Kamis, 27 November 2008

WORKSHOP BEDAH FILSAFAT NUSANTARA

NOTULEN
Acara : Workshop “Bedah Filsafat Nusantara”
Menggali Tradisi Merumuskan Metodologi
Hari/ Tanggal : Jumat / 28 November 2008Tempat
Waktu : 09.00- 15.00 WIB
Hadir : 45 Peserta
Acara : 1. Pembukaan
2. Sambutan
3. Permasalahan/Pembahasan
4. Pertanyaan dan Tanggapan
5. Penutup
Jalan Acara :
1. Pembukaan Ketua Panitia oleh Sdr. Khudzolli
2. Sambutan dari Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin (dekan Fakultas Filsafat UGM)
Alasan mengkaji Filsafat nusantara:
a) Suatu kondisi objektif bahwa studi filsafat nusantara belum disentuh oleh para cendikia Indonesia.
b) Perkembangan kelembagaan.
Saat ini banyak peneliti dari negara lain mempelajari objek material budaya Indonesia akan tetapi pribadi masyarakat Indonesia belum dipahami oleh para peneliti dari negara lain tersebut sehingga studi yang dilakukan dangkal dan kering karena belum menyentuh pada nilai-nilai luhur dari bangsa Indonesia
c) Kepentingan Praktis.
Studi kefilsafatan ini diharapkan dikemas semenarik mungkin sehingga dapat dijual dan dapat menjadi orientasi bagi fakultas Filsafat UGM
Tujuan workshop: terbukanya bank data/ bank proposal yang dapat dikumpulkan menjadi referensi bagi studi filsafat nusantara selanjutnya.
3. Permasalahan/Pembahasan
a. Pembahasan pada Workshop “Bedah Filsafat Nusantara” diawali oleh Keynote Speaker, Dr. M. Mukhtasar Syamsuddin. Dr. Mukhtasar menegaskan bahwa pemikiran Filsafat Nusantara perlu direkontrtuksi karena menurut beliau saat ini ada asumsi-asumsi yang harus dibangun kembali.
Orang mungkin bertanya mengapa menggunakan term “Filsafat Nusantara”, bukan “Filsafat Indonesia”. Hat ini karena term “Nusantara” melambangkan kekhasan yang membedakan budaya Indonesia dengan budaya bangsa lain bahkan dengan bangsa serumpun seperti Malaysia sekalipun. Misalnya: Reog ponorogo yang beberapa waktu lalu menjadi bahan pembicaraan karena di-klaim sebagai budaya Malaysia. Sebenarnya kontroversi ini dapat diselesaikan dengan menganalisis runtut sejarah asal-mula budaya reog tersebut dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya. Malaysia bisa saja memainkan tarian reog tersebut sefasih dengan yang dilakukan oleh orang Ponorogo akan tetapi tidak mampu menunjukan nilai-nilai yang melatarbelakangi budaya reog ini diciptakan karena budaya ini khas Indonesia dimana budaya tersebut diciptakan sesuai nilai-nilai yang diyakini masyarakat setempat yakni masyarakat Ponorogo yang tidak terdapat di daerah lain.
Contoh lainnya adalah karya sultan Hamengkubuwono tentang Filsafat Indonesia akan tetapi isinya tentang Filsafat Nusantara khususnya budaya Jawa yang khas.
Inti dari filsafat Nusantara yakni, objek formalnya Nusantara; sedangkan objek materialnya Budaya Indonesia Filsafat Indonesia identik dengan filsafat pancasila (formalitasnya), pancasila adalah bagian dari kenusantaraan yang secara ilmiah harus dibedakan. Dalam mencetuskan pikiran (mind/ filsafat) ataupun badaya Indonesia, keduanya bersatu (diaektika ) menjadi civillization, Nusantara. Tamalaka lebih mengkaji “mind” daripada budayanya. Civillization lebih kuat untuk disebut civillization Nusantara dari pada civillization Indonesia.
