Minggu, 19 April 2015

Thomas Aquinas (Pemikiran para filsuf sosial)

Thomas Aquinas
               Thomas Aquinas merupakan filsuf terbesar pada abad pertengahan di Eropa. Pikirannya sampai sekarang masih sangat berpengaruh. Thomas Aquinas berhasil mempersatukan ajaran-ajaran Augustinus yang sampai saat ini menentukan pemikiran di Eropa dengan filasafat Aristoteles. Hal ini kemudian memberikan dorongan baru bagi kehidupan intelektual di Barat. Sejak itu filasafat mulai berkembang sebagai ilmu tersendiri.
               Selama hampir seribu tahun pemikiran Kristiani di Eropa Barat memang amat dipengaruhi Augustinus. Augustinus sendiri dekat dengan tradisi Neoplatonisme. Aristoteles semula kurang dikenal di Eropa Kristiani. Hal itu kemudian berubah karena Ibnu Sina dan Ibnu Rushd, filsuf besar Islam, serta Maimonides, filsuf Yahudi memperkenalkan karya-karya Aristoteles ke Eropa. Masuknya pemikiran Aristoteles menimbulkan banyak perdebatan. Pemikirannya diperdebatkan apakah dapat disesuaikan dengan ajaran Kristiani. 

               Thomas Aquinas lahir pada tahun 1225 di Roccasecca, Itali. Ia masuk tarekat Santo Dominicus dan menjadi murid Albertus Agung di Koln. Ia mengajar di Koln Paris dan di Italia. Ia meninggal pada usia sekitar 50 tahun pada tahun 1274 di biara Fossanuova dalam perjalanan ke Konsili (Muktamar Gereja) di Lyon.
                Thomas Aquinas menjadikan Aristoteles dasar pemikirannya, tetapi dengan tidak menying-kirkan gagasan-gagasan dasar Augustinus. Ia mem-perlihatkan bahwa atas dasar kerangka pemikiran Aristoteles, Teologi Augustinus dapat diberikan pendasaran yang lebih mantap. Thomas mempunyai karya yang luas, ditulis dalam gaya yang ketat dan langsung mengena pada pokok pembicaraan. Hal ini memperlihatkan keluasan pengetahuan, ketajaman analitis dan kedalaman spekulatif yang jarang ditemukan. Sumbangannya pada filsafat politik walaupun hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh tulisannya semakin diakui sebagai hakiki bagi etika kekuasaan. 
               Thomas Aquinas membicarakan masalah etika politik dalam dua tulisan, pertama dalam Summa Theologiae I dan II, kedua dalam tulisan De Regimine Principum (tentang pemerintahan raja). Dalam uraian pertama Thomas membicarakan tiga macam hukum dan hubungan yang terdapat di antara hukum-hukum tersebut. Pertama adalah Lex Aterna (Hukum Abadi) atau kebijakan Ilahi. Sejauh merupakan dasar kodratnya, kodrat mahluk-mahluk mencerminkan kebijaksanaan yang menciptakannya. Mahluk itu ada, berbentuk atau berkodrat adalah sebagaimana yang dikehendaki Sang Pencipta. Implikasinya, kodrat adalah normatif bagi ciptaanya. Mahluk tumbuh, bergerak, dan berkembang menurut hukum alam. 
               Tetapi lain halnya dengan manusia. Manusia memiliki pengertian dan kemauan bebas dan oleh karena itu dapat menentukan sendiri bagaimana ia akan bertindak. Maka bagi manusia, kodratnya merupakan hukum dalam arti yang sungguh-sungguh : ia wajib hidup sesuai dengan kodratnya. Hukum kodrat (Lex Naturalis) itulah dasar semua tuntutan moral. Dengan menghubungkan hukum moral dengan hukum kodrat, Thomas mencapai dua hal sekaligus : ia mendasarkan norma-norma moral pada wewenang mutlak Sang Pencipta sekaligus menunjukkan rasionalitasnya. 
               Rasionalitasnya adalah sebagai berikut: tuntutan-tuntutan moral ada dalam kenyataan, tuntutan-tuntutan itu sesuai dan berdasarkan keperluan kodrat manusia. Jadi Thomas mengatasi irasionalisme banyak etika religius yang begitu saja mengembalikan norma-norma moral pada kehendak Tuhan tanpa menjelaskan mengapa Tuhan berkehendak demikian. Menurut kodratnya Tuhan menghendaki agar manusia hidup sesuai dengan kodratnya dan itu berarti, hidup sedemikian rupa sehingga ia dapat berkembang. Manusia dapat membangun dan menemukan identitasnya dan dapat menjadi bahagia. Dalam bahasan moral, hukum kodrat menuntut manusia agar hidup sesuai dengan martabatnya. Dengan demikian, Thomas pada akar hukum moral menolak segala paham kewajiban yang tidak dapat dilegitimasikan secara rasional. 
               Prinsip itu diterapkan dengan tegas pada hukum buatan manusia, Lex Humana. Menurut Thomas suatu hukum buatan manusia hanya berlaku apabila menurut dimensinya berdasarkan hukum kodrat. Isinya harus seuai dengan hukum kodrat dan pihak yang menggunakan hukum itu memiliki wewenangnya berdasarkan hukum kodrat. 
               Dengan demikian Thomas Aquinas secara radikal menolak kekuasaan sebagai dasar hukum. Suatu peraturan hanya bersifat hukum dan mempunyai kekuatan mengikat, apabila isinya dapat dilegitimasi secara rasional dari hukum kodrat. Suatu “hukum” yang bertentangan dengan hukum kodrat, menurut Thomas tidak memiliki status hukum, melainkan merupakan “Corruplio Legis” atau penghancuran hukum.
               Thomas Aquinas secara radikal menuntut legitimasi etis penggunaan kekuasaan. Kekuasaan tidak dapat membenarkan dirinya sendiri. Bagi Thomas tak ada satu orang pun yang secara asasi mempunyai wewenang atas manusia lainnya. Hanya Tuhan satu-satunya yang berwenang dan segenap wewenang atas manusia haruslah mendapat hak dan wewenang dari Tuhan.

