“PERMAINAN TRADISIONAL KIAN TERSISIH”
Permainan tradisional adalah permainan yang dimainkan oleh anak-anak Indonesia dengan alat-alat yang sederhana, tanpa mesin, bahkan ada yang hanya bermodal ‘awak waras’ atau ‘badan sehat’. Maksudnya, asalkan anak tersebut sehat, maka ia bisa ikut bermain. Jenis permainan ini.juga sering disebut ‘dolanan’.
Permainan tradisional bukanlah permainan yang tanpa makna melainkan permainan yang penuh nlai-nilai dan norma-norma luhur yang berguna bagi anak-anak untuk memahami dan mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan. Oleh karena itu, permainan tradisional yang diciptakan oleh leluhur bangsa ini pun berdasar atas banyak pertimbangan dan perhitungan. Hal ini karena leluhur kita mempunyai harapan agar nilai-nilai yang disisipkan pada setiap permainan tersebut dapat dilaksanakan anak-anak dalam setiap tindakan dan perbuatannya dengan penuh kesadaran atau tanpa adanya paksaan.
Dari sedikit uraian diatas kiranya sudah jelas, bahwa permainan traisional memang bukan penentu pokok baik atau tidaknya bangsa kita, mengingat banyak hal yang jauh lebih berpengaruh dalam hal ini. Namun, suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri pula, bahwa permainan tradisional ini akan banyak memberi pengaruh bagi masa depan bangsa karena nilai-nilai luhur yang tersirat didalamnya bisa melekat pada pemain-pemainnya, yakni anak-anak dan cucu-cucu kita kelak yang akan meneruskan perjuangan kita dalam mempertahankan bangsa ini.
Bila kita diberi pertanyaan apakah menurut kita permainan tradisional ini baik bagi anak-anak kita atau lebih dari itu bagi bangsa ini, tentunya rata-rata atau bahkan semua orang akan menjawab ‘baik’. Tetapi inti persoalannya ialah bukan hanya ‘baik’ atau ‘tidak baik’, melainkan ‘mau’ atau ‘tidak mau’. Maukah kita melestarikan bingkisan kecil dari nenek moyang kita ini? jawabnya mungkin bukan ‘mau’ atau ‘tidak mau’, malainkan justru balik bertanya tentang apakah permainan tradisional itu. Bagaimana kita mau melestarikannya jika kita tidak tahu jenis-jenis permainan ini dan cara memainkannya. Kenyataan ini menjadi suatu hal yang wajar ketika kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa bangsa ini telah banyak berubah seiring berkembangnya teknologi modern.
Sampai hari ini, kita masih mendengar ungkapan bahwa bangsa kita adalah bangsa besar, dengan khazanah alam-lingkungan maupun alam-budaya yang Sangat kaya, namun jarang kita temukan orang yang dapat menjelaskan seperti apa kekayaan budaya yang kita miliki. Dahulu Nusantara mendapatkan kemudahan alami, berua subur makmur tanah-air tetapi lalu lalai, bahwa kemudahan itu adalah karena perkenan-Nya, dependen-Nya. Maka ketika koloinalisme, imperalisme Barat secara aktif menyerang, Nusantra berada dibawah penderitaan penjajahan. Kini setelah merdeka, terdapat ancaman bahaya baru, yaitu sistem kemudahan buatan yang mereka tawarkan. Kini orang lalu menjadi objek perbuatan yang mereka tawarkan. Kini orang lalu menjadi objek penderita dari kemudahan-kemudahan amalan mereka. (Damardjati Supadjar, 2001: 107)
Suatu kenyataan, bahwa banyak masyarakat Indonesia mulai dari anak-anak sampai mereka yang telah dewasa pun kini asyik di depan layar TV, komputer, dan handphone untuk bermain game. Mereka bahkan rela merogoh kocek yang tidak sedikit untuk melengkapi aplikasi game mereka. Hal tersebut tidak mengherankan karena permainan ini tidak memerlukan tempat khusus dan luas serta bisa dimainkan sendiri. Permainan ini pun telah menggunakan teknologi modern sehingga dengan memainkannya merekaa tidak akan dikatakan ketinggalan zaman. Berbeda dengan permainan modern ini, permainan tradisional memang tidak menggunakan teknologi canggih bahkan terkesan