Budaya Islam dengan budaya Hindu saling melengkapi dalam sejarah terbentuknya budaya nusantara. Budaya Nusantara adalah hasil sinkretisme antara nilai-nilai keagamaan dengan budaya Indonesia. Oleh karenanya tidak mudah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Untuk memperdebatkan landasan Sila Pertama dicetuskan adalah melalui sejarah sinkretisme. Nusantara tidak tunggal dari dimensi budaya dan juga dari dimensi religius.
Local jenius merupakan penanda yang menunjukan identitas yang berbeda dengan suku bangsa yg lain. Dengan perspektif local jenius dapat diketahui bahwa secara epistemologi Nusantara tidak sampai wilayah Malaysia, Singapura, Thailand dan sebagainya. Meskipun secara politik dalam sejarah sama tapi yang membedakan Indonesia dengan negara lain adalah local jenius. Misalnya: Ramayana Indonesia berbeda dengan Ramayana India. Meskipun objek materialnya sama-sama tari ramayana tapi objek formalnya berbeda. Objek formal yakni local jenius “aku adalah aku” dalam kaitannya dengan Epistemologi, Metafisika dan Axiologinya yang membedakan antara kita dengan yang lain.
Dengan demikian Sistematika Pemikiran Filsafat Nusantara terdiri dari 3 pilar jati diri yaitu:
1) Pilar Ontologis.
Pilar Ontologis disini adalah manusia Indonesia yang terdiri atas jiwa dan raga ke-Indonesiaan. Penduduk Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang diakui secara formal, mempunyai tradisi yang khas Indonesia, mempunyai karakter-karakter manusia Indonesia yang tercermin dalam objek materialnya. Kerangka Ontologis ini tercermin pula dari karya-karya sastra Indonesia. Misalnya: Karya Hamzah, tasawuf Aceh berbeda dengan tasawuf Arab.
2) Pilar Axiologis.
Pilar Axiologis adalah nilai-nilai luhur Indonesia yang ramah-tamah gotong-royong, nilai estetik Indonesia yang khas yang membedakan dengan bangsa lain. Misalnya: Reog, nilai-nilai yang melatarbelakanginya berasal dari nilai bangsa Indonesia yang berbeda dengan Malaysia.
3) Pilar Epistemologis
Pilar Epistemologis mencakup pengetahuan dan sejarah asal-muasal terbentuknya budaya tersebut.
Ketika pilar tersebut dapat digali dengan metodologi hermeutika yang diolah sacara filosofis.
b. Pembahasan atas permasalahan dalam membedah Filsafat Nusantara yang telah disampaikan oleh Dr. Mukhtasar dilanjutkan pemaparan metode yang bisa digunakan yang disampaikan oleh narasumber pertama yakni Dr. Joko Siswanto dengan judul “Mungkinkah Hermeuika Menjadi Metode Untuk Membedah Filsafat Nusantara”
Untuk menggali Filsafat Nusantara dapat secara antroposentris, lokosentris, dramakosentris, tradisi Indonesia dan lain sebagainya. Misalnya: wayang, tradisi minang dan lain sebagainya.
Dr. Joko Siswanto menjelaskan bahwa ada persoalan mendasar dalam membedah Filsafat Nusantara terkait pendekatan yang digunakan. Menurut beliau, ada dua pendekatan yang mungkin dipakai. Pertama, Filsafat nusantara sebagai “ Genetivus Objektivus” (Philosophy of Nusantara).Pendekatan ini merupakan tradisi metode barat. Kedua, Filsafat Nusantara sebagai “ Genetivus Subjektivus” (Nusantara Philosophy). Pancasila philosophy, semestinya menggunakan metode ini.


Dr. Joko Siswanto selanjutnya menjelaskan tentang asumsi-asumsi hermeneutika. Asumsi dasar teori hermeneutika adalah bahwa pembaca teks tidak memiliki akses langsung kepada penulis atau pengarang teks karena perbedaan ruang, waktu, dan tradisi. Asumsi Kedua, Hermeneutika sebagai “fenomena khas manusia”. Asumsi Ketiga, Hermeneutika adalah watak dasar manusia. Penjelasan lebih lengkap atas asumsi-asumsi ini telah terlampir pada paper beliau.
