Senin, 06 April 2015

Konsep Manusia Menurut Ibnu Miskawaih

  1. Konsep Manusia Menurut Ibnu Miskawaih
Menurut Ibn Miskawaih penciptaan yang tertinggi adalah akal sedangkan yang terendah adalah materi. Akal dan jiwa merupakan sebab adanya alam materi (bumi), sedangkan bumi merupakan sebab adanya tubuh manusia. Pada diri manusia terdapat jiwa berfikir yang hakikatnya adalah akal yang berasal dari pancaran Tuhan. Dalam diri manusia terdapat tiga daya jiwa, yaitu daya bernafsu (al-Nafs al-Bahimiyyah), daya berani (al-Nafs al-Sabu’iyyah), dan daya berfikir (al-Nafs al-Natiqah). Daya bernafsu dan berani berasal dari unsur materi, sedangkan daya berfikir berasal dari ruh Tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran. (http://abiisyarfaq.multiply.com/journal/item/4).
Berkaitan dengan masalah akhlaq Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa kebaikan bagi makhluk hidup adalah usahanya untuk mencapai sesuatu yang menjadi tujuan. Setiap yang ada itu dapat berubah menjadi baik, apabila ia memiliki kesanggupan yang memadai utnuk mencapai tujuan yang akan dicapai, namun setiap orang terdapat perbedaan yang prinsip sesuai dengan minat dan bakatnya, sehingga seseorang dapat menjadi baik dan selalu memperoleh keuntungan, jika amal perbuatannya dilandasi dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.
Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan filsafat sampai kepada definisinya, tetapi hanya membedakan filsafat dalam dua bagian yaitu teoritis dan praktis. Teoritis adalah keutamaan manusia dalam memenuhi bakatnya agar dapat mengenali segala sesuatu, disebut al-quwwah al-alimah, sehingga dengan ilmu yang telah dicapainya dapat menghasilkan pemikiran, kepercayaan untuk mendapatkan kebenaran; sedang yang praktis adalah keutamaan manusia dalam memenuhi bakatnya agar dapat melaksanakan perilaku-perilaku moral, disebut al-quwwah al-alimah. Keutamaan moral ini diawali dari kesanggupan memelihara bakat-bakatnya dan perilaku-perilaku yang berhubungan dengan hal tersebut, sehingga semua perilaku dapat sama dengan bakat intelektualnya yang mampu memilah-milahkan yang baik dengan yang tidak baik, yang benar dengan yang tidak benar sesuai dengan proporsi yang sebenarnya. Keutamaan moral pada akhirnya mampu memelihara hubungan di antara manusia yang satu dengan yang lain sampai terwujud kehidupan bersama yang bahagia; apabila manusia dapat menguasai filsafat yang teoritis dan praktis, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. ( Widyastini 2004: 53-54).
Dan berkaitan dengan filsafat manusia, Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa kodrat manusia itu ada yang baik dan ada yang buruk. Kodrat manusia itu baik sesuai dengan anggapan kaum Stoa yang menyatakan bahwa manusia diadakan (diciptakan) dalam kondisi baik, namun selanjutnya menjadi buruk disebabkan manusia berpotensi kearah keburukan: sedang kodrat manusia itu buruk, hal ini sesuai pendapat Gelenus yang mengatakan bahwa kodrat manusia itu buruk dapat berubah menjadi baik jika dibina melalui pendidikan.
Selanjutnya Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa jiwa manusia mempunyai tingkatan yang lebih tinggi dari jiwa hewan, hal ini disebabkan adanya daya pikir yang merupakan pusat pertimbangan perilaku yang senantiasa bertujuan kearah kebaikan. Jiwa manusia memiliki tiga tingkatan, adalah :
a.    An Nafs al-bahimiyah adalah jiwa hewan yang buruk; terdiri dari sifat-sifat tidak bertanggung jawab, sombong, pembohong, dan sifat-sifat buruk lain.
b.    An Nafs as-sabu’iyah adalah jiwa hewan buas yang dimiliki oleh manusia, kadang-kadang manusia itu dikendalikan oleh jiwa hewan yang buruk, namun juga dikendalikan oleh jiwa intelektual yang baik.
c.    An Nafs an-nathiqah adalah jiwa intelektual yang baik; terdiri dari sifat-sifat keadilan, harga diri, pemberani, pengasih dan suka kepada kebenaran. Manusia dapat menjadi manusia sesungguhnya, apabila mempunyai jiwa intelektual, maka manusia akan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi bahkan setaraf dengan malaikat, dan dengan jiwa intelektualnya manusia berbeda dengan hewan. Manusia termulia adalah paling tinggi jiwa intelektualnya, maka hidup dan kehidupannya senantiasa menuruti jiwa intelektualnya, sedang manusia yang dikendalikan oleh jiwa hewan yang buruk dan buas, maka kedudukannya akan menurun dari sifat-sifat kemanusiaannya. Oleh karena itu manusia harus dapat memilih, menentukan pribadinya dalam tingkatan mana yang sesuai dengan dirinya.
Manusia dapat merubah perilakunya dengan melaui berbagai macam pendidikan, baik dengan petuah-petuah, adat kebiasaan, akhlaq yang seluruhnya dapat menjadikan manusia memanfaatkan akal pikirannya untuk menentukan yang seharusnya dilaksanakan dan ditinggalkan, maka pendidikan lingkungan mempunyai makna yang demikian penting, terutama dalam kaitannya dengan pembinaan akhlaq.

Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa kebaikan (al khair) dibedakan dengan kebahagiaan (as-sa’adah). Al Khair merupakan sesuatu yang akan dituju oleh setiap orang dan berlaku bagi semua umat manusia dalam dalam peranannya selaku manusia, sedang as-sa’adah merupakan kebaikan yang berhubungan dengan individu, maka al-khair memilki ciri-ciri yang tetap, sedang as-sa’adah bermacam-macam tergantung pada seseorang yang berupaya mendapatkannya, sehingga memiliki ciri-ciri yang tidak tetap. Tujuan paling tinggi yang akan dicapai oleh seluruh umat manusia adalah kebaikan mutlak yang berupa kebahagiaan yang paling tinggi. Manusia dalam berusaha memperoleh kebahagiaan senantiasa membutuhkan syariat-syariat yang berasal dari Allah agar dapat meraih kebijaksanaan sampai pada akhir hidupnya. Ibnu Miskawaih memberi penegasan bahwa hakikat manusia adalah makhluk sosial; maka sebaiknya tidak cukup hanya dengan mengutamakan akhlaq bagi dirinya sendiri, namun juga harus berperan serta memelihara akhlaq bagi masyarakat. ( Widyastini, 2004: 55-56).       

GOOGLE search
Custom Search
Menyegerakan berbuat kebaikan

Google search

Custom Search