Senin, 20 April 2015

Teori Nilai lebih (Filsuf Sosial)


Pandangan teori ini berawal dari pandangan John Locke dan David Ricardo.  Keduanya melihat bahwa dalam suatu barang komoditas terdapat jasa dari buruh, yang kemudian dipertukarkan dengan upah. Dalam proses produksi, keuntungan didapat karena buruh menghasilkan sesuatu yang melebihi suatu nilai untuk mempertahankan hidupnya. Di mana ada nilai lebih, maka di situlah perekonomian akan berkembang. Keuntungan yang didapat akan diputar untuk mendapat keuntungan lagi lewat proses investasi. Menurut Marx, nilai lebih ini adalah nilai kerja yang tidak dibayarkan oleh para kaum kapitalis kepada kaum pekerja. Jadi setiap waktu, setiap pekerja harus memproduksi nilai lebih bagi kaum kapitalis. Dengan demikian, kaum kapitalis juga memiliki kepentingan untuk menjadikan hari kerja selama mungkin. Karena semakin lama buruh bekerja, maka semakin banyak hasil produksi yang dihasilkan, yang artinya semakin banyak keuntungan yang didapat.
Revolusi dan Masyarakat Tanpa Kelas
Dalam proses produksi nilai lebih tersebut, efektifitas menjadi hal yang penting. Hal ini diperlukan mengingat terjadinya kompetisi antar perusahaan yang sama-sama bersaing untuk mendapatkan laba. Demi efektifitas, para buruh lambat laun akan tergusur dari pekerjaannya. Efektifitas menuntut penggantian tenaga manusia dengan tenaga mesin sehingga terjadilah gejala pengangguran. Ketika efektifitas terus-menerus memicu tingginya angka produksi, maka terjadilah ketidak seimbangan konsumsi pasar. Pasar tidak dapat menampung barang produksi, karena lemahnya tingkat konsumsi masyarakat.
Dengan demikian, Marx meramalkan dengan optimis bahwa lambat laun pasar kapitalis akan hancur, “Kapitalisme akan menggali lubang kuburnya sendiri”. Di samping itu, akan muncul kesadaran masyarakat yang nantinya akan merebut alat-alat produksi atau disebut Marx sebagai revolusi ploretariat. Datangnya revolusi inilah yang akan mengubah sekat-sekat kelas yang sudah ada.

Dengan penguasaan alat-alat produksi secara bersama-sama, maka spesialisasi kerja sudah hilang. Tidak ada lagi kelas yang menindas dan ditindas karena semua manusia adalah sama. Ketika hal ini terjadi, maka manusia akan mengalami masa kesejahteraannya. Manusia hidup tanpa eksploitasi, bebas melakukan kreatifitas dan menentukan cara hidupnya. Namun demikian ramalan Marx ini ternyata meleset. Pola ekonomi kapitalis-Liberal yang diprakarsai Adam Smith memiliki mekanisme “invisible hand” yang mengatur perkembangan ekonomi sehingga krisis yang diramalkan tidak terjadi. Marx juga keliru meramalkan bahwa revolusinya akan muncul di negara-negara industri, seperti Inggris, Jerman atau Amerika. Revolusi ploretariat justru melanda negara-negara terbelakang seperti Uni Soviet dan China. Lebih keliru lagi, ketika kemudian rezim komunis yang diimpikannya justru merenggut kreatifitas dan menjauhkan manusianya dari kesejahteraan.

BAGIKAN ARTIKEL INI
 Facebook       Twitter      Google+

GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search