Beliau juga menjelaskan dimensi-dimensi hermeneutika yakni: to say, to explain dan to translate yang penjelasannya juga telah terlampir.
Dari penjelasan awal ini dapat disimpulkan bahwa Hermeneutika menunjuk pada tiga hal pokok:
- Pengucapan lisan (an oral ricitation)
- Penjelasan yang masuk akal (a reasonable explanation)
- Terjemahan dari bahasa lain (a translation from another language)
Selanjutnya, Dr. Joko Siswanto menjelaskan enam perkembangan Hermeneutika sebagai metode. Pertama, Hermeneutika sebagai teori mengenai tafsir Al-kitab. Kedua, hermeneutika sebagai metode filologi. Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu tentang pemahaman linguistik (linguistic understanding). Keempat, Hermeneutika sebagai dasar metodologi bagi Geisteswissenschaften (ilmu-ilmu kerohanian). Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi tentang Dasein. Keenam, Hermeneutika sebagai sistem interpretasi fenomenologi.
Pada pembahasan oleh narasumber pertama ini juga dijelaskan dua model dari bentuk-bentuk Hermeneutika kontemporer. Pertama, bentuk-bentuk hermeneutika kontemporer model Bleigher yakni: Hermeneutika sebagai teori, Hermeneutika sebagai Filsafat, dan Hermeneutika sebagai kritik. Kedua, bentuk-bentuk Hermeneutika kontemporer model Howard yakni: Hermeneutika Analisis, Hermeneutika Psikososial, dan Hermeneutika Ontologis.
Dr. Joko siswanto juga menjelaskan kaidah-kaidah Hermeneutika serta langkah-langkah dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode Hermeneutika ini. Langkah-langkah tersebut yakni:
a). Merumuskan dan mensistemasikan data empiris.
b). Menemukan filsafat yang tersembunyi dibalik data empiris dengan tetap memperhatikan data baku.
c). Membuat kategorisasi atas filsafat yang telah ditemukan sekaligus dibuat perbandingan dengan aliran konsep filsafat yang mapan.
d). Merumuskan kesimpulan dan memberikan rekomendasi konkrit.
c. Sesi Pertama ini dilanjutkan oleh narasumber kedua yakni Dr. Argo Twikromo dengan topik bahasan “Kerja Lapangan dalam Antropologi”
“Setiap kebudayaan mempunyai seperangkat aturannya sendiri bagi manipulasi politik dan memiliki bahasa kebijaksanaan dan tindakan politinnya sendiri”. (Bailey, 1970:60)
Dr. Argo Twikromo menjelaskan tentang apakah itu Kerja Lapangan, bagaimana Melakukan Kerja Lapangan, Observasi Partisipasi, Wawancara, Beberapa Pedoman Untuk Wawancara Etnografi, Suatu Kejadian Problematis ketika melakukan kerja lapangan, Teknik Pengumpulan Data Tambahan, yang harus dilakukan Setelah Pengumpulan Data, “Perasaan sakit” dari Kerja Lapangan, Karakteristik Culture Shock, Tanda-tanda Culture Shock, Perjalanan Ideal seorang Antropolog, Etika dan Antropologi, Wawancara etnografi,dan Memilih suatu Teknik Pengumpulan Data. Penjelasan tentang hal-hal tersebut telah secara jelas dipaparkan dalam lampiran materi dari beliau.
Dr. Argo menjelaskan bahwa manipulasi lokal secara politik sangat kuat sehingga kearifan harus diperhatikan lebih jauh. Dalam kerja lapangan, kita harus mengeksplorasi data dari tangan prtama,. Sebagai peneliti harus hati-hati, waspada dan kritis dari kondisi lingingkungan setempat. Kerja lapangan menurut beliau, paling singkat idealnya satu tahun. Ketika kembali ke lingkungan kita semula setelah meneliti, perlu penyesuaian kembali karena biasabya merasa aada sesuatu yang hilang.
4. Pertanyaan dan Tanggapan
* Dr. Joko Siswanto
a) Ibu Iva:
1) Menjadi reengkarnasi?, kalo menjadi proyek bagaimana?
