Kata "globalisasi"
diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal.
Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja
(working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang
melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa
seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain,
mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan
menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Globalisasi juga dapat kita
artikan sebagai sebuah proses multidimensional dalam aspek sosial, ekonomi,
politik, kultural yang bergerak secara ekstensif dan intensif di dalam
kehidupan masyarakat dunia. Ekstensif berarti bahwa perubahan tersebut
menjangkau wilayah geografis yang hampir tak terbatas, sedangkan intensif berarti
perubahan juga mencakup dan terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Seperti yang pernah disampaikan oleh Anthony Giddens mengenai globalisasi khususnya persoalan ruang dan waktu yang menjadi poin penting dalam menjelaskan fenomena tersebut yang semakin meng-global, bahwa ruang dan waktu saat ini telah mengalami perentangan tetapi sekaligus pemadatan antara keduanya. Kondisi ini dapat diamati dari berbagai kejadian keseharian manusia, sebagai contoh ringan bahwa ketika pada masa “tradisional” interaksi antar individu mesti dilakukan dengan tatap muka dan berjabat tangan yang merupakan suatu budaya timur yang hampir hilang dari pengamatan kita saat ini, sebab proses saling sapa tidak lagi dilakukan secara konvensional karena cukup dengan menekan tombol maka sebuah dunia telah tersaji di hadapan kita. Kemajuan teknologi sebagai bagian dari konsekuensi modernitas telah menjungkirbalikkan kondisi alam. Saat ini ruang yang menjadi tempat terjadinya segala praktek keseharian, tidak lagi membutuhkan waktu sebagai bagian yang mengikutinya Sangat jelas bahwa proses pencabutan waktu dari ruang pada skala global adalah hukum dari fenomena globalisasi. (Zain Maulana,2007 :1)
Seperti yang pernah disampaikan oleh Anthony Giddens mengenai globalisasi khususnya persoalan ruang dan waktu yang menjadi poin penting dalam menjelaskan fenomena tersebut yang semakin meng-global, bahwa ruang dan waktu saat ini telah mengalami perentangan tetapi sekaligus pemadatan antara keduanya. Kondisi ini dapat diamati dari berbagai kejadian keseharian manusia, sebagai contoh ringan bahwa ketika pada masa “tradisional” interaksi antar individu mesti dilakukan dengan tatap muka dan berjabat tangan yang merupakan suatu budaya timur yang hampir hilang dari pengamatan kita saat ini, sebab proses saling sapa tidak lagi dilakukan secara konvensional karena cukup dengan menekan tombol maka sebuah dunia telah tersaji di hadapan kita. Kemajuan teknologi sebagai bagian dari konsekuensi modernitas telah menjungkirbalikkan kondisi alam. Saat ini ruang yang menjadi tempat terjadinya segala praktek keseharian, tidak lagi membutuhkan waktu sebagai bagian yang mengikutinya Sangat jelas bahwa proses pencabutan waktu dari ruang pada skala global adalah hukum dari fenomena globalisasi. (Zain Maulana,2007 :1)
Sebagai sebuah proses,
globalisasi pun saya rasa memberikan dua dampak yakni dapak positif dan dampak
negatif. Dampak positifnya dapat kita tinjau dari proses masuknya kebudayaan
luar ke indonesia. Pada hakekatnya globalisasi kebudayaan bukanlah hal yang
baru bagi bangsa Indonesia. Bukti-bukti sejarah dan
corak sejumlah kebudayaan Indonesia yang mendapatkan pengaruh dari bangsa lain
memberikan bukti bahwa interaksi bangsa
Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia telah terjalin sejak ratusan tahun
yang lalu. Bukti- bukti pengaruh kebudayaan dari bangsa lain ini dapat kita
ketahui dari agama-agama yang berkembang di Indonesia
saat ini, misalnya hindu dari India
dan islam dari arab. Bukti lain adalah sistem kemasyarakatan, bangunan atau
arsitekstur dan seni pewayangan, kasusastraan, seni ukir seni tari,
ritual-ritual dan lain sebagainya. Bukti-bukti tersebut seakan menegaskas bahwa
globalisasi atau saya lebih suka menyebut dengan proses interaksi global pada
dasarnya sangat memberi keuntungan bagi umat manusia di dunia ini pada umumnya
dan bangsa Indonesia
pada khususnya. Ini karena globalisasi ternyata membuat kebudayaan Indonesia
lebih maju ,kaya dan beragam kemajuan
ilmu dan tegnologi juga merupakan dampak positif bagi Penyebaran prinsip
multikebudayaan dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di
luar kebudayaannya serta menjadikan semakin berkembangnya turisme dan pariwisata.
