Mc Cain menyerang Obama dalam sebuah kampanye mengenai ras
Obama yang kulit hitam. Keadaan yang timpang terhadap ras lain inilah yang
semakin memperdalam jurang sentimen, diskriminasi, dan stereotype.
Keadaan ini akan mereda jika tiap-tiap ras mampu berdialog dan membuka diri
terhadap ras lain, tidak sekedar bersama dalam ruang publik tapi juga mengenal
karakter terdalam masing-masing ras. Hal ini tidak mudah karena pendidikan
multikultural memerlukan waktu yang panjang.
Sesuatu yang tak mungkin akan menjadi
mungkin jika setiap pihak bekerja sama. Pemerintah membuat undang-undang dalam
kerangka multikultural dan memberikan perlindungan terhadap hak minoritas.
Masyarakat belajar untuk semakin menghargai perbedaan.
Kesimpulan
Film Crash memberikan gambaran bagaimana
tidak menyenangkannya hidup dalam kotak-kotak ras. Setiap orang hidup dalam
ketakutan untuk berbuat lebih baik. Semua hal saling bertubrukan. Semua ini
akan terpecahkan melalui paham multikulturalisme di mana setiap orang memiliki
hak sama tanpa kehilangan identitas rasialnya. Tidak ada ras minoritas maupun
mayoritas, seluruhnya adalah satu warga negara.
GOOGLE search
Custom Search