Kamis, 12 Maret 2015

gamelan dan gendhing-gendhing Sekaten

a) Prosesi gamelan dan gendhing-gendhing Sekaten. Gamelan Sekaten yang oleh masyarakat pada umumnya lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sekati sebenarnya adalah terdiri dari dua perangkat kesatuan gamelan dengan tangga nada laras pelog. Dua gamelan ini bernama kyai Guntur Madu, dan kyai nogowilogo, yang masing-masing nama mempunyai masing-masing arti sendiri-sendiri. Guntur madu adalah kata majemuk dari kata guntur dan Madu. Dalam bahasa Jawa guntur berarti runtuh, sedang kata bahasa Jawa madu secara harafiah yaitu adalah madu. Akan tetapi sebagai kiasan, yaitu bermakana anugerah. Oleh karena itu guntur berarti anugerah yang turun. Nogowilogo berarti kata majemuk dari kata Nogo, kata Wi dan kata Logo. Kata bahasa Jawa, nogo secara harafiah dapat diartikan sebagai naga, yaitu sebagai ular dalam mitologi. Namun dalam arti kiasan, arti yang sebenarnya adalah lestari atau terus menerus. Sedangkan kata Wi berarti unggul, dan kata logo searti dengan kata laga, perang. Nogowilogo mengandung arti lestari menang perang. Menurut tradisi, gamelan Kiai Sekati adalah gamelan pusaka milik kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Prabu Brawijaya V. Setelah Majapahit runtuh gamelan ini diboyong ke kraton Demak. Oleh para wali, komposisi gamelan itu diubah untuk keperluan Sekaten setiap menjelang perayaan menjelang kelahiran Nabi Muhammad SAW. Perubahan yang jelas dalam komposisi gamelan itu adalah penggantian gendang dan juga bedug. Karena Bedug sebagai alat yang digunakan sebelum azan dikumandangkan sebagai tanda masuknya waktu shalat. Adapun gamelan yang disusun oleh para wali terdiri atas satu saron Demung, dua Saron barung satu saron penerus, dua bande satu pasang kempyang dan satu bedug. Menurut tradisi, gamelan pusaka ini pada zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo memerintah Kerajaan mataram diberi nama kyai Guntur Madu (kawedanan Agung Punakawan Widyobudoyo tt2) Mungkin sejak perjanjian Gianti tahun 1755, gamelan pusaka ini oleh Susuhuna Paku Buwono I Dihibahkan kepada Sultan Hamengku Buwono I, dengan maksud yaitu agar Kasultanan Yogyakarta yang baru berdiri, tradisi Sekaten dapat dilestarikan. Sultan Hamengku Buwono I membuat duplikat gamelan pusaka ini, sebagai pendamping jika dibunyikan di Masjid Besar setiap perayaan Sekaten. Duplikat Kyai Guntur Madu ini dinamai kyai nogowilogo( Kawerdanan Ageng Punokawan Widyobudoyo tt2). Gendhing-gendhing atau lagu instrumental yang diperdengarkan silih berganti oleh kedua perangkat gamelan pusaka dalam perayaan Sekaten, konon diciptakan oleh para Wali, seperti Kanjeng Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri, dan Sunan Kudus. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila bagian judul gendhing-gendhing itu berasal dari bahasa Arab yang diucapkan secara Jawa, antara lain Salatun, Subiyah, Ngajatun, Sumiyah, Jaumi. Perbendaharaan gendhing-gendhing yang khusus diperdengarkan saat Sekaten berjumlah 21 judul atau bahkan mungkin lebih. Yang selalu diperdengarkan adalah gendhing Wirangrong. Yang cukup menarik adalah bahwa salah satu perbendaharaan lagu-lagu itu ada yang berjudul dengan menggunakan bahasa Melayu, yaitu Gendhing Burung Putih. Setiap menjelang tanggal 5 bulan Mulud/rabiul awal, selepas sholat isya, kedua gamelan pusaka itu ditabuh untuk diperdengarkan dalam kompleks Kraton sebagai isyarat resmi pembukaan Sekaten. Dahulu kala Kyai Guntur Madu ditabuh di bangsal Sri Manganti, sedangkan Kyai Nogowilogo ditabuh di bangsal Trajumas. Tetapi sekarang ditabuh pada bangsal Poncociti . yang harus dibunyikan