Rabu, 20 Mei 2009

SEKAT-SEKAT KEBEBASAN

-->
Kebebasan secara umum diyatakan sebagai kondisi dimana individu memiliki keleluasaan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Bebas secara sederhana dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu “bebas dari” dan “bebas untuk”. “Bebas dari” adalah kondisi dimana individu terlepas dari belenggu, paksaan, ancaman dan gangguan pihak lain ataupun kondisi tertentu. Misalnya bebas dari penjajahan, bebas dari penindasan, dan lain sebagainya. Sedangkan “bebas untuk” adalah kondisi dimana kita tidak mendapatkan batasan atau halangan dari siapapun untuk melakukan sesuatu. Misalnya, bebas untuk memilih sesuatu.
Akhir-akhir ini kebebasan merupakan hal yang sangat gencar diperjuangan oleh banyak orang. Dulu ketika rezim orde baru berkuasa, banyak yang merasa kebebasannya dikebiri atau dirampas oleh pemerintah. Setelah orde baru tumbang dan digantikan orde reformasi, kebebasan makin dirasakan oleh masyarakata Indonesia. Akan tetapi, ada banyak masalah yang muncul ketika kebebasan itu tidak diketahui batasan-batasannya secara jelas. Bahkan arti kebebasan itu sendiri masih kabur dan tidak jarang disalahgunakan untuk melakukan tindakan-tindakan destructive dengan mengatasnamakan kebebasan itu sendiri.
Berbicara tentang kebebasan selalu tidak bisa dilepaskan dari yang namanya hak dan kewajiban. Kebebasan sering kali diklaim sebagai hak setiap orang. Akan tetapi, banyak orang yang sering mengabaikan batas-batas kebebasan yang harus ia patuhi. Jika kebebasan adalah suatu hak, maka kebebasan itu juga harus diimbangi dengan kewajiban karena hak dan kewajiban adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang.
Menurut J.S Mill kebebasan dibatasi oleh “Harm Principle”. Ia menyatakan bahwa “you may justifiably limit a person’s freedom of action only if they threaten harm to another”. Harm Principle: membatasi kebebasan atas tindakan orang lain diperbolehkan hanya jika tindakan orang itu membahayakan (mengancam kebebasan) orang lain. (http://grelovejogja.wordpress.com/author/greata/)
Mill mengatakan bahwa prinsip kebebasan tersebut hanya berlaku pada sebuah masyarakat yang beradab. Lalu, bagaimana dengan Indonesia yang sangat plural? Apakah prinsip kebebasan itu bisa diterapkan?. Sebenarnya batasan antara merugikan dengan tidak merugikan,bagi masyarakat modern mungkin awalnya merupakan hal yang sangat jelas dan sangat mudah dipahami. Akan tetapi, lagi-lagi pengaburan konsep itu kerap kali terjadi. Apakah jika ada sekelompok orang membuat agama baru itu bisa dikatakan sebagai suatu kebebasan? Apakah atas alasan “merugikan” seseorang juga bisa encabut kebebasan dari yang lainnya? Dewasa ini, Masalah-masalah semacam itu sering kita hadapi.
Dikatakan Drs Suyahmo MSi, substansi pemikiran John Stuart Mill sejalan dengan pengembangan hak asasi manusia yang tengah menjadi isu dunia internasional, termasuk Indonesia. Bahwa, lahirnya Hak Asasi Manusia (HAM) dilandasi dua hak paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan, yang mencerminkan hak kebebasan seseorang tidak boleh dipergunakan untuk memanipulasi hak orang lain, demi kepentingannya sendiri, namun sebaliknya untuk membuat orang lain tidak dirugikan sehingga terdapat persamaan. (www.ugm.ac.id)
Jika demikian halnya, maka kebebasan disini adalah kebebsan yang ada batas-batasnya atau kebebasan yang harus dikontrol dan bukan atas kemauannya sendiri. Penyeragaman persepsi ini pula yang ujung-ujungnya juga sulit dipersatukan. Untuk mengarahkan semua orang menuju sikap yang positif yang tidak mengganggu atau merugikan orang lain bukanlah hal yang mudah diwujudkan meskipun tujuannya adalah saling menguntungkan satu dengan yang lainnya.

Google search

Custom Search