2) Interpretasi sehingga bersifat Subjektif, berkaitan dengan waktu atau sejarah, apakah kita berarti menginterpretasikan kesimpulan semua orang?
3) Apakah perlu kita merumuskan metodologi yang tepat untuk menggali Filsafat Nusantara atau kita melihat objek material, kita teliti, kita gali baru menarik kesimpulan tentang metode yang telah kita pakai?
Jawaban dari Dr. Joko Siswanto: hermeutika tidak hanya teks tetapi juga gagasan orang, pemahaman orang berbeda tetapi sah untuk diinterepretasikan. Banyak metode dalam filsafat, ketika pemilihan metode berarti kita sudah memiliki asumsi ontologis. Misalnya memilih metode hermeneutika berarti orang tersebut sudah memiliki asumsi ontologis bahwa realitas adalah “teks”, fenomenologi (realitas =fenomen, show up pada diri sendiri). Metode yang kita pakai mengikuti objek yang kita teliti. Jadi harus disesuaikan.
b). Bpk. Sunjaya: Bagaimana mengamati konteks dengan berbagai tafsir?
Jawaban dari Dr. Joko Siswanto: Peneliti berhak memilih, supaya tidak subjektif maka harus konstektual.
c). Bpk. Febri :
1) Budaya lesan lebih dominan, teks dan konteks berbeda interpretasi, langkah apa yang harus dilakukan agar orang luar tidak lepas dalam menginterpretasikan?
2) filsafat yang lahir dari local wisdom menjadi way of life, tetapi ketika berkaitan dengan way of thinking susah mengkajinya?
3)kajian selama ini lebih di klaim sosiologis daripada filsafati?
Jawaban dari Dr. Joko Siswanto:
1) Teori yang kita bangun dalam penelitian Minang Kabau masih memakai teori Barat. Fil Nusantara lebih banyak dari segi aksiologi tetapi sulit dalam dipahami dari segi ontologi dan epistemologi Filsafat Nusantara atau filsafat Pancasila. Misalnya: Noto Nagoro dalam menerangkan dimensi ontologis Pancasila masih memakai dimensi Aristotelian.
2) Sosiologis dan antropoligis menjadi data lalu menggali makna dibalik data itu agar jelas bahwa ini merupakan penelitian filsafat. Ketika membedah data sosiologi dan antropologi berkaitan simbol akan muncul reduksi. Sebaik mungkin jangan terlalu reduktif. Abstraksi adalah metode Aristotelian.
d). Tanggapan dari Ibu fadillah: Dalam krya tulis karya ilmiah Filsafat UIN atau Filsafat agama maka aspek teologis muncul karena Filsafat Nusantara adalah sintesis antara Filsafat religi dengan budaya. bagamana bisa di hilangkan?
Jawaban dari Dr. Joko Siswanto: setuju
e). Tanggapan dari Ibu Iva: Filsafat adalah jiwa maka ketika kita berbicara Antropologi atau sosiologi maka supaya nampak filsafatinya adalah dengan cara membelokan kearah filsafat.
f). Bagaimana kita menganalisis metode yang akan kita pakai?
Jawaban dari Dr. Joko Siswanto: Metode mengikuti objek materialnya, jadi kalau objek materialnya reasoneble untuk dikaji dengan metode herumatika (Objek material dalam bentuk “teks”) maka layak menggunakan metode ini dalam penelitian kita. Yang perlu digarisbawahi adalah tidak semua objek material Filsafat Nusantara dapat dikaji dengsn menggunakan metode Hermeneuteika
* Dr. Argo Twikromo
a)Bagaimana jika ternyata Data yang ditampilkan secara semu dari informan, tidak 100% sesuai dengan kenyataan, peneliti hanya menjelaskan hal-hal tertentu. Banyak manipulasi yang dilakunan oleh informan dan peneliti itu sendiri.