kuno. Mungkin ketika kita mendengar kata tradisional saja kita sudah enggan untuk memainkannya. Akan tetapi, satu hal yang kita lupakan yakni makna dari permainan ini dan dampaknya bagi perkembangan anak terlebih lagi dalam hubungannya dengan interaksi sosial. Permainan modern memang bisa dimainkan dimana saja dan kapan saja. Kita sering memainkannya di kamar tidur bahkan ada yang memainkannya ketika sedang di kamar mandi. Tidak jarang pula anak-anak membawa HP kesekolah untuk nge-game diwaktu istirahat atau ketika ada guru yang berhalangan hadir. Walaupun sejumlah sekolah melarang siswa-siswa membawa HP namun ternyata masih banyak siswa yang tetap membawa . Lebih dari itu, kita juga sering melihat orang-orang yang berada di halte; terminal; bandara; bahkan dipasar sekalipun sedang bermain game. Mereka memanfaatkan HP bukan hanya sekedar sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai sarana hiburan. Selain HP, banyak cara untuk menikmati permainan modern ini. salah satu caranya adalah menyewa kaset game di rental-rental kemudian memainkannya di rumah dengan menggunakan komputer atau playstation yang dihubungkan dengan layar TV. Selain itu, kita juga dapat memperoleh aplikasi game dengan cara men-download di internet. Begitu luasnya objek permainan modern ini sampai-sampai mahasiswa pun tidak terlepas dari belenggunya. Mahasiswa yang semestinya mengemban amanat orang tua untuk menuntut ilmu justru menghabiskan waktunya hanya untuk main game. Mereka asyik duduk di epan komputer sampai lupa waktu. Sayangnya mereka duduk di depan komputer bukan untuk mengerjakan tugas kuliah melainkan bermain game. Alasan yang mereka lontarkan rata-rata sama, yaitu untuk memperoleh hiburan setelah pulang kuliah. Akan tetapi kenyataannya, waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk bermain game dibandingkan untuk mengerjakan tugas kuliah. Ironis memang, sebuah hiburan lebih diutamakan kewajiban pokok sebagai mahasiswa. Disaat permainan modern berkembang pesat dengan jenis-jenisnya yang makin variatif, permainan tradisional kini kian tersisih; tertinggal bahkan terlupakan. Mungkin saat ini hanya sedikit dari kita yang masih tahu jenis-jenis permainan tradisional seperti gatrik, lompat tali , petak umpet , benteng, gobak sodor, dakon, gasing, dan lain sebagainya. Bahkan bisa jadi permainan ini tidak dikenal anak-anak sekarang yang tinggal di kota-kota besar. Sangat aneh rasanya jika kita berharap mereka memainkanya sedangkan permainan ini terasa asing bagi mereka. Salah satu permainan tradisional yang sempat populer adalah benteng. di desa tempat saya tinggal, permainan ini lebih dikenal dengan sebutan ‘jek-jekan’. Mungkin ada daerah lain yang memberi nama yang berbeda pula. Tetapi, umumnya permainan ini dinamakan ‘benteng’. Benteng adalah permainan yang dimainkan oleh dua grup. syarat permainan ini, masing-masing grup hanya terdiri dari 4 sampai 8 orang. tetapi ini bukan syarat pokok dan tidak begitu dipermasalahkan karena jumlah anak yang ingin ikut bermain dala permainan ini bisa lebih dari 20 anak. Jumlah peserta ini tergantung jumlah anak yang tinggal di suatu desa tempat anak-anak tersebut bermain. Bahkan jumlahnya kadang lebih dari 30 anak, karena anak-anak dari desa lain pun datang ketempat tersebut untuk ikut bermain. Apbila jumlah pemain terlampau banyak biasanya disiasati dengan pembagian peserta berdasarkan tingkatan kelas disekolah. Misal, memberikan kesempatan anak-anak yang masih duduk di kelas 1 sampai kelas 3 untuk bermain terlebih dahulu.Ketika mereka sedang bermain, anak-anak kelas 4 sampai kelas 6 berpartisipasi sebagai penonton sekaligus sebagai saksi dan juri agar idak ada pihak yang curang dalam permainan tersebut.
