A. Biografi Pengemis
Ibu Asroh lahir di Magelang pada tahun 1948. Beliau sempat mengenyam pendidikan sampai kelas empat SD. Namun beliau akhirnya putus sekolah karena keinginan orang tuanya agar membantu pekerjaan mereka di ladang sebagai petani. Pada waktu itu beliau tidak menolak kehendak orangtuanya karena ia mengaku memang belum menyadari tentang pentingnya sekolah. Setelah ia dewasa, barulah ia mulai menyadari bahwa ternyata pendidikan itu penting. Namun, waktu tidak dapat diputar ulang. Ibaratnya nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Beliau memang menyesal akan pilihannya dahulu untuk berhenti sekolah, tetapi ia tidak mau terus-menerus meratapi masa lalunya. Kini ia hanya berharap mudah-mudahan anak-anaknya bisa sekolah paling tidak sampai tingkat SLTP. Beliau berharap agar kelak anak-anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan yang ia alami saat ini.
Kehidupannya sebagai petani di Magelang dirasa jauh dari kesejahteraan. Oleh karena itu, pada tahun 1994 ia dan suaminya memutuskan untuk mengadu nasib ke kota Jogja sampai sekarang. Di Jogja, ia tinggal di Sidomulyo. Ibu Asroh memulai pekerjaan sebagai pengemis saat anaknya pertamanya berusia sepuluh tahun. Awalnya beliau bekerja sebagai pegupas bawang di pasar Bringharjo. Namun, penghasilannya tersebut ditambah dengan pengahasilan suaminya sebagai tukang becak tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Akhirnya, ia terpaksa menjalani hidupnya sebagai seorang pengemis.
Namun ibu asroh tidak mau begitu saja pasrah dengan nasib yang dialaminya. Beliau tetap berusaha untuk mencari alternatif selain menjadi pengemis. Beliau berkeyakinan masih memiliki peluang untuk dapat keluar dari tindakan mengemisnya. Sampai pada suatu saat, ia ditawari oleh tetangganya untuk menjadi pemungut sampah. Sampai saat ini, beliau selalu berusaha untuk memeuhi kebutuhan hidupnya tanpa bergantung dengan orang lain atau mengemis. Akan tetapi, beliau juga tidak menyangkal kalu beliau juga terkadang terpaksa mengemis jika uang hasil beliau mengumpulkan sampah dirasa tidak mencukupi.
Ibu Asroh biasanya mengemis atau mengais sampah di area kampus UGM. Beliau mencari sampah dan atau mengemis mulai pukul Sembilan pagi sampai pukul empat sore. Beliau mengaku bahwa beliau pernah tidak dapat memenuhi kebutuhan makan dia dan keluarganya dalam sehari sehingga terpaksa berhutang kepada tetangganya. Sebenarnya ibu asroh dan suaminya juga berusaha untuk menyisihkan penghasilannya dalam sehari akan tetapi mereka merasa sangat kesulitan. Kalau toh ada sisa biasanya untuk mencicil membayar hutang.
Ibu Asroh dan suaminya dikarunia dua anak. Anak pertamanya, bernama Fina Fidyaningsih. Saat ini ia putus sekolah karena sakit lemah jantung sejak kelas empat SD. Sebenarnya Fina juga berkeinginan untuk melanjutkan sekolah seperti teman-temannya. Melihat kondisi anaknya yang seperti itu, ibu Asroh sebenarnya sangat sedih. Namun ia berusaha untuk tetap tabah dan sabar. Meskipun ia harus gali lubang, tutup lubang untuk membiayai berobat anaknya.
B. Memahami konsep diri.
Masalah yang kita hadapi adalah mencari wajah yang sebenarya dan seutuhya tentang manusia. Oleh karena itu, titik tolak yang harus diambil bukanlah hasil suatu interpretasi seseorang tentang manusia, tetapi manusia dalam kewajaran serta keaslian hidupnya (Poespowardojo, 1978:8)
Sesuai pemahaman kami, Ibu asroh memiliki konsep diri yang baik. Beliau tidak hanya menghadirkan dirinya sebagai individu yang berdiri sendiri tetapi juga makhluk sosial yang harus hidup bersama-sama dengan orang lain. Jika dilihat dari kacamata bahwa beliau adalah juga person yang dipakai apabila membandingkan manusia dengan yang bukan manusia, menegaskan transendensinya terhadap yang lain. Maka dipahami dari segi spiritualitasnya ini, ibu Asroh adalah sosok yang sederhana dalam kepribadiannya karena keterbatasan pendidikan. Akan tetapi hal tersebut tidak menyebabkan beliau kehilangan makna manusiawinya. Justru dari situ, kami melihat bahwa kesederhanaan pemikirannya menggambarkan sebuah ketulusan dalam hidup. Ia berusaha menjalani kehidupannya layaknya manusia seutuhnya yang dibekali akal dan hati. Beliau memegang itu sebagai bekal hidupnya.
