Selasa, 07 April 2015

Sekilas uraian tentang Serat Centhini

Serat Centhini merupakan sebuah karya penting dalam sastra Jawa. Serat ini merupakan kenangan bersama seratus dua puluh juta manusia jawa, pengembaraan edan luar batas, dua belas jilid, empat ribu dua ratus halaman, tujuh ratus dua puluh dua tembang, serta dua ratus ribu bait. Serat ini mempunyai nama asli Suluk Tambangraras. Dalam pewayangan, suluk adalah “suara meninggi”. Itu juga merupakan istilah yang dipakai untuk mengacu semua sastra gaib Jawa kurun Islam. Ada pun Tambangraras, ia istri dari tokoh utama Amongraga. Namun orang lebih menyebutnya serat centhini. Centhini merupakan abdi dari Tambangraras. Memang suatu hal yang agak aneh ketika sebuah mahakarya disebut dengan nama seorang pembantu. Namun justru itulah yang menjadi kelebihannya, serat centhini dipandang sebagai suatu keakraban, kedekatan menyentuh antara masyarakat yang membacanya serta sebagai suatu upaya teraling dan makar yang dengan sengaja mengangkat kehidupan orang kecil menjadi tokoh tersohor.

Asal mula adanya serat yang menghebohkan ini adalah adanya pemberontakan antara sang anak Amengkunegara III dengan ayahnya. Dia disingkirkan dari istana karena bundanya mati muda dan karena kebandelannya. Sebelum diusir dia berujar “akan ananda buktikan Ayahanda demikian jawab sang pangeran bahwa nafsu-nafsi ananda suatu hari nanti akan membimbing ananda kepada Ilmu Kasampurnan. Harus kita kenali kebatilan di ambang jalan kebatinan.”
Lalu pada 1814 pangeran Amangkunegara III atau Sinuhun Paku Buwana V memerintahkan tiga pujangga keraton yaitu Sastranegara, Ranggasutrasna, dan Sastradipura untuk menyusun suatu cerita kuno dalam bentuk tembang yang merangkum segala ilmu dan ngelmu Jawa, bahkan seni hidup agar pendengarnya hanyut dalam kesadaran tak berakal. Serat itu bernama Serat Centhini. Pada saat yang sama, enam puluh kilometer dari Surakarta, ke rah barat, di keraton saingannya, Ngayogyakarta Hadiningrat, menggelegak pemberontakan yang meledak sepuluh tahun kemudian di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Pada 1822, Gunung Merapi meletus dahsyat, pertanda sial. Jadi serat ini lahir pada zaman huru hara manusia dan alam.

Untuk melaksanakannya, Pangeran Anom Amangkunegaran III memberi para pujangga itu sepuluh ribu ringgit emas dan menyuruh mereka pergi, yang satu ke Jawa Timur, yang kedua ke Jawa Tengah, dan yang terakhir ke barat sampai Mekkah. Tugas mereka adalah menghimpun segala kearifan berikut penyimpangannya di kalangan para petapa, peramal, empu dan pandai besi, pesulap, penyamun, ulama wanita, dalang, penafsir mimpi, juru kunci asal muasal yang terlupakan, guru penyingkap hijab, dan orang-orang bebas lainnya, pelarian atau paria, yang berkelana dalam perangkap syahwat.
Syair kelewat batas ini mulai ditulis pada Sabtu pahing, 26 Muharram 1230 Hijriah, atau 1742 tahun Jawa, pada wuku Marakeh, di bawah naungan Dewa Hyang Surenggana. Anak yang lahir dengan weton seperti itu, laki-laki maupun perempuan, konon akan dianugerahi umur panjang, batin cerah, tetapi nasibnya malang dan hatinya resah gelisah. Serat ini sangat luar biasa, bahasa yang tertuang di dalamnya sangat indah, isinya bagus dan mampu menembus hati. Namun, Serat Centhini ditulis terutama untuk ditembangkan. Dalam sastra Jawa kuno, suara nitis pada penyair bagai suatu wahyu yang datang lebih dulu, baru kemudian lahirlah irama dan ragam menemani si pujangga memasuki kata-kata satu per satu. Penyesuaian antara irama, macapat, dan gema kata-kata irulah yang menciptakan makna suluk dan keindahannya. Di dalam syair-syair cabul, kekotoran kata dihalau terbang oleh keanggunan tembangnya. Justru perpaduan antara lumpur dan emas itulah yang membentuk watak dan sosok yang luar biasa serta khas serat centhini. Kalau tembang dihilangkan, para pembaca akan tercebur ke dalam lubang comberan kata-kata dan amblas ke dalam lumpur untuk selamanya. Untuk melahirkan irama mengiringi pujangga memasuki kata-kata dalam serat centhini, sudah dapat dibayangkan betapa indahnya tembang ini. Serat ini merupakan sebuah karya sastra jawa yang memperlihatkan kosa kata yang paling kaya. Terdapat 13 kisah yang ditembangkan dalam serat Centhini, yaitu :