Suatu kenyataan, bahwa banyak masyarakat Indonesia mulai dari anak-anak sampai mereka yang telah dewasa pun kini asyik di depan layar TV, komputer, dan handphone untuk bermain game. Mereka bahkan rela merogoh kocek yang tidak sedikit untuk melengkapi aplikasi game mereka. Hal tersebut tidak mengherankan karena permainan ini tidak memerlukan tempat khusus dan luas serta bisa dimainkan sendiri. Permainan ini pun telah menggunakan teknologi modern sehingga dengan memainkannya merekaa tidak akan dikatakan ketinggalan zaman. Berbeda dengan permainan modern ini, permainan tradisional memang tidak menggunakan teknologi canggih bahkan terkesan kuno. Mungkin ketika kita mendengar kata tradisional saja kita sudah enggan untuk memainkannya. Akan tetapi, satu hal yang kita lupakan yakni makna dari permainan ini dan dampaknya bagi perkembangan anak terlebih lagi dalam hubungannya dengan interaksi sosial. Permainan modern memang bisa dimainkan dimana saja dan kapan saja. Kita sering memainkannya di kamar tidur bahkan ada yang memainkannya ketika sedang di kamar mandi. Tidak jarang pula anak-anak membawa HP kesekolah untuk nge-game diwaktu istirahat atau ketika ada guru yang berhalangan hadir. Walaupun sejumlah sekolah melarang siswa-siswa membawa HP namun ternyata masih banyak siswa yang tetap membawa . Lebih dari itu, kita juga sering melihat orang-orang yang berada di halte; terminal; bandara; bahkan dipasar sekalipun sedang bermain game. Mereka memanfaatkan HP bukan hanya sekedar sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai sarana hiburan. Selain HP, banyak cara untuk menikmati permainan modern ini. salah satu caranya adalah menyewa kaset game di rental-rental kemudian memainkannya di rumah dengan menggunakan komputer atau playstation yang dihubungkan dengan layar TV. Selain itu, kita juga dapat memperoleh aplikasi game dengan cara men-download di internet. Begitu luasnya objek permainan modern ini sampai-sampai mahasiswa pun tidak terlepas dari belenggunya. Mahasiswa yang semestinya mengemban amanat orang tua untuk menuntut ilmu justru menghabiskan waktunya hanya untuk main game. Mereka asyik duduk di epan komputer sampai lupa waktu. Sayangnya mereka duduk di depan komputer bukan untuk mengerjakan tugas kuliah melainkan bermain game. Alasan yang mereka lontarkan rata-rata sama, yaitu untuk memperoleh hiburan setelah pulang kuliah. Akan tetapi kenyataannya, waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk bermain game dibandingkan untuk mengerjakan tugas kuliah. Ironis memang, sebuah hiburan lebih diutamakan kewajiban pokok sebagai mahasiswa. Disaat permainan modern berkembang pesat dengan jenis-jenisnya yang makin variatif, permainan tradisional kini kian tersisih; tertinggal bahkan terlupakan. Mungkin saat ini hanya sedikit dari kita yang masih tahu jenis-jenis permainan tradisional seperti gatrik, lompat tali , petak umpet , benteng, gobak sodor, dakon, gasing, dan lain sebagainya. Bahkan bisa jadi permainan ini tidak dikenal anak-anak sekarang yang tinggal di kota-kota besar. Sangat aneh rasanya jika kita berharap mereka memainkanya sedangkan permainan ini terasa asing bagi mereka. Salah satu permainan tradisional yang sempat populer adalah benteng. di desa tempat saya tinggal, permainan ini lebih dikenal dengan sebutan ‘jek-jekan’. Mungkin ada daerah lain