Senin, 06 April 2015

Unsur-unsur Ontologis Kalender Jawa

Indonesia sebagai bangsa yang besar merupakan sebuah perpaduan dari berbagai budaya, suku, agama dan ras, perpaduan ini disatukan oleh kesamaan nasib dan tujuan yang sama. Berbagai budaya yang ada tentunya memiliki nilai-nilai serta filsafat yang luhur. Salah satu budaya yang memiliki karakteristik yang kuat akan nilai serta filsafat adalah Jawa. Hal ini, terlihat dari pelaksanaan tata adat yang syarat akan makna-makna filosofis, antara lain sesaji, pembangunan rumah, hubungan manusia dengan alam sekitar, dan masih banyak yang lainnya.
Dalam pelaksanaan adat di atas, tentu saja orang jawa tidak terlepas dari penanggalan yang sekarang sering disebut dengan kalender Jawa atau ada juga yang menyebutnya dengan istilah Pethungan/Pethangan. Petungan Jawa merupakan warisan leluhur yang hingga kini masih digunakan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat Jawa, pergantian hari, bulan, tahun, dan windu mengandung makna-makna tertentu. Dalam kitab primbon ‘’Betal Jemur Adammakna” dijelaskan bagaimana membuat ramalan, petungan, dan membaca keberuntungan nasib manusia berdasarkan perubahan musim, siklus alam, suara hati, sasmita ghaib, dan keyakinan.
Berbicara mengenai kalender Jawa, tidak bisa terlepas dari filosofi hidup orang Jawa yang akhirnya menjadi dasar konstruksi kalender Jawa tersebut.
Dalam menjalankan aktivitas hidupnya orang jawa berusaha agar perbuatannya tidak melanggar pantangan dan senantiasa sesuai dengan nilai-nilai. Nilai-nilai kebaikan disini didasari dan dilatarbelakangi oleh Kosmologi (pandangan dunia) jawa.
Dalam pandangan dunia jawa terdapat beberapa pembagian ruang. Franz Magniz Suseno 2001: 83-84) Orang Jawa membagi alam ini menjadi empat bagian atau lebih tepatnya empat lingkaran bermakna yang disetiap lingkarannya mempunyai aturan-aturanya sendiri. Lingkaran pertama pandangan sikap kesatuan numinus antara manusia, alam dan masyarakat adikodrati yang terwujud dalam ritus. Lingkaran kedua memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinus. Lingkaran ketiga merupakan berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan kepersatuan dengan yang numinus. Lingkaran keempat adalah penentuan semua lingkaran pengalaman oleh Yang Ilahi.
Salah satu pilar pemikiran filosofis Jawa ialah mengenai pentingnya memiliki sikap batin. Sikap batin menurut etika Jawa meliputi beberapa sikap (pokok) didalamnya yaitu : hawa nafsu, egoisme (pamrih), nrimo, ikhlas, jujur (temen), bersahaja (prasaja), tenggang rasa (tepa selira).  Jadi idealnya seseorang dikatakan memiliki sikap batin yang tepat jika dia dapat mengendalikan hawa nafsu, tidak egoisme (tanpa pamrih) serta dapat bersikap nrimo, ikhlas dan berlaku jujur, bersahaja dan memiliki tenggang rasa.