Dengan kesadaran etisnya, manusia menyadari dirinya sedalam-dalamnya, siapakah “aku”nya, dalam situasi eksistensi yang bagaimana ia berada dan dalam keharusan eksistensi yang bagaiman ia berada. Jadi ‘kesadaran etis adalah keadaran manusia tentang dirinya di dalam situasi eksistensinya. (salam,1988:112)
Ia mempunyai prinsip dasar bahwa hidup yang baik adalah hidup yang dijalani dengan tulus dan tidak mengganggu atau merugikan orang lain. Ibu Asroh dalam memandang kebebasan dan tanggungjawab senantiasa berpegang pada kebaikan bersama. Secara sederhana ia mengatakan bahwa setiap perilaku atau tindakannya harus dipertanggungjawabkan dengan yang lainnya. Apa yang dilakukannya harus atas dasar boleh atau tidak boleh, baik atau tidak baik hidupnya dan hidup orang lain.
Kita telah memahami arti daripada kodrat manusia. Melaksanakan kebaikan adalah tuntutan kodrat manusia. Kewajiban itu pada dasarnya adalah kebaikan yang dengan keharusan dibebankan pada kehendak kita yang merdeka untuk melaksanakan. Jadi keharusan dari wajib itu adalah principium identitas yang artinya: ‘Manusia adalah manusia, jadi harus berlaku sebagai manusia”. Bila tidak maka ia tetap manusia, tetapi memungkiri kemanusiaannya, lalu perbuatannya itu menggila dan sebagainya. (salam,1988:116)
C. Memahami konsep tentang dunia (kedudukan dirinya dengan sesama, dirinya dengan makhluk lain).
Sesama manusia harus hidup tolong-menolong dengan bergotong-royong. Di dalam pergaulan hendaknya setiap individu selalu berbudi luhur, setia kawan dan jujur.
Rukun agawe santoso, crah agawe bubrah. Maksudnya kesatuan dan persatuan akan menjadi kuat sentosa, sedang pertengkaran akan membawa kehancuran. (Bratawidjaja, 1996:54)
Ibu Asroh tidak merasa malu dengan pekerjaannya sebagai pengais sampah dan pengemis. Ia tidak merasa dikucilkan. Ia pun juga mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan seperti masyarakat kebanyakan. Jika memang ia harus mengikuti kegiatan-kegiatan seperti bersih desa, resepsi pernikahan atau bahkan ada tetanganya yang meninggal, beliau merasaha harus menghadiri kegiatan-kegiatan tersebut. Hal tersebut ia lakukan karena ia sadar bahwa ia tidak mungkin hidup terlepas dari bantuan orang lain. Ia menyadari betul bahwa dalam hidup ini manusia harus saling tolong-menolong satu sama lain. Meskipun demikian, bukan berarti dia juga harus mengesampingkan kewajiban pokoknya untuk mencari nafkah. Karena kebanyakan tetangganya di Jogja juga berprofesi serupa dengan ibu Asroh, maka kesadaran bahwa masing-masing punya kewajiban untuk mencari nafkah. Maka dalam berpartipasi dalam kegiatan sosial, warga sekitar tempat tinggalnya mempunyai kesepakatan dan aturan-aturan dalam menghadiri kegiatan sosial tersebut. Misalnya, jika ada tetangganya yang meninggal maka ada pembagian waktu melayat. Ia melaksanakan kegiatan kemasyarakatan ini karena didasari pemahaman bahwa itulah keseimbangan dalam tatanan kehidupan. Lebih jelasnya ia mengatakan bahwa ia melaksanakan kebaikan tersebut karena kesadaran bahwa suatu saat pasti ia juga akan mengalami hal serupa. Oleh karena itu, apa yang dilakukannya untuk masyarakat lain pun tidak berdasar atas banyak pertimbangan dan perhitungan. Hal ini dilaksanakan dengan penuh kesadaran atau tanpa adanya paksaan.
