Selasa, 07 April 2015

Sejarah Kraton Yogyakarta


Kraton Yogyakarta bukan saja terbesar di antara keempat keraton dinasti Mataram Islam di Jawa Tengah, tetapi juga yang kharisma, kewibawaan, serta kekayaan makna budayanya tidak pernah pudar oleh zaman modern ini. Makna kehadiran bangunan keraton Yogyakarta bukan hanya terletak pada keindahan dan kekhasan  Arsitektur Jawa, Tetapi lebih dari itu adalah pada nilai-nilai kultural atau kearifan lokal yang visualisasinya nampak dalam simbol-simbol. Melalui Bangunan kraton nilai-nilai luhur yang tersaring dari berbagai rekaman sejarah dan budaya secara non-verbal divisualisasikan agar menjadi sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi setiap generasi dalam memperjuangkan martabat bangsa. (Daliman, 2001:10).

Sejarah perjuangan kraton dan masyarakat Yogyakarta yang senantiasa berpihak pada perjuangan rakyat untuk memperbaharui dan meluruskan kembali kehidupan berbangsa dan bernegara hingga kini, haruslah dipahami sebagai identifikasi dan aktualisasi kesetiaan terhadap tradisi dan ajaran-ajaran para pendahulu atau leluhur, sebagaimana divisualisasikan dalam simbol dan fungsi bangunan kraton. Studi metafisis ini dimaksudkan untuk mengungkapkan makna-makna nilai-nilai kearifan lokal agar dapat dijadikan inspirasi dan motivasi bagi tekad perjuangan bersama untuk membangun bangsa. 
Lebih dari 200 tahun yang lalu, tempat dimana Kraton Yogyakarta sekarang berada merupakan daerah rawa landai dan bertempat di hutan beringin yang dikenal dengan nama Umbul Pachetokan, yang kemudian dibangun menjadi pesanggrahan yang bernama Ayodya. Kraton Yogyakarta menghadap ke arah Utara, pada arah poros Utara-Selatan, antara gunung merapi dan laut selatan. (http://www.tasteofjogja.com/webida/inside .asp)
Sebelum mempunyao kraton, Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I) enempati Istana Ambarketawang. Pembangunan kraton dimulai pada tanggal 3 syura tahun Wawu 1681 atau 9 Oktober 1755. Pada tanggal 13 Syura tahun jimakir 1682 atau tanggal 7 oktober 1756. Disamping bangunan kraton, dibangun pula benteng berparit disekitarnya, tempat tinggal Patih, masjid agung, dan tempat-tempat lain sebagai  pelengkap pusat kerajaan Yogyakarta. (Jandra, 1990:20)
Di dalam balairung Kraton, dapat disaksikan adegan pisowanan (persidangan agung) dimana Sri Sultan duduk di singgasana dihadap para pemangku jabatan istana. Regol Donopratomo yang menghubungkan halaman Sri Manganti dengan halaman inti kraton, dijaga oleh  dua patung dwarapala yang diberi nama Cingkarabala dan Balaupata, yang melambangkan kepribadian baik manusia, yang selalu menggunakan suara hatinya agar selalu berbuat baik dan melarang perbuatan yang jahat. Di dalam halaman inti kraton, dapat dilihat tempat tinggal Sri Sultan yang biasa digunakan untuk menerima tamu kehormatan dan menyelenggarakan pesta. Di tempat ini juga terdapat keputren atau tempat tinggal putri-putri Sultan yang belum menikah. (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