1.      Silisilah,
2.      Perang,
3.      Pengembaraan,
4.      Minggatnya Cebolang,
5.      Terjadilah Asmara,
6.      Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan,
7.      Ia yang Memikul Raganya,
8.      Buku IX, Alih Rupa,
9.      Dendang Awan Mencerai Matahari,
10.  Pulau Besi,
11.  Termakan,
12.  Nafsu Terakhir.
Dari 722 pupuh asli Serat Centhini, hanya 16 pertama yang berupa tembang perang. Serat Centhini atau berjudul resmi Suluk Tambangraras diawali dengan kehancuran kekuasaan Giri oleh Mataram. Pada tembang delapan digambarkan; suatu malam hujan berat, Pangeran Surabaya sendirian datang menghadap ke serambi masjid Giri. Pangeran Pekik namanya, dan dia berujar: "Wahai Sunan Giri, dengarkan baik-baik perkataanku.”
Sultan Agung adalah raja Tanah Jawa. Gusti Jagad di atas jagad, beliau memerintah dengan sangat santun, bijaksana, dan sesuai dengan hukum Allah serta sakti.  “Bila kamu benar-benar menginginkan kedamaian dan kemakmuran bagi Kerajaan Giri, bersujudlah kepada Sultan Agung."(Dari sinilah kisah dimulai). Sunan Giri menolak, perang  pun pecah. Perang itu dipimpin oleh Endrasena, seorang pemuda Cina yang masuk Islam, anak angkat Sunan Giri. Ia ditembak mati di medan pertempuran. Sunan Giri pun takluk. Pangeran Giri itu dijatuhi hukuman mati oleh para ulama Sultan Agung karena bid’ah, seperti seorang sufi yang terkenal dari Baghdad, Hallaj, atau Siti Jenar di Jawa.
Hal inilah yang menandai awal pengembaraan batin Amongraga, kakak tiri Endrasena. Amongraga merupakan orang asli Jawa putra mahkota Giri yang menentang perang. Ia pun pergi mencari kedamaian bersama Jayengsari dan Rancangkapti (dua adiknya), mereka memilih untuk melakukan perjalanan spiritual. Dalam perjalanan itu, mereka memperoleh pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, pengetahuan mengenai wudlu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dua puluh, Hadis Markum, hingga perhitungan selamatan orang meninggal dunia, serta perwatakan Kurawa dan Pandawa.. Mereka juga menemukan   syariat yang mencerminkan hadis Nabi Muhammad SAW sepulang dari suatu pertempuran: “Kita baru saja pulang dari jihad kecil menuju jihad yang besar.” Jihad besar adalah perang melawan semua nafsu diri, begitu banyak roh jahat di dalam batin kita sendiri yang menyerbu tiada henti. Jika demikian, barangkali pengemberaan luar biasa Serat Centhini adalah untuk menyingkap dengan perlahan cadar jihad besar itu. Pertempurannya yang paling berbahaya adalah menempuh asmara antara kekasih dan terkasih dalam senggama.
Kesemua yang diperoleh itu bisa dicernai lewat 722 tembang. Tentu butuh waktu untuk mencernanya, apalagi jika masih dalam bahasa aslinya; Jawa. Ringkasannya berbahasa Indonesia sudah diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1981. Begitupun 12 jilid pernah diterbitkan oleh Yayasan Centhini, dan tiga jilid pertama diterbitkan lagi oleh Balai Pustaka pada 1991. Belakangan seorang kontributor surat kabar Prancis, bernama Elizabeth D. Inandiak, berhasil menerjemahkan ke dalam bahasa Prancis, berjudul Les Chants de l'ile a dormir debout le Livre de Centhini (2002).
Pengembaraan Centhini membawa Inandiak sampai ke Paris, ke sebuah disertasi filsafat, yang dipertahankan pada 1956 di Universitas Sorbonne, oleh Dr. Mohammed Rasjidi. Beliau pernah menjadi menteri agama di bawah pemerintah Soekarno dan juga pernah kuliah di Kairo, di Universitas Al Azhar, di Fakultas Teologi. Disertasinya dalam bahasa Perancis berjudul: Considerations critiques du Livre de Centhini (Pertimbangan kritis tentang Centhini) dan diawali dengan kata-kata berikut :
Ilmu yang kita lihat berkembang di Jawa adalah ilmu kesempurnaan yang juga dikenal sebagai ilmu kebahagiaan dan yang dicari para ilmuwan dan sastrawan, baik yang tekun beribadah maupun yang menjauhinya. Orang yang saleh lebih suka berbicara sama sekali tentang ilmu itu dan hanya menyebutnya dengan waspada karena sering berhubungan dengan ilmu itu tidak sesuai dengan ajaran islam.

Serat Centhini oleh Elizabeth de Inandiak rencana awalnya mau diterjemahkan secara harfiah dari bahasa Jawa ke Indonesia, lalu dari bahasa Indonesia ke Perancis. Tetapi Inandiak terbentur kesulitan yang cukup aneh: bagi beberapa ahli Jawa, Serat Centhini adalah suatu karya yang terlalu suci untuk diterjemahkan, sedang bagi pakar-pakar lain, Serat centhini terlalu kotor. Demikianlah rupanya kerohanian yang terlalu tinggi dan syahwat yang terlalu bejat telah menghalangi penerjemahan Suluk yang patut dihormati ini.

GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search