Senin, 06 April 2015

Epistemologi David Hume

A. Riwayat Hidup
David Hume dilahirkan dari keluarga borjuis yang terpandang di Edinburgh, Skotlandia pada 7 Mei 1711. Ayahnya seorang tuan tanah yang kaya, meninggal selagi Hume masih kecil (Hardiman, 2004:85). Semula ia belajar hukum, namun kemudian ia menekuni filsafat secara otodidak. Pada tahun 1734, ia bekerja sebagai juru tulis pada seorang saudagar. Pada tahun 1734-1737, ia tinggal di Paris, publikasi bukunya gagal dan  hidup luntang-luntung tanpa pekerjaan dan kemudian pulang ke Inggris. Pada tahun 1744 ia ditolak seorang pofesor Universitas Edinburgh karena dianggap atheis dan terlalu liberal. Pada tahun 1763 ia diutus sebagai sekretaris Dubes Inggris di Paris. Ia tinggal di Flecthe, tempat di mana Descartes telah bersekolah. Di Paris ia bertemu dengan Jean-Jacques Rousseau. Pada tahun 1776 ia bekerja sebagi sekretaris di London dan mulai tahun 1769 ia tinggal di kampung halamannya hingga wafat pada tahun 1776.

B. Ajaran - Ajaran Pokok
Hume adalah seorang empirisme radikal. Empirisme radikal adalah mereka yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi, dan apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu dianggap bukan pengetahuan (Kattsoff, 2004:133). Filsafat Hume menggabungkan empirisme Locke dan Berkeley, yang berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh hanya dari persepsi panca indera. Kaum empirisme memakai teori korespondensi tentang kebenaran; pernyataan-pernyataan adalah benar bila berkorespondensi (sepadan) dengan dunia/kenyataan.. Hume berpendapat bahwa pengetahuan terbaik hukum ilmiah kita, bukanlah apa-apa melankan persepsi penginderaan yang meyakinkan perasaan. Karenanya, meragukan sekali bahwa kita memiliki pengetahuan; kita hanya mempunyai persepsi panca indera dan perasaan (Lavine,2003:25).

Menurut Hume, kita tidaklah memiliki pegetahuan, melainkan sekedar keyakinan bahwa yang kita rasakan itu benar. Hume membantah ada dua jenis pengetahuan. Pemikiran bahwa ada jenis pengetahuan tingkat atas yang bisa dicapai filsuf dengan akalnya, pengetahuan akan alam realitasnya, pengetahuan metafisika. Gagasan ini ia katakan benar-benar keliru, hanyalah ilusi (Levine, 2003:31). Maka di sini, jelaslah bahwa Hume tidak pernah meyakini doktrin dasar, bahwa ada dua jenis pengetahuan, pengetahuan biasa dengan persepsi panca indera dan pengetahuan metafisika tingkat tinggi dengan pemikiran atau akal  seperti filsuf-filsuf yang mendahuluinya.

Dalam soal teori pengenalan Hume mengajarkan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya. Tujuan filsafat adalah menjelaskan mengapa kita percaya kepada apa yang kita kerjakan. Banyak tindakan manusia bertumpu kepada “kepercayaan” tanpa didukung oleh suatu kepastian tentang sebab yang mendasarinya. Bagi Hume, semua kepercayaan manusia adalah hasil dari penerapan berulang atas kejadian dengan asosiasi-asosiasi sederhana. Analisis Hume tentang “kepercayaan” manusia diawali dengan muatan mental atau budi kita.

Dengan kata lain, sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal yaitu:
a)      Kesan-kesan yakni pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah, yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat. Misal: melihat meja yang didapatkan adalah kesan langsung dari ciri-ciri meja itu, merasakan tangannya terbakar yang didapatkan adalah kesan-kesan langsung dari ciri rasa tangan terbakar itu.
b)      pengertian-pengertian atau idea-idea yakni  gambaran tentang pengamatan yang redup, samar-samar, yang dihasilkan dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima dari pengalaman. Idea kurang jelas, kurang hidup dibandingkan dengan kesan-kesan. Misal: rasa sakit pada tangan yang terbakar jauh lebih kuat dibandingkan dengan  kemudian jikalau rasa sakit itu direnungkan atau diingat kembali. Idea atau pengertian adalah copy dari kesan-kesan. Jadi isi kesan dan idea adalah sama. Perbedaan terletak dalam caranya ditimbulkan dalam kesadaran, yang satu secara langsung, yang lain merenungkan kembali.

Ide atau gagasan menurut Hume memiliki saling keterkaitan satu dengan yang lain karena ide atau gagasan tersebut adalah hasil olahan akal budi manusia.  Keterkaitan ini dicapai dengan menggunakan prinsip ‘Hukum Asosiasi’, yang terdiri dari tiga unsur. Ketiga unsur tersebut adalah:
1.      Prinsip kemiripan, yang berarti ide tentang suatu objek cenderung melahirkan objek yang serupa atau mirip dalam akal budi kita.
2.      Prinsip kontinuitas dalam ruang dan waktu, yaitu kecenderungan akan akal budi untuk mengingat hal lain yang punya kaitan dengan hal atau peristiwa lainnya.
3.      Prinsip sebab akibat. Ide yang satu memunculkan ide yang lain tentang sebab dan akibat dari hal atau suatu peristiwa (Wahyudi,2007:112)

Dari ketiga prinsip yang dikemukakan oleh Hume tersebut, jelaslah bahwa Hume menolak ide bawaan dari lahir. Namun, akal budi manusia mempunyai kecenderungan bawaan yang mana dapat mengolah dan menyusun ide-ide yang timbul melalui cerapan panca indera. Kecenderungan bawaan inilah yang memungkinkan manusia untuk bernalar dan mengolah ide-ide sehingga menghasilkan proposisi pengetahuan (Wahyudi,2007:112).