               Hukum kodrat adalah tolok ukur legitimasi segala tindakan kekuasaan. Suatu ketentuan penguasa yang tidak sesuai dengan hukum kodrat maka ia tidak mengikat. Dengan demikian filsafat Thomas Aquinas membuka fakta kekuasaan terhadap kritik dan tuntutan pertanggungjawaban. Dalam hal ini sekaligus juga dipastikan bahwa segenap kekuasaan manusia terbatas sifatnya dan tidak pernah mutlak. Kekuasaan itu perlu sejauh manusia sebagai mahluk berkodrat sosial, membutuhkan kesatuan pimpinan agar ia dapat menjalankan kemanusiaannya secara utuh. Kekuasaan adalah fungsional demi kesejahteraan masing-masing orang. Keperluan manusia dalam martabatnya adalah batas prinsipil segala kekuasaan. 
               Dalam bukunya “Pemerintahan Para Raja” yang ditujukan kepada Raja Hugo di Cyprus, Thomas menjelaskan perbedaan antara pemerintahan yang sah dan pemerintahan yang disebut despotik. Pemerintahan despotik adalah pemerintahan yang hanya berdasarkan kekuasaan saja, sedangkan pemerintahan politik yang sah harus sesuai dengan kodrat manusia sebagai orang yang bebas. 
               Apabila kesatuan orang-orang bebas dibimbing ke arah kesejahteraan umum masyarakat, pemerintahan ini benar dan adil sebagaimana  yang semestinya. Tetapi apabila pimpinan tidak mengusahakan kesejahteraan umum masyarakat, melainkan keuntungan pribadi sang pemimpin, pemerintahan itu tidak adil dan bertentangan dengan kodrat. Kekuasaan pada dasarnya hanya benar dan baik sejauh berjalan dalam batas-batas yang presis, sedangkan hukum sendiri harus menunjang tujuan negara, yaitu mengusahakan kemakmuran bersama dan bukan kepentingan pribadi penguasa sendiri atau kelompok tertentu. Yang boleh disebut raja bukanlah orang yang sedang bertahta, melainkan hanya penguasa yang memerintah demi kesejahteraan umum masyarakat bukan demi kepentingan diri sendiri.
               Dalam hubungan ini Thomas Aquinas mengutamakan ajaran yang termasyur tentang perjanjian pemerintahan. Bagi Aquinas tidak pernah seorang dengan sendirinya berhak untuk memerintah orang lain. Sebagai sesama ciptaan Tuhan tak ada manusia yang sebagai manusia mengungguli manusia lain. Bahwa ada orang yang memerintah dan diperintah, hal itu karena berdasarkan kodrat manusia sebagai mahluk sosial. Fungsi suatu pemerintahan memang diperlukan agar semua prasarana yang diandaikan manusia dalam usahanya mewujudkan kehidupannya dapat tersedia. Tetapi kepada siapa pemerintahan itu dipercayakan, masyarakatlah yang berhak menentukan. 
               Menurut Aquinas, setiap raja atau penguasa yang sah menduduki jabatannya berdasarkan suatu perjanjian dengan rakyatnya. Dalam perjanjian itu rakyat di satu pihak berjanji akan taat kepada raja dan di lain pihak raja berjanji bahwa ia akan mempergunakan kekuasaanya demi tujuan yang sebenarnya, yaitu untuk mengusahakan kepentingan rakyat atau kesejahteraan umum. Apabila raja menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan sendiri, ia melanggar perjanjian. Dengan demikian perjanjian ini tidak berlaku lagi. Thomas Aquinas berpendapat bahwa bila hak untuk menentukan siapa yang mejadi raja adalah rakyat maka rakyat pun juga berhak untuk memberhentikan raja. 
               Untuk mencegah timbulnya Tiranis maka kekuasaan hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga raja tidak memiliki kesempatan untuk mendirikan pemerintahan yang despotik. Kekuasaannya harus dibatasi sedemikian rupa sehingga raja tidak mudah dapat menjadai Tiran. 
               Pendasaran segenap kekuasaan yang sah pada legitimasi etis berdasarkan kodrat dan martabat manusia sebagai mahluk yang bebas merupakan sumbangan Thomas Aquinas yang hakiki pada etika politik. Dalam etikanya Aquinas mengikuti kerangka dasar dari Aristoteles tapi memberikan dimensi yang baru. Bagi Aquinas pun tujuan manusia adalah kebahagiaan. Satu-satunya pandangan yang memuaskan manusia sepenuhnya adalah pandangan nilai tertinggi dan abadi yakni Tuhan. 
               Thomas Aquinas mendobrak keterbatasan etika Aristoteles pada dunia ini. Tidak mungkin manusia mencapai tujuan terakhirnya dalam dunia ini. Adapun yang diciptakan tidak dapat membahagiakan manusia sepenuhnya karena manusia berakal budi, terarah kepada yang tak terbatas. Sebagaimana akal budi terarah kepada realitas tak terbatas, begitu pula kehendak manusia baru puas apabila sampai pada nilai yang tertinggi, dan nilai tertinggi itu adalah Tuhan. 