Namun sejalan dengan
perkembangan jaman, pola pikir manusia serta ilmu pengetahuan yang semakin
maju, ternyata globalisasi tanpa disadari telah mengalami suatu perubahan
system. Akses global kini tidak sebatas pada sesuatu yang baik-baik saja tetapi
hal negatif yang bisa jadi bertentangan dengan prinsip ataupun nilai budaya bisa
diakses oleh siapapun.
Internalisasi sistem nilai di
era globalisasi tidak terjadi secara paksa, di mana sistem nilai baru yang
masuk ke dalam kebudayaan suatu masyarakat terjadi dengan sangat sopan,
sehingga proses adopsi budaya terjadi secara perlahan tapi mematikan.
Globalisasi menciptakan suatu kondisi di mana budaya baru yang di cap sebagai
budaya modern dengan berbagai standar yang telah dikonstruksi dan dicitrakan
memang sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat, sehingga terdapat
keinginan dari internal masyarakat untuk mengadopsi dan menerapkan nilai budaya
tersebut dalam kehidupan publik mereka hingga kehidupan pribadi sekalipun. Pada
kondisi ini masyarakat tidak akan pernah merasa bahwa sistem nilai yang sedang
mereka tiru merupakan sebuah kontruksi dominasi suatu sistem terhadap sistem yang
lainnya. Masyarakat akan menjadi bangga jika mampu untuk bersikap dan bertindak
berdasarkan nilai-nilai budaya baru dan meninggalkan budaya lama karena
dianggap tidak relevan dengan kondisi kemajuan zaman.(ZainMaulana,2007:2). Hal tersebut saya
rasa nampak pada budaya pop yang berkeembang saat ini. . Budaya pop tersebut lahir
dari Imajinasi pop yang merupakan
bentuk imajinasi yang dicirikan oleh sifat dasar, rendah dan umum dengan
dasar berfikir praktis yang hanya mengedepankan selera massa dengan sifat dangkal tidak subtantif,
sifat-sifat permukaan tidak menyentuh isi, lebih menjurus pada hiburan
ketimbang pendidikan, menawarkan rasa kesenagan daripada pengetahuan. (duniawahyuni.blogspot.com/2007/12).
B. Eksistensi Kebudayaan
Persoalan budaya merupakan persoalan yang menarik untuk
ditelaah dan dipahami, sebab budaya merupakan suatu aspek yang selalu melekat
dalam setiap kehidupan manusia. Berbicara tentang kebudayaan berarti berbicara
tentang sebuah keluhuran budi. Pernyataan tersebut saya ungkapkan sebagaimana
teori yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara, kebudayaan menurutnya berasal dari
kata budi (tamansiswa 60 Tahun : 59 dan
tamansiswa 30 tahun :118). Budaya secara bahasa berasal dari dua kata yaitu budi (nalar) dan daya (
bentuk). Dengan singkat, konsepsi budaya
menunjukkan hubungan antara “nalar” dan “bentuk” yang dihasilkan dari sebuah
ekspresi. Konsep ini hampir sama dengan pengertian Culture dalam bahasa
Inggris, walau memiliki arti lebih dari satu yang menunjukkan pada suatu proses
praktek sosial yang menghasilkan makna, nilai, dan tata hidup masyarakat. Maka
dari itu dapat kita tarik kesimpulan bahwa budaya tidak serta-merta suatu hasil
kreasi yang bersifat artistik seperti seni patung, lukis, dan tari, tetapi
praktek-praktek keseharian manusia yang berlangsung secara terus-menerus dan
akhirnya menjadi mapan juga termasuk bagian dari budaya seperti kebiasaan
mengkonsumsi sesuatu, tata cara berpakaian, dan model interaksi dalam suatu
masyarakat. (Zain Maulana,2007 :1)
Berkaitan dengan kebudayaan
yang tercermin dalam keseharian atau tingkah laku masyarakat indonesia
tersebut, maka menurut saya hal yang sangat penting dikaji adalah perubahan
pola pikir masyarakat dewasa ini dalam menentukan sikap perilaku mereka yang
lebih cenderung mengikuti perilaku
bangsa lain yang sebenarnya bila dikaji lebih dalam sangatlah jauh dari
nilai-nilai luhur budaya kita. Berawal dari pandangan atau anggapan bahwa pola
pikir masyarakat akan senantiasa merubah kondisi sosial, maka hal terrsebut itu
dapat diterima sebagai hal yang wajar. Namun yang perlu digaris bawahi disini
adalah bahwa perubahan itu memang penting, tetapi mempertahankan kepercayaan
terhadap tradisi luhur saya rasa jauh lebih penting
Pada dasarnya perubahan itu
dilakukan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup, peradaban (civilzation) dan
kesempurnaan hidupnya yang meskipun pada dasarnya akan senantiasa juga dapat
