Mangokkal Holi
Mangokkal Holi berarti menggali kembali dan
memindahkan tulang belulang leluhur ke suatu tempat yang telah ditentukan oleh
pihak keluarga, biasanya dipindahkan ke sebuah tugu. Mangokkal Holi mengandung
arti yang sangat penting bagi masyarakat Batak, karena tujuan utama dari
Mangokkal Holi adalah untuk menghormati orang tua atau leluhur yang sudah
meninggal. Hal ini merupakan bukti seberapa besar bakti kita terhadap
orang tua yang telah membesarkan kita dan medidik kita agar menjadi orang yang
berhasil.
Orang tua menunjukkan aspirasi yang tinggi terhadap pendidikan anak, dan anak pun menunjukkan kebutuhan berprestasi yang sangat besar. Pedoman hidup orang Batak Toba adalah hagabeon-anak, hamoraon-kekayaan dan hasangapon-kehormatan. Nilai-nilai ini pada hakekatnya mengandung prinsip menguasai, menjadi sumber tumbuhnya power motive, karena hanya dengan menunjukkan prestasi, orang akan memiliki pengaruh.
Orang tua menunjukkan aspirasi yang tinggi terhadap pendidikan anak, dan anak pun menunjukkan kebutuhan berprestasi yang sangat besar. Pedoman hidup orang Batak Toba adalah hagabeon-anak, hamoraon-kekayaan dan hasangapon-kehormatan. Nilai-nilai ini pada hakekatnya mengandung prinsip menguasai, menjadi sumber tumbuhnya power motive, karena hanya dengan menunjukkan prestasi, orang akan memiliki pengaruh.
Kalender Jawa
Dalam menjalankan aktivitas hidupnya orang Jawa
berusaha agar perbuatannya tidak melanggar pantangan dan senantiasa sesuai
dengan nilai-nilai kebaikan. Nilai-nilai kebaikan disini didasari dan
dilatarbelakangi oleh Kosmologi (pandangan dunia) Jawa. Salah satu pilar
pemkiran filosofis Jawa ialah mengenai pentingnya memiliki sikap batin. Sikap batin ini bertujuan
agar manusia tidak terikat pada dunia karena dunia ini fana dan sementara.
Dunia adalah tempat untuk bekerja keras dan bersikap tanpa pamrih.
Orang Jawa membagi alam ini menjadi empat
lingkaran bermakna yang disetiap lingkarannya mempunyai aturan-aturanya
sendiri. Lingkaran pertama pandangan sikap kesatuan numinus antara
manusia, alam dan masyarakat adikodrati yang terwujud dalam ritus. Kedua memuat
penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinus. Ketiga merupakan
berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan kepersatuan dengan yang
numinus. Keempat adalah penentuan semua lingkaran
pengalaman oleh Yang Ilahi.
Kalender Jawa menunjukkan perputaran
hidup antara manusia dimana hidup itu diciptakan oleh Tuhan. Kedelapan tahun
membentuk kalimat ”ada-ada tumandang gawe lelakon urip bola-bali marang suwung”
(mulai melaksanakan aktifitas untuk proses kehidupan dan selalu kembali kepada
kosong). Tahun dalam bahasa Jawa itu wiji (benih), kedelapan tahun itu
menerangkan proses dari perkembangan wiji (benih) yang selalu kembali kepada
kosong yaitu lahir-mati, lahir-mati yang selalu berputar. 12 bulan menunjukkan
sangkan paraning dumadi (asalnya dari mana dan akan pergi kemana). Setiap eksistensi
dari hidup manusia baru dimualai dengan Rijal (sinar hidup yang diciptakan oleh
kekuatan gaib dari Gusti Tuhan). Perputaran hidup manusia adalah dari rijal
kembali ke rijal melalui suwung (kosong). Dari bulan pertama sampai dengan
bulan ke sembilan manusia baru tersebut berada di kandungan ibu dalam proses
untuk mengambil bayi hidup yang sempurna, siap untuk lahir; dari bulan
kesepuluh dia menjadi seorang manusia yang hidup didunia ini. Bulan kesebelas
melambungkan akhir dari pada eksistensinya didunia ini yaitu, wusana artinya
sesudahnya. Yang terakhir adalah suwung artinya kosong, hidup pergi kembali
dari mana hidup itu datang. Dengan kehendak Gusti hidup itu kembali lagi menjadi
rijal, inilah perputaran hidup karena hidup itu abadi.
Keraton Yogyakarta
Paham mistik jawa berpokok pada ajaran “manunggaling kawula gusti”
(menyatunya manusia dengan tuhan) dan “sangkan-para-ning dumadi” (asal dan
tujuan ciptaan). Dengan prinsip pertama “urip
mung mampir ngombe” (hidup hanya sementara seperti minum sebagai bekal
perjalanan).