yang memberi nama yang berbeda pula. Tetapi, umumnya permainan ini dinamakan ‘benteng’. Benteng adalah permainan yang dimainkan oleh dua grup. syarat permainan ini, masing-masing grup hanya terdiri dari 4 sampai 8 orang. tetapi ini bukan syarat pokok dan tidak begitu dipermasalahkan karena jumlah anak yang ingin ikut bermain dala permainan ini bisa lebih dari 20 anak. Jumlah peserta ini tergantung jumlah anak yang tinggal di suatu desa tempat anak-anak tersebut bermain. Bahkan jumlahnya kadang lebih dari 30 anak, karena anak-anak dari desa lain pun datang ketempat tersebut untuk ikut bermain. Apbila jumlah pemain terlampau banyak biasanya disiasati dengan pembagian peserta berdasarkan tingkatan kelas disekolah. Misal, memberikan kesempatan anak-anak yang masih duduk di kelas 1 sampai kelas 3 untuk bermain terlebih dahulu.Ketika mereka sedang bermain, anak-anak kelas 4 sampai kelas 6 berpartisipasi sebagai penonton sekaligus sebagai saksi dan juri agar idak ada pihak yang curang dalam permainan tersebut.
Syarat kedua, masing-masing grup memilih suatu empat ebagai markas . Markas ini biasanya sebuah tiang atau pohon sebagai ‘benteng’. Hal inilah yang menjadikan permainan ini dinamakan benteng. Lama atau tidaknya permainan ini itentukan oleh mudah atau tidaknya benteng-benteng itu ditakhlukkan oleh oleh lawannya. setelah ada satu grup yang kalah maka ada pergantian pemain , yakni anak-anak kelas 4 sampai kelas 6 sebagai pemain dan anak-anak kelas 1 sampai kelas 3 sebagai penintonnya.
Tujuan utama permainan ini adalah untuk menyerang dan mengambil alih ‘benteng’ lawan dengan menyentuh tiang atau pohon yang telah dipilih oleh lawan sebagai benteng dan meneriakkan kata benteng. Di desa saya, kata benteng ketika menyentuh tiang lawan ini diganti dengan kata ‘jek’. Oleh karenanya, permainan ini lebih di kenal dengan permainan ‘jek-jekan’. Kemenangan juga bisa diraih dengan ‘menawan’ seluruh anggota lawan dengan menyentuh tubuh mereka. Untuk menentukan siapa yang berhak menjadi ‘penawan’ dan yang ‘tertawan’ ditentukan dari waktu terakhir saat si ‘penawan’ atau ‘tertawan’ menyentuh ‘benteng’ mereka masing - masing.
Anak yang paling dekat waktunya ketika menyentuh benteng berhak menjadi ‘penawan’ dan bisa mengejar dan menyentuh anggota lawan untuk menjadikannya tawanan. Tawanan bisa dibebaskan bila rekannya dapat menyentuh dirinya. Tawanan biasanya ditempatkan berjajar di sekitar benteng musuh dengan posisi tangan saling berpegangan satu dengan yang lain. Hal ini dimaksudan agar teman satu grup mereka bisa lebih mudah melepaskan mereka dari tawanan. Aka tetapi apabila jumlah anak yang di tawan banyak, penjga benteng akan kesulitan mempertahankan bentengnya karena pasti akan di keroyok musuh dengan jumlah yang banyak dari arah yang berbeda. Dalam permainan ini, biasanya masing-masing anggota mempunyai tugas seperti ‘penyerang’, ‘mata - mata, ‘pengganggu’, dan penjaga ‘benteng’. Permainan ini sangat membutuhkan kecepatan berlari dan juga kemampuan strategi yang handal.
Permainan tradisional lainnya yang tak kalah serunya adalah benthik. Kebanyakan orang sering menamakannya gatrik. Gatrik merupakan permainan kelompok yang terdiri ari dua kelompok. 14 tahun yang lalu permainan ini juga merupakan permainan ini juga merupakan permainan yang populer bagi anak-anak laki-laki di desa saya.