Jawaban dari Dr. Argo Twikromo: Data semu dari Informan itu adalah hal biasa, yang terpenting untuk meminimalisir hal itu adalah dengan makukan pendekatan, cek dan ricek sehingga kita bisa mendapat kejujuran dari informan. Supaya kita akrab dan menemukan data sebenarnya memerlukan dana dan waktu. Kalau sudah akrab bisa kita gunakan untuk menggali data.
Memang peneliti juga memanipulasi. Tetapi tujuaannya adalah kita harus mendapatkan data sesuai dengan kenyataan. Kita melihat realita disana, kita sebagai peneliti harus jujur, bebas dari kategori strata sosial. Kita harus pandai-pandai dalam memilah hal tersebut. Waktu penelitian yang cukup juga akan menentukan kualitas.
b) Bagaiman menghindari bias data dari informan? selain masalah waktu bagaimana cara kita bisa menghindari bias-bias elit dan manipulasi data?
Jawaban dari Dr. Argo Twikromo: Pendekatan terhadap elit, pendekatan politik, siapa kawan dan lawannya harus kita pahami lalu kita meng-counter atau mericek terhadap data awal kemudian memberi hipotesa awal hingga kita menemukan hipotesa yang sesungguhnya.
Sebagai contoh:
v Informan berkata: “Lelaki Sumba harus mempunyai banyak hewan ketika hendak kawin”.
Tetapi data tersebut tidak 100 % karena ternyata tidak harus mempunyai hewan asalkan anaknya kelak menjadi hak istri.
v informan berkata: “Puha harus 150 ekor”
Padahal sebenarnya yang dibayar Cuma 60 ekor.
Oleh karena bias-bias tersebut maka kita harus menggali secara terus menerus dan tidak membatasi informan hanya pada kaum elit tetapi juga kaum pinggiran harus kita garap dilapangan.
Mana yg murni dan mana yang manipulasi tidak ada yang pasti. Misalnya: “Asli Jawa” yg mana? tradisi-tradisi lesan harus dikatakan jujur dan jelas. Kita tidak pernah tahu manipulasi atau bukan, maka jangan hanya menjadikan satu orang sebagai acuan untuk dijadikan informan. Jangan sampai penelitian kita dimanfaatkan untuk keuntungan mereka pribadi. Misal: oleh Bupati dari daerah yang kita teliti.
Asli atau tidak tidak penting tetapi yang lebih penting adalah apakah tradisi tersebut masih men-suport kondisi kekinian atau tidak, mencukupi kebutuhan hidup masyarakat tidak? Kebudayaan bersifat dinamis. Budaya Jogja sekarang ada Mall, Ada yang pake blangkon, ada yang tidak.
c) Mbak sherly: Saya melakukan Penelitian bersih desa. Akan tetapi saya mempunyai kendala karena berbeda bahasa, kesulitan yang lain adalah ketika Informan hanya memberiakn informasi yang baik-baik saja. Penelitian saya sempat terhenti karena latar belakang bersih desa itu tidak diketahui oleh sesepuh/ penduduk setempat?. Misalnya: mengapa semua dilakukan laki-laki? mereka hanya menjawab “tidak tahu”. Mereka tidak mengkritisi apa yg mereka terima selama ini.


Jawaban dari Dr. Argo Twikromo: Yang terpenting, bagamana kita mengakrabinya, mendekatkan lagi hubungan, persaudaraan kita bagun lagi, pertanyaan kita tanyakan pada kita dulu, dalam proses budaya itu ternyata diwariskan secara tidak sempurna sehingga alasan-alasan itu tidak perlu di ketahui. Yang kedua, bagaimana kita menginterpretasikan kasus itu dengan kondisi kemasarakatan yang lain. misalnya: bagamana sudut pandang gender di lingkungan tersebut, dari akar sejarah hal tersebut dilakukan.
d) Sejarah dan latar belakang tidak diungkap. Maka kita harus menghubungkan antara kebiasaan setempat. Indonesia bagian Timur tidak banyak yang di teliti. Potensi konfik sangat tinggi karena suku yang berbeda. Dalam penelitian sulit merumuskan penelitian yang khas, letak georafis juga menjadi persoalan. Bagaimana strategi menerapkan metode yang pas sesuai persoalan yang ada. Dalam wacana prural ternyata dipaksakan antara budaya satu dengan yang lain yang nyata berbeda.
jawab: Orang-orang sering mengabaikan wilayah tertentu karena menganggap tidak punya SDA, konflik-konflik kemungkinan jarang terjadi sehingga relasi-relasi antar suku tidak banyak terjamah. Mungkin bisa diawali oleh penelitian yang dilakukan orang lokal yang mempunyai kesadaran karena mendapatkan pendidikan di daerah lain. misalnya: Anak Ambon kuliah di UGM.
