Rabu, 29 Juni 2011

Aku dan sahabat-sahabatku

Aku sadar bahwa aku terlahir sebagai manusia yang mempunyai bentuk badan tertentu dan mampu bertindak sesuai pilihan hati dan pikiranku secara rasional sebagai “pribadi”. Akan tetapi, aku juga sadar bahwa ada orang lain pula yang mempunyai sifat-sifat seperti aku, mereka juga hadir sebagai pribadi yang sama derajat dan kedudukannya dengan aku yaitu sama-sama sebagai manusia. Aku tak mampu sepenuhnya hidup sendiri, kehadiran manusia lain sangat aku butuhkan demi kelangsungan hidupku dalam menjalankan misi sebagai manusia. Dengan kata lain, aku pada beberapa hal membutuhkan bantuan mereka dan begitu juga orang lain membutuhkan aku untuk hal-hal tertentu. Oleh karena itu, interaksi dan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain sangat aku perlukan. Ini merupakan bukti bahwa manusia adalah makhluk social (Homo Socius).
Wajah seorang lain menyatakan kepadaku bahwa ia merupakan suatu eksistensi tersendiri, bahwa ia asing bagiku, sebab ia datang dari dunia lain, bahwa ia menghadapi aku dengan permohonan supaya ia diterima seperti seseorang tamu meminta supaya ia diterima dalam rumah seseorang. Ini berarti pertemuanku dengan orang lain merupakan suatu kejadian yang unik. (Poespowardojo, 1978: 42)
Akan tetapi, meskipun aku menyadari bahwa manusia mempunyai keunikan sendiri yang sungguh berbeda dengan manusia lainnya, baik dari sisi spiritualitasnya maupun dari sisi materialitasnya. Namun perbedaan-perbedaan itu bukan untuk disamakan. Hal yang terpenting adalah menumbuhkan kesadaran bahwa perbedaan itu justru memperkaya hidup kita sehingga satu dengan yang lain dapat saling melengkapi
Menurut Levinas hubungan antara aku dan orang lain adalah pertama-tama suatu hubugan social antara dua subjek yang saling meminta supaya diterima dengan hati yang jujur dan baik. Maka seharusnya hubungan dasar antara dua subjek ialah hubungan keadilan dan kebaikan. Wajah orang lain merupakan panggilan bagi aku untuk menerimanya. Akan tetapi panggilan itu bersifat etis, yaitu mewajibkan aku sedemikian rupa sehingga aku menjadi bertanggung jawab terhadap orang lain itu. (Poespowardojo, 1978: 43)
Semua itu adalah semata-mata karena adanya kesadaran bahwa manusia pada dasarnya ingin menjalani hidupnya dengan baik, dihargai, bahagia, dan terpenuhi segala kebutuhannya. Maka sikap empati sangatlah diperlukan. Mereka pun merasakan apa yang aku rasakan. Jika aku merasa kesakitan ketika tersulut api, merekapun juga demikian. Jika aku senang orang lain tersenyum manis kepadaku, mereka pun pasti juga senang jika ada orang lain yang tersenyum kepada mereka. Jika aku tidak ingin disakiti, mereka juga tak ingin.
Aku ingin menikmati hidup, dan untuk itu aku membutuhkn pertolongan orang lain. Sebaliknya, kalau aku mendekati orang lain, oleh sebab aku merasa kewajiban untuk menerimanya, maka bukan aku lagi yang menentukan sesama, tetapi sesama yang menentukan aku. Di sini hubungan dengan sesama menjadi hubungan keadilan dan kebaikan. Dengan mengambil, sikap ini telah dipecahkan duniaku yang terbatas, untuk bertemu dengan yang tak terbatas, yang merangkum aku dan sesama. (Poespowardojo, 1978: 43)
Meskipun demikian, untuk mewujudkan kesadaran bersama bukanlah hal yang mudah dilakukan. Orang kadang sulit dipahami. Jangankan memahami orang lain, untuk memahami diri sendiri pun kadang sulit. Kebaikan kita bisa jadi dibalas dengan yang sebaliknya, ketulusan kita sering disalahartikan, kepercayaan di balas dengan pengkhianatan. Semua itu seakan menggambarkan bahwa manusia suka bertindak sesuka hati. Sikap empati seakan-akan hanyalah omong kosong belaka. Sebenarnya itu karena dalam diri manusia ada hasrat dan harapan akan sesuatu hal. Ketika ada subjek lain yang menginginkan hasrat yang sama, di situlah muncul yang namanya persaingan. Akhirnya muncul sikap egois, ingin menang sendiri, dan mementingkan dirinya sendiri. Bahkan kawan pun bisa jadi lawan. Itu lah mengapa manusia sering disebut Homo economicus. Tanpa disadari, setiap manusia menganggap orang lain sebagai lawan. Hal tersebut sangat bertentangan dengan tesis manusia sebagai makhluk social.
Penekanan tesis homo economicus ada pada aspek ekonomis dan memperlihatkan titik berat individualitasnya. Thomas Hobbes: Homo homini lupus, bellum omniumcontra omnes (manusia itu serigala bagi manusia yang lainnya, yaitu selalu berperang ketika terjadi pertemuan antara mereka). (Septiana, 2008)