               Dalam pengertian Aquinas, akal budi merupakan kemampuan yang secara hakiki terbuka bagi yang tak terhingga meskipun objek akal budi dianggap menurut pola objek indrawi dalam memahami yang terhingga. Inilah alasan mengapa manusia berakal budi sedangkan binatang tidak. Tuhan dapat mewahyukan diri kepada manusia, tapi tidak kepada binatang. Binatang tidak mempunyai cakrawala tak terhingga, sehingga Tuhan tidak mungkin masuk ke dalam wawasannya. Namun cakrawala pengertian manusia adalah tak terhingga, sehingga yang tak terhingga dapat mewahyukan diri kepada manusia. Manusia secara kodrati terbuka terhadap Tuhan, jadi  ketakterhinggaan memenuhi keterbukaan manusia itu. Itulah sebabnya manusia hanya dapat bahagia apabila memandang Tuhan. 
               Namun keterbukaan manusia hanyalah agar potensialitasnya sampai pada tak terhingga. Oleh karena itu, manusia dari kekuatannya sendiri tidak dapat mencapai Tuhan. Ia hanya dapat menerima Tuhan karena Tuhan memberikan diri sendiri. Pemberian diri Tuhan itu sama sekali bukan suatu hak manusia, melainkan tindak bebas Tuhan. AtasNya manusia tidak mempunyai klaim apapun. Ia hanya dapat menerimanya. 
               Kerelaan Tuhan membuka diri kepada manusia disebut rahmat. Kata Rahmat memuat arti bahwa pemberian diri Tuhan itu seluruhnya atas kerelaan dan inisiatif Tuhan sendiri, dan bahwa dasarnya adalah kasih sayang Tuhan. Bahwa Tuhan memberikan diri, bahwa Tuhan bersifat maha rahim, itu diketahui dengan pasti hanya karena wahyu, karena Tuhan sendiri memberitahukannya. Dari sini terlihat bahwa Aquinas tidak lagi bicara murni sebagai filsuf melainkan sebagai teolog. Karena itu, dalam etikanya Thomas melampaui metode filsuf murni dan bicara sebagai orang beriman, sebagai orang Kristen. 
               Bahwa tujuan akhir merupakan pemberian Tuhan yang berdaulat tidak berarti bahwa manusia tidak perlu berusaha sendiri. Aristoteles sudah menegaskan bahwa tindakan manusia bersifat bebas. Stoa, mendahului Kant, sadar bahwa kualitas manusia akan moral ditentukan oleh kehendaknya. Tindakan lahiriah bukan yang menentukan orang baik atau buruk dalam arti moral melainkan sebagai ungkapan kehendak. Manusia itu baik apabila ia berkehendak baik, jahat apabila berkehendak jahat. Menurut Thomas, manusia memilih antara baik dan buruk dan itu harus. Perbuatan baik mengarahkan kepada tujuan akhir, sementara perbuatan buruk semakin menjauhkan.
               Sebagai mana akal budi merupakan kemampuan kognitif manusia yang terbuka kepada yang tak terhingga maka begitu pula kehendak adalah dorongan manusia yang mengarah kepada yang baik, yaitu nilai yang tak terhingga. Thomas membedakan antara dua macam kegiatan manusia yaitu kegiatan manusiawi (actus humanus) dan kegiatan manusia (actus humana). Kegiatan manusia adalah segala macam gerak, perkembangan, dan perubahan pada manusia yang tidak disengaja, yang munri vegetatif ataau sensitif dan instingtif. Kegiatan ini di luar kuasa manusia, tidak perlu dipertanggung jawabkan, itu berarti kegiatan pada manusia itu tidak mempunyai kualitas moral mereka bukan baik atau buruk. Kegiatan manusia justru tidak khas manusia, melainkan juga ada pada binatang dan sebagian juga pada tumbuhan. 
               Kegiatan yang khas bagi manusia disebut kegiatan manusiawi, yaitu kegiatan sebagai manusia yang tidak ada pada organisme lain. Itulah kegiatan yang disengaja, tindakan dalam arti yang sebenarnya. Tindakan itu dikuasai dan berlaku dengan bebas karena ditentukan diri sendiri. Atas tindakan tersebut diperlukan tanggung jawab. Karena itu, tindakan menentukan kualitas moral manusia. Tindakan baik berarti manusia baik, tindakan buruk berarti manusia jahat. Apakah manusia mendekati tujuan akhir atau tidak adalah tanggung jawab manusia itu sendiri. Ia wajib bertindak ke arah yang baik dan tidak bertindak ke arah yang jahat. 
               Kemantapan dalam berbuat baik dan menolak yang jahat disebut keutamaan. Aquinas mengambil faham keutamaan dari Aristoteles. Keutamaan merupakan sikap hati yang sudah mantap, seakan-akan diandalkan. Sikap kebiasaan hati itu terbentuk karena tindakan. Manusia diharapkan mengusahakan keutamaan agar ia dengan mudah dapat bertindak sesuai dengan apa yang disadarinya dengan baik, agar kehendak, bagian dari jiwa yang menuju baik semakin terarah kepada apa yang diketahui dengan baik, yang sesuai dengan akal budi. Sebagaimana Aristoteles, Thomas juga berpendapat bahwa keutamaan pada umumnya merupakan sikap pertengahan. Keutamaan berada di antara dua sikap yang ekstrim yang dua-duanya buruk. Sebagai contoh, kebijaksanaan, misalnya, terletak di antara ketololan dan sikap berhati-hati yang berlebihan. 