Simbolisme kraton mencakup dua dimensi, dimensi
bentuk dan dimensi sikap hidup. Dari dimensi bentuk secara
kosmologis, kraton dibangun sebagai simbol
dan menurut bentuk mandala (kosmos) yang berfungsi
sebagai pusat orientasi (kiblat) bagi manusia dan rakyatnya. Kraton menjadi
simbol pusat dunia (pusering jagad), pusat kosmos, sedang raja adalah
personifikasi Tuhan. Dimensi sikap hidup dicerminkan dalam rangkaian struktur dari
tiap-tiap bagian bangunan kraton lebih. Tiap-tiap bentuk bangunan kraton seperti regol, bangsal, ataupun gedhong
diberikan nama-nama yang mengungkapkan simbol-simbol sesuai fungsi, harapan,
dan bentuknya.
Tatanan ruang
Kraton mirip dengan konstelasi gunung dan dataran Jambu Dwipa,
yang dipandang sebagai benua pusatnya jagad raya. Rangkaian bangunan Kraton yang mengikuti
poros Utara-Selatan yang berpadanan dua-dua dengan Kraton Hageng
sebagai pusatnya merupakan simbolisasi dan visualisasi perjalanan hidup manusia
di dunia dan akhirat untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan dengan
mengabdikan dirinya (kawula) sesuai dengan martabat ke-kesatria-annya
kepada raja (Gusti). Poros dari Selatan ke Utara, ialah dari Sitinggil
Kidul sampai ke Pelataran Kraton Hageng adalah sebagai simbol
perjalanan hidup manusia di dunia. Poros dari Utara ke Selatan, yakni dari Sitinggil
Lor menuju Pelataran Kraton Hageng menjadi simbol perjalanan pulang
ke Rahmatullah. Kraton Hageng menjadi simbol keduanya, Kraton duniawi dan
Kraton surgawi.
Kraton sebagai
Mandala berpedoman pada keempat arah mata angin dan
ditata menurut dua poros besar yang saling berpotongan di tengah-tengah sesuai
dengan pola mancapat (kiblat papat lima pancer). Kraton dalam pikiran
masyarakat Jawa, diartikan sebagai pusat dunia yang digambarkan sebagai pusat
jagad. Homologi tata letak Kraton sebagai mandala juga menempatkan kedudukan
raja sebagai pusat kosmos (the hub of universe).
Makna bangunan
kraton Yogyakarta pada masa lalu terletak pada nilai-nilai yang
tersimpan dalam simbol-simbol bangunan kraton yang menyebabkan ratu (raja) dan
kawula (rakyat) Yogyakarta dahulu mampu membangun kejayaan dan keagungan. sekarang diharapkan orang dapat memperoleh kembali makna-makna
hidup manusiawinya baik secara eksistensial maupun secara transidental.
Serat Chentini
Serat Centhini merupakan ensiklopedi
kebudayaan Jawa yang memiliki kedalaman makna. Serat ini mempunyai nama asli Suluk
Tambangraras. Centhini merupakan abdi dari Tambangraras. Memang suatu hal yang
agak aneh ketika sebuah mahakarya disebut dengan nama seorang pembantu. Namun
justru itulah yang menjadi kelebihannya, serat centhini dipandang
sebagai suatu keakraban, kedekatan menyentuh antara masyarakat yang membacanya
serta sebagai suatu upaya teraling dan makar yang dengan sengaja mengangkat
kehidupan orang kecil menjadi tokoh tersohor. Terutama membicarakan tentang perkawinan, terkandung
nilai-nilai etika berupa norma-norma moral yang mengajarkan bagimana senyatanya
perilaku atau tindakan manusia dalam hubungannya dengan perkawinan, sehingga
dapat membuahkan apa yang dicita-citakan. Masalah seksual menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal dan terbuka. Masyarakat Jawa tidak mengenal masalah seksual sebagai
wahana pelampiasan nafsu hedonistik, penikmatan terhadap hidup. Hubungan
seksual tidak hanya sekadar pemuasan nafsu lelaki maupun perempuan, tetapi juga
sebagai bentuk ungkapan perasaan cinta kasih, proses prokreasi, dan seks
sekaligus sebagai wahana ibadah. Serat centhini terutama yang
membicarakan tentang perkawinan.
Tari Sanghyang
Bali menjunjung tinggi nilai-nilai
keseimbangan dan harmonisasi mengenai hubungan masyarakat yaitu: manusia
dengan Tuhan (parahyangan), hubungan manusia dengan sesama manusia (pawongan),
dan hubungan manusia dengan alam (palemahan), yang tercermin dalam
ajaran Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan). Dimensi vertikal,
tarian merupakan media yang sangat penting dalam ritus keagamaan. Dimensi
horizontal, tarian ini mempunyai fungsi komunal dalam kehidupan masyarakat.
Artinya, tarian itu menjadi media bagi jalinan kehidupan komunitas untuk
bersama-sama menjalankan upacara keagamaan. Tari sanghyang adalah suatu
tarian sakral yang berfungsi sebagai pelengkap upacara untuk mengusir wabah
penyakit yang sedang melanda suatu desa atau daerah juga sebagai sarana
pelindung terhadap ancaman dari kekuatan magis hitam. Mengandung nilai ketakwaan (transcendental) kepada Sang Pencipta (Sanghyang
Widhi).
GOOGLE search
GOOGLE search
Custom Search