Tak dapat dipungkiri, adakalanya manusia harus berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang sama dengan manusia yang lain. Akan tetapi, sebagai manusia yang dibekali kesadaran, semestinya manusia bersikap manusiawi dalam menjalani hidupnya. Yang harus ditekankan kembali bahwa hidup hanya sekali, lakukan yang terbaik dalam hidup kita dengan sesuatu yang baik. Siapapun diri kita, apapun agama kita; cepat atau lambat kita juga pasti akan mati. Dan jika kita telah mati, maka apa yang kita usahakan di dunia ini akan menjadi tidak berarti jika kita mendapatkannya dengan tidak baik. Kompetisi dalam hidup harus dihadapi dengan sportif. Dengan demikian sikap empati pun akan tetap tumbuh dalam diri kita.
Nilai manusia, bukan bagaimana ia mati, melainkan bagaimana ia hidup; bukan yang ia peroleh, melainkan apa yang ia berikan; bukan apa pangkatnya, melainkan apa yang telah diperbuatnya dengan tugas yang diberikan Tuhan kepadanya (Ministry)
Lagi-lagi ada kelemahan manusia yaitu Ikhlasnya hati sering disalah arti. Kebaikan kita justru hanya dimanfaatkan orang lain. Bahkan kadang kita hanya mendapatkan perlakuan manis ketika orang lain ada maunya kepada kita. Tetapi menurut saya, itu semua sebenarnya bukan masalah bagi kita jika kita melakukan sesuatu dengan ikhlas. Dan sikap angkuh dari orang lain itu sedikitpun tidak akan mengurangi pahala dan kebaikan kita. Itu hanya bukti kalau kita beberapa langkah lebih baik dari mereka. Akhirnya, semua kebaikan yang kita lakukan dengn ikhlas adalah bukan antara kita dan mereka tetapi kita dengan Allah.
Lakukanlah semua kebaikan yang dapat anda lakukan, dengan segala kemampuan anda, dengan semua cara yang anda bisa, di segala tempat, setiap saat, kepada semua orang, selama anda bisa (Samuel Wesley).
Sikap kurang baik yang ditunjukan kepada kita itu sebenarnya adalah kado istimewa bagi kita. Karena dengan mengetahui dan memahami sikap buruk orang kepada kita, kita justru bisa belajar banyak hal. Kita bisa tersadar untuk tidak melakukan sikap buruk seupa kepada orang lain. Dengan demikian, kita beberapa langkah lagi lebih baik dari mereka.
Belajarlah dari kesalahan orang lain. Anda tak dapat hidup cukup lama untuk melakukan semua kesalahan itu sendiri. (Martin Vanbee)
Dengan demikian, semua kebaikan, kejujuran, dan ketulusan akan meresap dalam diri kita. Tak peduli orang lain bersikap apa. Yang dapat kita lakukan hayalan memberi peringatan dengan sungguh-sungguh. Kalau pun itu tidak membuat orang lain bersikap baik seperti yang kita inginkan, itu pun tak akan menjadi dosa bagi kita. Tugas kita sekarang adalah menebarkan kebaikan di dunia ini sebagai makhluk yang paling sempurna.
Hiduplah seperti pohon kayu yang lebat buahnya; hidup di tepi jalan dan dilempari orang dengan batu, tetapi dibalas dengan buah. (Abu Bakar Silbi)
Saya pun percaya bahwa sejahat-jahatnya manusia pasti juga mempunyai kepekaan rasa di dalam setiap menghadapi kehidupan (Homo Recentis). Ketika manusia mengalami hal-hal yang tidak baik, bisa jadi akan membekas dalam hatinya. Hal ini seperti ketika kita memaku kayu, maka meskipun paku itu kita cabut dari kayu tersebut masih akan tertinggal bekas disana. Oleh karenanya menurut saya, penting bagi kita untuk menjaga sikap kita kepada orang lain. Baik dalam bertutur maupun daa bersikap. “aku” dan “yang lain” pasti saling memberi arti. Maka baik bagi kita untuk menjaga sikap dan perilaku kita.
Kita tidak menganggap sederhana perbedaan manusia dengan binatang. Sampai batas tertentu binatang dapat mengontrol diri ketika ia jinak. Namun manusia tidak selalu bertindak dengan berpikir. Sikapnya dapat mirip binatang. Namun keunggulan manusia yang mutlak terdapat pada kemampuannya untuk menghentikan diri, menguasai diri, berpikir/berrefleksi, mempertimbangkan situasi, dan menilainya”. (Septiana,2008)
Perbedaan adalah kenyataan yang harus kita terima dalam hidup ini. Perbedaan suku, ras, agama, warna kulit, beda pendapat, dan perbedaan lainnya harus dapat dipahami oleh setiap manusia. Dengan saling memahami saya yakin akan tercipta toleransi dan solidaritas. Dengan demikian, kita dapat berjuang bersama-sama menjalani hidup ini dengan sebaik-baiknya.




















Google search

Custom Search