Alat yang digunakan dalam permainan ini adalah dua potong kayu. kayu yang biasa di pakai adalah potongan bambu kuning. Potongan yang satu berukuran kira-kira 30 cm dan potongan yang lainnya berukuran lebih kecil. Pertama-tama potongan yang lebih kecil diletakkan di antara dua batu lalu di pukul oleh pemain dengan menggunakan bambu yang lebih panjang, diteruskan dengan memukul bambu kecil tersebut sejauh mungkin. Pemukul akan terus memukul hingga beberapa kali sampai suatu kali pukulannya tidak mengena/ meleset dari bambu kecil tersebut. Setelah pemain pertama gagal mempertahankan pukulannya, maka anak berikutnya dari kelompok tersebut akan meneruskan nya sampai giliran anak yang terkhir. Setelah permainan ini selesai maka kelompok lawan akan memberi hadiah berupa gendongan dengan patokan jarak dari bambu kecil yang terakhir hingga batu awal permainan ini dimulai. Makin jauh bambu kecil itu dilempar, maka makin enak digendong dan kelompok lawan akan lelah menggendong.
Jenis permainan menarik lainnya adalah engklek. Permainan ini biasa dimainkan oleh anak-anak perempuan. Engklek mempunyai banyak jenis dan cara meminkannya. Diantaranya, engklek dengan area permainan yang menyerupai palang merah. yng dibagi-bagi menjadi 5 kotak dan diambah 2 kotak sebagai tangga. Alat yang digunakan adalah pecahan genting atau batu sebagai umpan. Umpan ini dalam bahasa jawa biasa disebut ’gacuk’. Permainan ini juga merupakan permainan kelompok. Hadiahnya pun hampir sama dengan gatrik, yaitu kelompok yang menang digendong kelompok yang kalah. Pemain yang menang dalam undian suit berkesempatan bermain lebih dahulu. Pemain tersebut melempar gacuk kedalam kotak pertama pada area permainan yang berbentuk palang merah. Kemudian pemain melompat-lompat dengan satu kaki (engklek) pada kotak-kotak lain sampai kembali kekotak pertama sambil mengambil kembali gacuk yang tadi telah dilemparkan di kotak pertama. Selanjutnya pemain tersebut melempar gacuk ke kotak yang kedua lalu melompat-lompat lagi seperti cara yang pertama dan seterusnya sampai gacuk dilemparkan pada kotak yang terakhir.semakin besar angka kotak yang harus dilempari gacuk, maka semakin jauh pula gacuk harus dilemparkan. Apabila pemain tidak dapat melempar gacuk kedalam kotak yang semestinya, maka permainannya dianggap mati dan kelompok lawan berkesempatan untuk bermain. Kelompok yang dapat menyelesaikan tugasnya melempar gacuk sampai kotak yang terakhir, maka kelompok inilah yang menag dan berhak di gendong ke suatu tempat yang telah disepakati bersama.
Sebenarnya masih banyak jenis-jenis permainan tradisionallainyayang tak kalah seru untuk dimainkan. 14 tahun yang lalu permainan-permainan tradisional seperti diatas bukanlah permainan yang asing bagi saya dan mungkin juga bagi anak-anak Indonesia lain yang seusia dengan saya, khususnya yang tinggal di desa-desa. Masih jelas dalam ingatan saya ketika saya dan teman-teman saya bermain bersama. disiang hari bahkan setelah malam haripun permainan kadang dilanjutkan kembali. Meskipun pada saat itu belum ada listrikdidaerah saya dan hanya menggunakan obor dan sinar rembulan jika kebetulan bulan purnama. Maklum, saya tinggal di sebuah di desa pinggiran kota solo yang waktu itu listrik masuk desa pada tahun 1996. Tetapi hail itu justru berubh setelah litik msuk desa. Ank-anak menjadi lebih suka menonton TV di rumah dari pada bermain di luar rumah.