Kita harus mengawali penelitian yang belum dilakukan oleh orang lain. Strateginya adalah dengan pemahaman melalui riset agar banyak di baca orang. misalnya: daerah Pare, JATIM banyak dibicarakan karena banyak konflik. Maka kita berstrategi me-manage relasi-relasi itu. Biasanya kalau ada konflik baru direspon atau diteliti.
e) Observasi partisipasi mengandung kelemahan jadi apakah dapat dipertahankan untuk mendapatkan data objektif, misalnya: peneliti meneliti hakekat manusia. Adanya penelitian pernikahan rakyat dengan kepala adat?
Jawaban dari Dr. Argo Twikromo: Subjektivitas bukan masalah, karena peneliti adalah ukuran. Bisa mengungkapkan dan menggambarkan masyarakat di daerah tertentu melalui kasus yang kita angkat. Kita ikut bermain didalamnya pun bisa. Tantangan kita adalah kejujuran kita. yang paling mengerti kejujuran terhadap karya kita adalah kita sendiri.
obyektivitas terjamin. Riset pemerintah gagal dengna legitimasi kualitatif tetapi ukurannya adalah kejujuran apapun itu, kualitatif maupun kuantitatif. Kejujuran kita mengarah pada obektivitas.
f) Anggun: Reog budaya Malaysia, Rendang Padang juga? lokal wisdom, pada daerah tertentu kita gali untuk diaplikasikan tetapi yang kita temui adalah kebobrokan.
Jawaban dari Dr. Argo Twikromo: minimal kita itu. Kan jarang diajarkan untuk mencintai kebudayaan kita. Praktek susah karena tidak pernah kita gunakan. Yang menjadi center adalah kebudayaan kita. Dari kecil anak di Belanda sudah dikenalkan museum tetapi di negara kita tidak demikian. Sentence membentuk kebudayaan Indonesia kedepan yang local ini atau mau kebudayaan baru?
Masing-masing kebudayaan memiliki local wisdom tetapi tidak bisa dipungkiri pula adanya local manipulaton. Yang harus kita cari adalah apa dibalik local wisdom itu masih relevan atau tidak? atau bisa jadi data pendidikan. Jangan dipaksakan kalo tidak layak pakai apalagi kita pakai untuk politik.
Kebudayaan Nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Dari yang berbeda kita bisa analisa agar memberikan warna, ada kaitannya antara kebudayaan satu dengan yang lain melalui sejarah atau lingkungan, satu pulau misalnya. Tetapi kalau di integralkan maka akan repot karena puncak-puncaknya hanya dipilih sebagian saja. Jika demikian, maka akan ada kecemburuan sosial
5. Penutup
Yogyakarta, 28 November 2008
Pemimpin Acara Notulis1
Nama... Muzdakir Muhlisin
Notulis2
Bimo Trianggoro W
________________________________________________________________________
NOTULEN
Acara : Workshop “Bedah Filsafat Nusantara”
Menggali Tradisi Merumuskan Metodologi
Hari/ Tanggal : Sabtu / 29 November 2008
Tempat : Ruang Sidang Gedung C Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta
Waktu : 09.00- 12.00 WIB
Hadir : 45 peserta
Acara : 1. Pembukaan
2. Pembahasan
3. Pemaparan abstraksi peserta
4. Pertanyaan dan tanggapan
5. Penutup
Jalan Acara :
1. Pembukaan (dibuka oleh...)
2. Pembahasan:
a. Workshop sesi ke-2 ini diawalai oleh pemaparan oleh Narasumber Dr. P. M. Laksono. Apakah Filsafat Nusantara berwujud kapitalistik atau “kantong bolong?”