               Pemikiran-pemikiran Thomas Aquinas teruta-ma tentang etika politiknya yang memberi perhatian pada hukum kodrat, pada perkembangannya juga mempengaruhi masa-masa setelahnya. Negara hukum konstitusional, misalnya, diukur keberadabannya pada perlindungan yang diberikan kepada hak-hak asasi manusia. Dalam etika politik modern, kekuasaan politik memerlukan legitimasi demokrasi. Negara dituntut tanggung jawabnya untuk mewujudkan keadilan sosial.
               Kelemahan pemikiran Thomas Aquinas yang sering dikritik adalah pada pertanyaan tentang kodrat manusia itu sendiri: Kodrat manusia terdiri dari apa.  Ini merupakan pertanyaan kunci karena mengim-plikasikan bagaimana manusia harus hidup. Thomas tidak menyediakan suatu metode untuk memastikan isi paham kodrat. 
               Keberatan kedua yang juga dialamatkan pada Thomas adalah: kalaupun kesatuan paham tentang kodrat manusia bisa dicapai, akan tetapi hukum kodrat di sini belum mempunyai isi. Hukum kodrat menuntut manusia agar bertindak sesuai dengan kodrat. Tetapi tindakan mana yang sesuai dengan kodrat manusia? 
GOOGLE search
Custom Search

Google search

Custom Search