Artinya, sikap batin ini bertujuan agar manusia tidak terikat pada dunia karena dunia ini fana dan sementara. Dunia adalah tempat untu bekerja keras dan bersikap tanpa pamrih.
Berangkat dari pemikiran pandangan hidup orang Jawa, kita dapat melihat pola-pola filsafat tersebut dalam kalender Jawa.
Dalam lingkaran pertama, ada kesatuan numinus manusia dengan alam. Awalnya leluhur jawa mengamati pengaruh waktu terhadap perubahan alam, terdapat pola dan disusunlah konsep. Cara pengamatan bisa melalui yang kelihatan: alam sekitar, letak perbintangan maupun yang lain. Perhitungan waktu di Jawa sebenarnya sudah ada ribuan tahun SM, tetapi tidak dicatat, melainkan disampaikan secara turun temurun. Hingga huruf Jawa ditemukan sekitar 78 M, atau tahun 1 Saka, maka awal itulah perhitungan Jawa dimulai.
Dari pengamatan, di pedesaan-pedesaan yang masih menggunakan Petungan untuk menanam padi atau berkebun, mereka bisa tahu kapan siklus hama datang, kapan masa tanam bagus. Hasilnya mereka selalu bisa menghindari gagal panen akibat hama, cuaca dsb. Mereka patuh untuk tidak memaksakan target panen lebih dari sekali setahun. Di jaman modern ini kendala-kendala hama mungkin bisa diatasi dengan obat anti hama, tapi bisa berakibat rusaknya ekosistem. Tuhan menciptakan siklus ekosistem, ada hama, ada predator dan seterusnya, kalau dikelola secara alami, alam terkendali dan selaras. Sistem Penanggalan Jawa lebih lengkap dan komprehensif apabila dibandingkan dengan sistim penanggalan lainnya, lengkap dan komprehensifnya adalah suatu pembuktian bahwa ketelitian Jawa dalam mengamati kondisi dan pengaruh seluruh alam semesta terhadap planet bumi seisinya termasuk pengaruh kepada pranatan kehidupan manusia.
Pada lingkaran kedua, antara manusia dengan masyarakatnya (kehidupan politis), Pada tahun 1625 Sultan Agung yang berusaha menyebarkan Agama Islam berusaha merangkul orang Jawa yang kala itu mayoritas memeluk agama Hindu-Budha yang menggunakan Kalender Saka. Ada analisis, agar penyebaran Agama Islam itu tidak memunculkan konflik, maka lewat budayalah penyebaran itu dilakukan. Hal itu sudah dimulai oleh para wali sejak pemerintah Kasultanan Demak pada beberapa dekade sebelumnya. Pembuatan Kalender Jawa itu sekaligus juga untuk merangkul seluruh rakyat Jawa untuk menyatu di bawah kekuasaan Mataram. Dan pada gilirannya kemudian dijadikan sebuah momentum politik menggalang kekuatan untuk menyerbu Belanda dengan VOC-nya di Batavia pada tahun 1628 dan 1629.  
Beberapa penulis sejarah berpendapat Sultan Agung mengembangkan budaya pedalaman Jawa yang berciri kejawen, feodal dan berbau mistik. Hal itu berbeda dengan para raja sebelumnya yang berciri perniagaan sehingga banyak pelabuhan tumbuh subur di pesisir utara Jawa.
Pada lingkaran ketiga dan keempat, yaitu antara manusia dengan dirinya sendiri dan manusia dengan Tuhan, kita dapat menemnukan unsur-unsur yang sifatnya lebih metafisis.
Kalender Jawa menunjukkan perputaran hidup antara manusia dimana hidup itu diciptakan oleh Gusti, pencipta Jagat Raya, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Terdapat delapan nama dari tahun Jawa, misalnya tahun internasional 1999 sama dengan tahun Jawa, Ehe 1932 yang dimulai sejak bulan Sura, bulan pertama.
Nama-nama tahun tersebut adalah sebagai berikut :
1. Purwana - Alip, artinya ada-ada (mulai berniat)
2. Karyana - Ehe, artinya tumandang (melakukan)
3. Anama - Jemawal, artinya gawe (pekerjaan)
4. Lalana - Je, artinya lelakon (proses, nasib)
5. Ngawana - Dal, artinya urip (hidup)
6. Pawaka - Be, artinya bola-bali (selalu kembali)
7. Wasana - Wawu, artinya marang (kearah)
8. Swasana - Jimakir, artinya suwung (kosong)

Kedelapan tahun itu membentuk kalimat ”ada-ada tumandang gawe lelakon urip bola-bali marang suwung” (mulai melaksanakan aktifitas untuk proses kehidupan dan selalu kembali kepada kosong). Tahun dalam bahasa Jawa itu wiji (benih), kedelapan tahun itu menerangkan proses dari perkembangan wiji (benih) yang selalu kembali kepada kosong yaitu lahir-mati, lahir-mati yang selalu berputar.