Saya tidak bermaksud menolak teknologi tetapi justru sebaliknya, saya pun sangat bersyukurdan senang dengn perkembangan teknologi karena semakin membantu kita dlam beraktivitas. Saya berasumsi bahwa kesalahan bukan pada teknologi tetapi kesaahan terlletak pada pemakai teknologi yang tak lin adalah kita. Kita boleh memanfaatkan teknologi tetapi jangan sampai justru kita yang di kuasai teknologi.
Sejalan dengan perkembangan teknologi ini, maka berkembang pila jenis-jenis mainan anak. jenis permainan pun sudah mulai berganti.Sebagian besar dari permainan anak tidak menggunakan alat-alat dari alam melainkan menggunakan mesin-mesin modern. Jadi, tidak mengherankan jika generasi sekarang lebih tertarik dengan permainan modern dari pada permainan tradisional.
Permainan tradisional kini sudah banyak yang ditinggalkan. hanya sedikit jenis permainan ini yang masih dinikmati. Permainan yang masih bertahan rata-rata adalah jenis permainan yang bernilai komersiil untuk diperlombakan. Misalnya, layang-layang dan gangsing. Ada juga permainan yang tidak berdaya jual tetapi tetap eksis. Misalnya lompat tali dan petak umpet. Namun kini permainan ini juga hanya sedikit peminatnya dan tidak semeriah dahulu. Dahulu sepulang sekolah, ank-anak di desa saya selalu bermain bersama tetapi sekarang desa saya terasa sepi sepulangnya anak-anak SD pulang dari sekolah.
Menurut saya, permainan tradisional merupakan jenis olah raga sekaligus rekreasi yang sangat bermanfaat karena secara tidak langsung telah mendidik anak-anak dengan nilai-nilai yang di sisipkan dalam permainan tersebut. Saya akan memberikan contoh makna dari permainan benteng. Pada permainan ini semua pemain dituntut untuk selalu berhati-hati dalam setiap tingkah laku dan perbuatannya. Dengan demikian anak-anak dituntut untuk selalu waspada yakni selalu tanggap dengan keadaan sekitar.
Rawe-rawe rantas, malang malang putung (apapun rintangan dan hambatan yang menghalang, perjuangan tak akan pantang mundur sebelum cita-cita tercapai); Tri dharma: melu andarbeni (ikut merasa memiliki negara sehingga ikut memelihara/ membangun negara); melu angrungkebi (ikut membela negara bila diserang oleh musuh); mulad salira angrasawani (selalu mawas diri); menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan/ mempermalukan). (Thomas Wiyasa Bratawidjaja, 1996:54).
kutipan diatas saya rasa sangat tepat untuk menggambarkan nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam permainan benteng. Secara umum permainan tradisional mengandung makna yang hampir sama, yakni mempererat tali persaudaraan. Dengan bermain bersama, anak-anak dilatih untukbisa saling menghargai bahwa setiap orang mempunyai watak yang berbeda-beda dan nasibnya masing-masing. Sesama manusia harus hidup tolong-menolong dengan bergotong-royong. Selain itu, pada setiap tahap permainan ini anak-anak sudah melatih diri untuk belajar bekerja keras dan disiplin serta sungguh-sungguh agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Dalam pergaulan hendaknya setiap individu selalu berbudi luhur, setia kawan dan jujur.
Sementara itu, permainan modern yang saat ini menjadi idola baru bagi anak-nak sangat tidak mendidik, cenderung individual, materialistis, ingin menang sendiri, dan masih banyak efek negatif lainnya. Permainan ini tentu sangat jauh berbeda dengan permainan tradisional yang lebih mendidik anak-anak untuk saling berinteraksi satu sama lain.
Ironis memang, permainan modern yang sebagian besar berasal bukan dari negara sendiri, justru semakin digemari. Padahal, permainan tradisional dapat menjadi identitas warisan budaya bangsa ditengah keterpurukan kondisi bangsa saat ini.
GOOGLE search
Custom Search