Nusantara tidak sama dg Indonesia. Soekarno mengklaim menjadi penyambung lidah rakyat, rakyat bagian dr retorika, sejarah dan budi bahasanya. Sedangkan Soeharto sangat peduli dengan uang. Ia mengedepankan asas kekeluargaan, Rakyat = keluarga.
Pada persoalannya, perbedaan cara pandang dalam memahami suatu perspektif. Filsafat nusantara pernyataan kenyataan yang obyektif (seperti Sukarno) atau subyetif (seperti Soeharto)?. Hal tersebut digambarkan oleh Dr. Laksono dengn kasus ketika Soeharto dituduh anak petani yang tidak baik, maka Soeharto langsung mengumpulkan Pers. Sedangkan Sukarno ketika dituduh keturunan Belanda, ia menanggapi dengan cara yang berbeda. Dalam kasus ini menurut Dr. Laksono, Soeharto tidak memandang dimensi masa lalu dan masa depan yang penting kebutuhan saat ini terpenuhi. Sebaliknya, Sukarno sangat mementingkan masa lalu dan masa depan. Ini berarti ada sudut pandang yang berbeda dalam memahami Indonesia.
Keyakinan dasar paradigma penelitian alternatif pada tabel merujuk pada;
Aras ontologis, realitas yang ada pada realisme naif dalam positivisme dan dapat dipahami sebagai pernyataan kehidupan sehari-hari ataupun realisme kritis (post-positivist) ataupun historis (teori kritis) serta (relativisme dlm dekonstruksi).
Aras epistemologis, mengacu pada temuan-temuan yang benar dalam dualis yang dimodifikasi, temuan yang termediasi nilai, serta temuan yang sudah diciptakan.
Aras metodologi, eksperimental, menguji mentalitas yang terverifikasi hipotesis dan metode yang kwantitatif, adapun yang sudah dimodifikasi yang mellibatkan metode kualitatif, dialogis/dialektika, dalam konstruktivisme menggunakan metode hermeneutik/ dialektik.
b. Narasumber kedua pada sesi ini adalah Dr. Arkom Kuswanjono.
Tinjauan mengenai metode penelitian, Dr. Arkom Kuswanjono memaparkan materi yang berjudul “Metode Penelitian Kepustakaan Filsafat” yang sudah terlampir dalam pembahasan dalam workshop.
Membahas tentang penelitian kepustakaan yang membatasi kegiatannya hanya pada koleksi pustaka saja tanpa melakukan riset lapangan.
Peneliti berhadapan langsung dengan teks yang bukan kejadian langsung dengan saksi mata sehingga memiliki kelemahan teks tersebut tidak sesuai dengan realitas saat ini.
Dalam penelitian ini, peneliti memiliki pengaruh yang kuat, sehingga ada kemungkinan terjadinya kesalahan dalam studi literatur yang diantaranya, terlalu banyak mengadalkan sumber sekunder daripada primer. Jika dikaitkan dengan penelitian yang berkaitan dengan fakta sejarah, maka sangatlah multi-tafsir karena nilai sejarah tersebut tergantung pada sudut pandang penulisnya. Untuk meminimalisir kesalahan yang ada, perlu disusun strategi dan langkah-langkah dalam penelitian kepustakaan supaya tepat dan akurat.
3. Pemaparan abstraksi peserta
Abstraksi Bpk. Febri tentang “Epistemologi Minang Kabau”
Paradigma Filsafat Barat yang popular sebagai psiko-analisis dijadikan metode untuk local wisdom. Objek materi yang diteliti adalah budaya minang yaitu ptata-ptiti. Objek formalnya adalah epistemogi. Filsafat sebagai way of life bukan way of thinking seperti Barat. Minang merupakan etnis yang unik ditinjau dari sisi kekrabatan paranial. Terjadi degradasi nilai dan norma agama. Minang dianalogi sebagai sumur dengan sumber air jernih tetapi sekarang menjadi timbal (budaya rantau). Budaya minang lebih menonjol sebelum Islam masuk. Ketika Islam masuk terjadilah perpaduan norma adat dengan norma agama. Local wisdom dimaknai bagamana melihat alam dengan konteks syarat qouniyah. Petata-petiti adalah konsep tidak baku tetapi dinamis karena pada satu sisi bersifat universal ( berlaku sepanjang masa) dan yang partikular (ketentuan-ketentuan yang universal dapat diterjemahkan). Akan tetapi dalam bidang politik sekarang kurang digali.