Satu tahun terdiri dari 12 bulan yang meninjukkan sangkar paraning dumadi (asalnya dari mana dan akan pergi kemana), disini ada 12 proses yaitu :
1. Warana (Sura) artinya rijal.
2. Wadana (Sapar) artinya wiwit.
3. Wijangga (Mulud) artinya kanda.
4. Wiyana (Bakda Mulud) artinya ambuka.
5. Widada (Jumadi Awal) artinya wiwara.
6. Widarpa (Jumadi Akhir) artinya rahsa.
7. Wilapa (Rejeb) artiya purwa.
8. Wahana (Ruwah) artinya dumadi.
9. Wanana (Pasa) artinya madya.
10. Wurana (Sawal) artinya wujud.
11. Wujana (Sela) artinya wusana.
12. Wujala (Besar) artinya kosong.

Setiap eksistensi dari hidup manusia baru dimulai dengan Rijal (sinar hidup yang diciptakan oleh kekuatan gaib dari Gusti Tuhan). Perputaran hidup manusia adalah dari rijal kembali ke rijal melalui suwung (kosong). Dari bulan pertama sampai dengan bulan ke sembilan manusia baru tersebut berada di kandungan ibu dalam proses untuk mengambil bayi hidup yang sempurna, siap untuk lahir; dari bulan kesepuluh dia menjadi seorang manusia yang hidup didunia ini. Bulan kesebelas melambungkan akhir dari pada eksistensinya didunia ini yaitu, wusana artinya sesudahnya. Yang terakhir adalah suwung artinya kosong, hidup pergi kembali dari mana hidup itu datang. Dengan kehendak Gusti hidup itu kembali lagi menjadi rijal, inilah perputaran hidup karena hidup itu abadi.
Ada kalanya orang tua bijak memberikan nasihat sebaiknya setipa orang itu tahu inti dari sangkan paraning dumadi atau purwa, madya, wusana. Sehingga orang akan selalu bertingkah laku yang baik dan benar selama diberi kesempatan untuk hidup didunia ini.
Tanggal
1. Tanggal pertama tiap bulan Jawa, bulan kelihatan sangat kecil-hanya seperti garis, ini dimaknakan dengan seorang bayi yang baru lahir, yang lama-kelamaan menjadi lebih besar dan lebih terang.
2. Tanggal 14 bulan Jawa dinamakan purnama sidhi, bulan penuh melambangkan dewasa yang telah bersuami istri.
3. Tanggal 15 bulan Jawa dinamakan purnama, bulan masih penuh tapi sudah ada tanda ukuran dan cahayanya sedikit berkurang.
4. Tanggal 20 bulan Jawa dinamakan panglong, orang sudah mulai kehilangan daya ingatannya.
5. Tanggal 25 bulan Jawa dinamakan sumurup, orang sudah mulai diurus hidupnya oleh orang lain kembali seperti bayi layaknya.
6. Tanggal 26 bulan Jawa dinamakan manjing, dimana hidup manusia kembali ketempat asalnya menjadi rijal lagi.
Sisa hari sebanyak empat atau lima hari melambangkan saat dimana rijal akan mulai dilahirkan kembali kekehidupan dunia yang baru.


Proses perputaran hidup ini dinamakan cakromanggilingan (cakra = senjata berbentuk roda yang bergigi tajam, manggilingan = selalu berputar) atau juga disebut herucakra. Manusia yang berbudi baik selalu mengikuti jalan yang diperkenankan oleh Yang Kuasa orang tersebut akan dituntun mengetahui sangkan paraning dumadi (datang ke dunia berawal suci hidup didunia berhati dan berperilaku suci dan kembali dalam keadaan suci lagi). 

GOOGLE search
Custom Search
Menyegerakan berbuat kebaikan

Google search

Custom Search