Bangunan Kraton dengan arsitektur Jawa yang agung dan elegan terletak di pusat kota Yogyakarta. Bangunan ini didirikan oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I, pada tahun 1775. Beliau yang memilih tempat tersebut sebagai tempat untuk membangun bangunan tersebut, tepat di antara sungai Winongo dan sungai Code, sebuah daerah berawa yang dikeringkan. Bangunan Kraton membentang dari utara ke selatan. Halaman depan dari Kraton disebut alun-alun utara dan halaman belakang disebut alun-alun Selatan. Desain bangunan ini menunjukkan bahwa Kraton, Tugu dan Gunung Merapi berada dalam satu garis/poros yang dipercaya sebagai hal yang keramat. Pada waktu lampau Sri Sultan biasa bermeditasi di suatu tempat pada poros tersebut sebelum memimpin suatu pertemuan atau memberi perintah pada bawahannya. Setiap bagian dari bangunan mempunyai nama tersendiri. Bangsal pertemuan Kraton disebut Pagelaran. Ini adalah tempat diadakannya pertemuan resmi pegawai Kraton. Bangsal Manguntur Tangkil adalah singgasana Sultan. Bangsal ini disebut Siti Hinggil. Siti berarti tanah, Hinggil berarti tinggi. Jadi tempat ini disebut Siti Hinggil karena dibangun lebih tinggi dibanding dataran di sekitarnya. (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)
Pada waktu yang lampau tempat ini merupakan pulau kecil di tengah rawa. Gerbang depan disebut Danapratopo, gerbang ini dikawal oleh dua patung yang disebut Gupala. Salah satunya bernama Cingkorobolo dan lainnya Boloupoto. Kedua arca tersebut dimaksudkan untuk menjaga Kraton dari gangguan atau niat jahat. (YogYES.COM)
Bagian utama dari bangunan disebut Purworetno, yaitu tempat Sultan melakukan tugas-tugasnya. Selain Purworetno ada dua gedung yang digunakan untuk menyimpan barang-barang yang disebut Panti Sumbaga. Gedung ini merupakan perpustakaan pribadi Sultan sedangkan bangunan yang merupakan tempat tinggal Sri Sultan adalah Gedong Kuning. (Keraton-Yogyakarta.htm)
Yang disebut Kraton adalah tempat bersemayam ratu-ratu, berasal dari kata : ka + ratu + an = kraton. Juga disebut kadaton, yaitu ke + datu + an = kedaton, tempat datu-datu atau ratu-ratu. Bahasa Indonesianya adalah istana, jadi kraton adalah sebuah istana, tetapi istana bukanlah kraton. Kraton ialah sebuah istana yang mengandung arti keagamaan, arti filsafat dan arti kulturil (kebudayaan). (Keraton-Yogyakarta.htm)
Dan sesungguhnya kraton yogyakarta penuh dengan arti-arti tersebut diatas. Arsitektur bangunan-bangunannya, letak bangsal-bangsalnya, ukiran-ukirannya, hiasannya, sampai pada warna gedung-gedungnyapun mempunyai arti. Pohon-pohon yang ditanam di dalamnya bukan sembarangan pohon. Semua yang terdapat disini seakan-akan memberi nasehat kepada kita untuk cinta dan menyerahkan diri kita kepada Tuhan yang Maha Esa, berlaku sederhana dan tekun, berhati-hati dalam tingkah laku kita sehari-hari dan lain-lain.
Kraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1256 atau tahun Jawa 1682, diperingati dengan sebuah condrosengkolo memet di pintu gerbang Kemagangan dan di pintu Gading Mlati, berupa dua ekor naga berlilitan satu sama lainnya. Dalam bahasa jawa : "Dwi naga rasa tunggal" Artinya: Dwi=2, naga=8, rasa=6, tunggal=I, Dibaca dari arah belakang 1682. warna naga hijau, Hijau ialah symbol dari pengharapan. Disebelah luar dari pintu gerbang itu, di atas tebing tembok kanan-kiri ada hiasan juga terdiri dari dua (2) ekor naga bersiap-siap untuk mempertahankan diri. Dalam bahasa Jawa: "Dwi naga rasa wani", artinya: Dwi=2, naga=8, rasa=6, wani=1 jadi 1682. (http://www.tasteofjogja.com/web/ida/inside.asp)

GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search