menimbulkan dampak negatif bagi peradaban itu sendiri. Katakanlah, kebiasaan
manusia mengkonsumsi makanan yang serba instant, tanpa ada upaya untuk
membuatnya, akan melemahkan dan memandulkan kreativitas. Belum lagi hal yang
serupa itu diterima dan meresap pada diri anak-anak, maka seumur hidupnya akan
menjadi pengkonsumsi utama tanpa adanya niat untuk mencoba membuatnya dengan
keinginan sendiri. Alhasil, generasi yang muncul berikutnya adalah generasi
yang nirkreativitas. (Erond Litno Damanik MSi, www.silaban.net/2006/11/26)
Maka agar
eksistensi kebudayaan kita tidak tergerus kebudayaan pop dalam proses
akulturasi, kebuayaan masyarakat yang menerima pengaruh harus memiliki
dasar-dasar kepribadian yang kuat, kalau tidak mau terjadinya colonial imitative culture (soewardji sjafei, op.cit.:
99)
Meskipun demikian, hal yang
paling utama adalah bukan dengan menolak kebudayaan global namun dibutuhkan suatu
pemahaman dan pengertian, serta perhatian kita secara seksama untuk mengartikan
perubahan itu sehingga tidak menimbulkan pertentangan bagi kepribadian dan
kebudayaan yang selama ini kita junjung tinggi. Hal tersebut dapat dipahami
bahwa kunci utamanya terletak pada diri kita sendiri yakni dengan memilah dan
memilih perubahan-perubahan yang kiranya memberikan manfaat bagi kelangsungan
budaya kita. Sebagai pewaris budaya,
hal yang semestinya kita lakukan Adalah
berupaya memajukan kebudayaan kita itu sehingga budaya kita itu tidak terlindas
oleh budaya global. Dan hal yang tidak kalah penting adalah sampai sejauh mana
pengakuan kita terhadap kebudayaan kita itu.jangan sampai kebudayaan kita justru
diakui sebagai budaya bangsa lain seperti yang terjadi pada beberapa kebudayaan
kita, seperti batik, reok dan lain sebagainya.
Oleh karenanya, hal penting yang perlu dilakukan
adalah peninjauan kembali terhadap kepribadian kita. Kita tidak perlu takut terhadap anggapan sebagai person yang
primitif, tradisional dan konvensional. Semestinya
kita Bangga terhadap kebudayaan tersebut dengan meyakini bahwa kebudayaan kita
mencerminkan kepribadian luhur dan kita harus mengikis anggapan bahwa
kebudayaan kita itu adalah tidak maju, tidak modern dan terbelakang .
pemeliharaan kebudayaan haruslah dapat memajukan dan menyesuaikan kebuayaan
dengan tiap-tiap pergantian dan jaman.
C. Kualitas Manusia
Indonesia yang Dapat Bersaing di Tingkat Global
Di Indonesia, perhatian
terhadap mutu manusia sudah gencar dibahas sejak awal tahun 80-an lewat berbagai konsep, akan tetapi
karena latah pleh perasaan keberhasilan
ekonomi menyelesaikan semua
persoalan(yang belakangan setelah terkena krisis moneter 1997 ternyata semuanya lapuk),
perhatian terhadap peningkatan jumlah dan mutu manusia sebagai satu-satunya
kunci tinggal jadi wacana.(Ninok
leksono,2000:431)
Dalam proses globalisasi kebudayaan maka sikap kita sebagai bangsa
yang berbudaya tindakan kita harus semakin kesukuan, dan berpikir lokal,
bertindak global.
Generasi muda
harus dikenalkan kepada kearifan tradisi dan budaya lokal, yaitu dengan memberi
kesempatan kepada mereka untuk "bersentuhan" dengan budaya.
"Misalnya, mengenalkan anak-anak pada angklung berikut sejarah dan
filosofinya,"( Yasraf, kompas-cetak/0712/17/Jabar). Jika hal tersebut dilakukan,
maka akan tumbuh rasa kewajiban moral. Maka tugas pemerintah pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya untuk bersama-sama melakukan gerakan social di bidang
kebudayaan. Seperti mengadakan festival dan wadah organisasi kebudayaan.
Pemikiran-pemikiran kita musti sanggup memikirkan sejauh mungkin. Tugas dan
kewajiban kita adalah memfilter budaya yang masuk. Yang baik diambil seperti
etos kerja, kedisiplinan dan sebagainya. Dan yang buruk seperti
materialis,konsumtif budaya pop, dan individualis harus di tolak. kita harus
tetap memiliki kebangsaan dan kepribadian sendiri, sekaligus pemain aktif dalam
proses globalisasi. Kepribadian
kita adalah pancasila, sedangkan wawasan kebudayaan kita harus mendunia,
menginternasional, menguniversal dan go internasional. Intinya manusia
indonesia harus beriman, berwawasan, masakini dalam arti mampu berinovasi dan
menguasai tehnologi modern, Namun harus tetap berbudaya.
GOOGLE search
Custom Search