Jawaban dari Dr. P. M. Laksono: Minangkabau yang mana? studi lapangan dikaitkan dengan studi epistemologi meneliti kehidupan sehari-hari? Petata-petiti itu ungkapan hidup sehari-hari, hidup sehari-harinya ranah politik. Mulailah dari sesuatu yang tidak tunggal. Jawa dan minang tidak tunggal. Peneliti yang menunggalkan dalam studi pustakanya. Membayangkan epistemogi minang hanya personal itu omong kosong. Meneliti epistomologi minang semestinya dengan pendekatan positivistik. Penelitian saudara memberikan pemikiran kritis atas kepalsuan-kepalsuan sejarah tetapi buat apa? Sekarang yang berharga adalah yang palsu. Tetapi kan digunakan untuk menutup ketelanjangan-ketelanjangan nilai. Ada problem dalam dimensi waktu/ historisitas pada penelitian saudara terkait epistemologi. Positivistik dimensi waktu flat. Penelitian saudara bukan kajian reflektif tapi kajian ideologis.
4. Pertanyaan dan tanggapan
a) Tanggapan Dr. Arqom terhadap jawaban Dr. P. M. Laksono pada abstraksi peserta: kritik metodologi filsafat secara umum belum mendapatkan bentuk yang tentu. Sejarah aspek dialektika dapat di contoh. Kalau pilihannya epistemologi maka pandangan epistemologi harus lebih kuat masalah sumber ilmu seperti apa? kepustakaan harus diperkuat baru direfleksikan. Penelitian ini semoga bisa menjadi tawaran, jawaban baru bukan hanya barat sentris seperti ini. Kritik terhadap epistemologi saat ini juga bahwa epistemologi tidak hanya diperoleh dari empiris tapi dari sumber lain.
b) Segi pluralisme, perbenturan nilai-nilai moral. misalnya: jawa dan batak. Dalam perspektif moral Nusantara mana yang dipakai?
Jawaban Dr. Arqom: jangan digabungkan/ disintesiskan tapi Filsafat Nusantara hanya sebagai wadah saja. Yang ada filsafat yang lebih khusus yaitu filsafat Batak dan sebagainya. Konflik tadi bukan ranah filsafat tapi sosial atau yang lainnya. Tidak semua dapat difilsafatkan. Dikaji dulu objeknya lebih baik diteliti dari ranah mana, peneliti mestinya mengambil jarak dari objek yang di teliti. Jadi kalo orang Jawa jangan meneliti Jawa tetapi yang lain agar lebih objektif dsb.
c) Bpk. Ari: filsafat banyak cabangnya, ilmu filsafat sebenarnya luar biasa. Filsafat itu rasional, ilmiah bukan imajinasi. Membangun dialektika antar dimensi ilmu sangat penting tidak harus dengan antropologi (mengkaji manusia dengan lingkungan saja). Kalau berbenturan dengan ilmunya maka akan langsung ditolak, semisal masalah metafisika.
Tanggapan Dr. Arqom: antropolog itu segalanya serba fokus dan harus jelas formulasinya. Ada wilayah yang berbeda dengan kita, jadi maklum aja. Antropolog biasanya berlandaskan Auguste Comte. Konsep tentang kedalaman penelitian berbeda. misalnya: sastra datanya harus lengkap tetapi filsafat tidak perlu banyak-banyak yang penting dianalisis secara mendalam menyeluruh.
yang penting membut alur logis. penelitian di nilai oleh subjek lain / diuji secara intersubjektif sehingga ditemukan fakta. Paradigma mempengaruhi sikap dan lain-lain.



GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search