Melalui naluri alamiah manusia, seseorang bisa mencapai kepastian-kepastian yang memungkinkan pengetahuan manusia. Kepercayaan kita tentang realitas atas dunia eksternal secara keseluruhan tidak rasional karena tidak didukung oleh relasi ide-ide ataupun kenyataan. Walaupun kepercayaan tidak dapat dijastifikasi namun kepercayaan atas dunia eksternal adalah alami dan tidak terhindarkan. Kita percaya karena dalam beberapa kasus “sebab” menghasilkan “akibat”.


Meski dikenal sebagai seorang empirisme, Hume juga dikenal bersikap Skeptis  terhadap subjek pengamat. “aku” subjek yang mengamati dicoret oleh Hume. “Aku” sebagai pusat pengalaman, kesadaran, pemikiran dan perasaan hanyalah rangkaian kesan-kesan (impressions)  yg merupakan bahan penyusunan pengetahuan. Pikiran-pikiran itu hanya sisa-sisa pengalaman inderawi. Kesadaran manusia bukan “jiwa” melainkan hanya deretan “kesan-kesan”.

Selain menolak ide-ide bawaan atau pandangan bawaan, Hume juga menolak prinsip kausalitas (prinsip sebab-akibat), yang pada masa itu sangat popular. Dalam konsep kausalitas diandaikan bahwa kalau ada peristiwa A terjadi lalu B terjadi, disimpulkan bahwa ada hubungan A dan B. Menurutnya, segala peristiwa yang bisa kita amati memiliki hubungan tetap satu sama lain, namun hubungan tetap itu tak boleh dianggap sebagai hubungan sebab akibat. Hume berpendapat bahwa pendapat tentang hubungan niscaya itu tidak benar dan didasarkan pada sebuah kebingungan belaka. (Hardiman,2004:90).

Prinsip kausalitas menurut Hume muncul dari kesan kita atas dua hubungan antar subjek-objek. Prinsip kausalitas tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1)      Hubungan kedekatan atau kontak. Suatu sebab pasti bersentuhan dengan sesuatu yang disebabkan.
2)      Akibat pasti dengan segera mengikuti sebab atau dengan kata lain, sebab harus mendahului akibat.
3)      Keterkaitan wajib, yakni hubungan antara sebab dan akibat di mana sebab menghasilkan akibat (lavine,2003:46).

Penolakan Hume atas prinsip kausalitas ini sangat mempengaruhi bagi filsafat dan ilmu pengetahuan pada masa itu. karena ilmu pengetahuan dan filsafat didasarkan pada prinsip kausalitas, Hume kemudian menyatakan bahwa keduanya tidak pernah mencapai pengetahuan seratus persen. Apa yang dicapai hanyalah kemungkinan (probability) atau kemungkinan yang mendekati kepastian. Ajaran Hume tentang pengetahuan selanjutnya disebut skeptisisme, yakni paham yang memandang sesuatu dengan ragu-ragu, sehingga kita tidak bisa memperoleh kepastian (Tjahjadi,2004:250). Selain mengkritik kausalitas, Hume juga mengkritik metode induksi yang dirintis sejak Francis Bacon. Metode ini didasarkan pada pengamatan atas gejala khusus yang satu disusul oleh gejala khusus yang lain, lalu disimpulkan adanya kausalitas universal diantara keduanya. Menurut Hume, gejala ini pasti bersifat umum dan sesuatu hukum alam dapat disimpulkan darinya (Hardiman,2004:90). Orang-orang terlalu gegabah dalam mengambil kesimpulan dengan cara melompat dari hal-hal khusus ke hal yang umum.

Afirmasi Hume atas substansi ialah dengan cara pikiran mengamati ciri-ciri yang senantiasa ada bersama-sama imajinasi lalu membuat kesatuan artifisial atas ciri-ciri itu dan pikiran pun mendapat kesan seolah-olah substansi itu ada (Hardiman, 2004:88). Lebih lanjut lagi Hume mengatakan kesatuan ciri-ciri tersebut hanyalah fiksi belaka.


Berkaitan dengan justifikasi epistemologi, Hume hanya memenuhi dua prinsip-prinsip justifikasi, yakni evidensi-perwujudan ada bagi akal ialah dengan melakukan persepsi. Jika persepsi-persepsi tersebut disingkirkan, maka hilanglah “diri” tersebut. Skeptisisme  yang lebih ke arah skeptisisme metodik-menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran ada tetapi tidak sebagai doktrin, melainkan sebagai metoda untuk menemukan kebenaran dan kepastian. David Hume adalah seorang skeptis, hal ini tampak tatkala ia mengkritik John Locke. Hume menunjukan, jika pengetahuan muncul dari pengalaman murni dan karenanya hanya terdiri dari komparasi, kombinasi dan asosiasi dari ide, maka apa yang dapat kita ketahui ialah ide-ide kita dan hubungan antara ide-ide itu. Dan kita tidak pernah mengetahui apapun yang bersangkutan dengan ide-ide serta hubungan-hubungan itu. (Wahyudi, 2007:64)

GOOGLE search
Custom Search
Menyegerakan berbuat kebaikan

Google search

Custom Search