terlebih dahulu adalah kyai Guntur Madu, karena usia yang lebih tua dibandingkan dengan usia Kyai Nogowilogo. Beberapa saat kedua gamelan itu diperdengarkan, datnglah beberapa orang Bendoro pangeran untuk memberikan sedekah kepada para Abdi dalem wiyogo dengan memyebarkan (udhik-udhik) sejumlah mata uang logam. Pada pukul 11 malam, irama kedua gamelan pusaka itu dihentikan. Dan tepat pada 12 tengah malam, diusunglah kedua gamelan pusaka itu ke pelataran Masjid besar untuk ditempatkan didalam Pagongan. Kyai guntur Madu disemayamkan di Pagongan selatan sedangkan Kyai Nogowilogo di pagongan Utara. Kedua perangkat gamelan Pusaka ini akan diperdengarkan lagi pada keesokan harinya setelah Shalat Subuh, dan harus dihentikan setiap kali adzan sholat wajib pada hari Kamis malam sampai lepas Sholat jamaah pada hari jumat . Pada tanggal 11 Mulud rabiul awal, sekitar pukul 8 malam, Sultan dan para pengiringnya berkenan mengunjungi masjid besar untuk melkukan kegiatan religius, yaitu memperdengarkan riwayat hidup Rasullulah SAW. Shalawatan dan memberikan sedekah pada para Abdi dalem golongan ulama. Tetapi sebelum memasuki Serambi Masjid Besar, Sultan atau salah satu Seorang Bendoropangeran yang dititahkan memberikan Sedekah(udhik-udhik) di Pagongan Selatan dan juga Pagongan utara. Menjelang tengah malam, sultan bersama para penggiringnya meninggalkan Masjid besar untuk kembali ke Kraton. Pada pukul 24.00 kyai guntur Madu diusung kembali ke kraton untuk disemayamkan di tempat masing-masing. Setiap menjelang tanggal 5 bulan mulud/Rabiul awal, kedua gamelan pusaka itu dibersihkan diberi sesajen, para abdi dalem golongan Wiyogo (penabuh gamelan) yang akan bertugas secara bergiliran memperdengarkan kedua gamelan itu selama seminggu di pagongan atau tempat Gamelan di Masjid Besar, diwajibkan terlebih dahulu mensucikan diri. Berpuasa selam sehari penuh dilanjutkan dengan mandi dan juga keramas. Kemudian mengikuti selamatan atau Kenduri dengan Sesajen selamatan sekul rasulan untuk menghormati Rasullulah SAW. Megusung kedua gamelan pusaka, dari Kraton lewat Siti Hinggil menuju ke Pelataran Masjid Besar, merupakan perarakan (prosesi) khidmat dengan mendapat pengawalan dari kesatuan-kesatuan prajurit Kraton, para Pangeran dan Pembesar-Pembesar kraton. Demikian pula saat kedua gamelan pusaka itu diusung kembali menuju kedalam Kraton, merupakan prosesi arak-arakan yang wajib diikuti oleh para prajurit Kraton. b) Pengertian dari Sekaten itu Sendiri Sekaten adalah budaya Jawa yang berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadatain yang arinya adalah dua kalimat syahadat. Adanya pelafalan syahadatain menjadi sekaten adalah karena adanya kesulitan orang Jawa dalam mengucapkan pelafalan bahasa Arab secara langsung. Selain itu karena bahasa masyarakat adalah bahasa jawa maka diucapkan kalimat tersebut dengan bahasa Syahadatain. Istilah Syahadatain sendiri muncul pada Pemerintahan Raden Patah menjadi adipati kabupaten bintoro. Pada masa itu beliau didukung oleh para wali untuk melakukan Syiar agama Islam. Pada saat itu kebanyakan masyarakat memeluk agama Hindu dan Budha. Selain itu masyarakat juga senang melakukan kesenian terutama kesenian gamelan. Untuk itu para wali berinisiatif untuk menarik perhatian masyarakat mengikuti majelis dakwah dengan gamelan. Masyarakat yang tertarik berbondong-bondong datang. Maka dengan cerdiknya para wali mensyaratkan orang yang ingin menyaksikan pertunjukan untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat. Dua kalimat syahadat inilah yang sering disebut dengan Syahadatain.




GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search