Kegiatan sosial yang dilaksanakan di daerah tempat tinggalnya sekarang ini diakuinya memang berbeda dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya ketika ia masih di Magelang. Ketika di Magelang diakuinya masih kental dengan kehidupan gotong-royong seperti kerjabakti, bersih desa, membantu membangun rumah secara bersama-sama dan lain sebagainya. Sedangkan di Sidomulyo tempat tinggalnya di Jogja, kegitan-kegiatan yang sangat penting saja yang masih dilaksanakan secara bersama-sama. Misalnya acara pernikahan atau acara takziah.
Sedangkan mengenai PKL, ibu Asroh tidak dapat berkata banyak. Ia juga menyadari bahwa apa yang dilakukan mereka adalah upaya untuk mencari nafkah meskipun tindakan mereka sering merugikan para pejalan kaki. Tapi menurutnya, setiap orang punya jalannya masing-masing. Ia tidak dapat menyalahkan para PKL karena mungkin mereka juga tidak punya pilihan lain. Hal terpenting adalah saling menghargai bahwa setiap orang mempunyai watak dan nasib yang berbeda-beda.
Ibu asroh mengaku senang dengan digratiskannya sekolah SD dan SLTP Negeri oleh pemerintah. Ia berharap, anaknya yang kedua dapat sekolah paling tidak sampai lulus SLTP. Ia mengatakan kalau anak keduanya inilah yang kini menjadi tumpuan harapan ibu Asroh dan suaminya. Ia berharap anak keduanya dapat bekerja dengan layak sehingga dapat membahagiakan kedua orang tuanya.
Ia mengaku ikut mencontreng pada PEMILU kemarin. Meskipun ia tidak begitu paham dengan masalah politik, Ia mengatakan bahwa ia memilih yang sekiranya mampu memahami kehidupan rakyat kecil seperti dia. Menurutnya, pemerintahan saat ini sudah baik karena mau memberikan bantuan langsung tunai kepada rakyat miskin. Ia berharap pemerintahan selanjutnya dapat lebih baik lagi.
D. Memahami konsep tentang lingkungan (sejauh mana eksistensi manusia dalam lingkungannya).
Ibu Asroh juga sebenarnya tidak suka dengan orang yang membuang sampah berceceran di sembarang tempat. Tapi ia juga tidak memungkiri bahwa ternyata tindakan buruk orang-orang tersebut membawa berkah tersendiri baginya. Ia dapat memunguti sampah-sampah tersebut untuk kemudian dijualnya. Dari situ kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya beliau memandang lingkungan sebagai sesuatu yang harus di jaga. Ia bahkan sempat mengatakan bahwa bencana yang akhir-akhir ini terjadi tidak terlepas dari tingkah laku manusia. Misalnya, banyak orang yang membuang sampah sembarangan dan menebang pohon semaunya sehingga timbullah banjir.
E. Memahami konsep tentang Tuhan.
Eksistensi religius adalah kesadaran manusia tentang keterhubungannya sebagai makhluk dengan penciptanya. Kesadaran ini merupakan benih adanya agama. (salam,1988:112)
Meskipun hanya seorang pengemis, bukan berarti dia lupa atau tidak peduli dengan ibadah. Ibu Asroh mengaku bahwa ia juga tidak lupa sembahyang. Ia biasanya sembahyang di masjid kampus UGM, masjid Mardliyah di Fakultas kedokteran atau di mushola-mushola fakultas di lingkungan UGM. Ia berusaha menjalani hidupnya dengan sabar dan tidak merasa bahwa Tuhan tidak adil kepadanya. Ia hanya berharap semoga dalam menjalani sisa-sisa hidupnya ini ia dapat meihat kedua anaknya tumbuh menjadi manusia yang baik dan mampu menjalani hidup yang lebih baik dari kehidupan yang ia jalani saat ini.
Dengan sangat lugu ia mengatakan bahwa orang baik, jujur, tidak mengganggu orang lain adalah orang yang akan masuk surga, sedangkan orang yang berbuat jahat akan masuk neraka. Sehingga ia mengharapkan agar kita semua selalu berhati-hati dalam setiap tingkah laku dan perbuatan.Oleh karenanya, ia tidak setuju kalau ada pengemis yang menipu seperti pura-pura cacat dan sebagainya. Ia juga sangat tidak suka melihat orang yang suka merugikan orang lain seperti mencuri, mencopet dan sebagainya. Dengan demikian ia menyarankan agar kita selalu waspada yakni selalu tanggap dengan keadaan sekitar. Ia tidak dapat begitu jelas menggambarkan keadaan surga seperti apa. Yang ia tahu hanyalah bahwa surga itu tempat yang sejuk dan meminta apa saja dipenuhi.
Custom Search