Rabu, 22 Oktober 2008

Sengketa Tanah

Keharusan Adanya Hubungan yang Erat Antara Hak Legal dan Hak Moral dalam Kasus Sengketa Tanah
A. Latar Belakang Masalah
Konflik tanah sepertinya tak pernah berakhir. Kasus Tanjungmorawa, Cianjur, Jember Bulukumba, Atang Senjaya, Meruya Selatan dan Pasuruan hanyalah beberapa contoh. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Joyo Winoto, mengatakan terdapat sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Masalah utamanya sebenarnya terletak pada negara yang tidak menghimpun data kepemilikian tanah sejak dari zaman Belanda dan buruknya database Negara. Hingga kini belum ada pengukuran tanah yang dilakukan secara nasional dan menyeluruh oleh pemerintah pusat, padahal pengukuran itu sangat penting sebagai upaya mengurangi masalah sengketa. BPN menyatakan dari 85 juta bidang tanah di Indonesia, baru sekitar 30 persen yang terdaftar dan diberikan hak atasnya. Begitu juga pembuktian surat tanah melalui sertifikasi, ternyata juga belum bisa menyelesaikan masalah karena seringkali sebuah tanah mempunyai sertifikat lebih dari satu.
Dalam setiap kasus tanah, posisi rakyat selalu lemah. Sejumlah kasus menunjukkan, rakyat biasanya tidak memiliki dokumen legal seperti sertifikat. Rakyat mengklaim tanah hanya berdasarkan kepada fakta historis belaka. Jika dengan dokumen legal seperti sertifikat pun, terkadang belum bisa membuktikan kepemilikan secara sah terhadap tanahnya, apalagi hanya dengan mengandalkan aspek historis semata, tentu akan jauh lebih sulit untuk mendapatkan pengakuan. dalam penyelesaian konflik tanah, pemerintah harus melibatkan masyarakat. Banyak kasus yang terjadi, pemerintah selalu berpihak kepada para pemodal saat terjadi konflik agraria antara masyarakat dengan sebuah perusahaan. Dan kalaupun dengan perusahaan negara, biasanya pemerintah selalu mengatasnamakan milik Negara.
B. Kaitan Hak Legal, Hak Moral dan Hati Nurani dalam Sengketa Tanah
Berbicara tentang kasus sengketa tanah secara tidak langsung juga membahas tentang hak legal, hak moral dan hati nurani personal maupun kolektif. Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk. Hak-hak legal berasal dari undang-undang, perturan hukum atau dokumen legal lainnya misalnya sertifikat kepemilikan atas suatu lahan atau tanah. Sedangkan hak moral adalah hak / klaim seseorang secara moral. Hak legal berfungsi sebagai sistem hukum sedangkan hak moral berfungsi sebagai sistem moral. Hak moral didasarkan atas prinsip atau peraturan etis saja. Hak moral belum tentu hak legal juga. Walaupun hak legal tidak dengan sendirinya merupakan hak moral, namun yang ideal adalah bahwa hak moral pada dasarnya merupakan suatu hak legal. Hak moral akan lebih efektif dan mempunyai kedudukan lebih kukuh dalam masyarakat, jika didukung dan dilindungi secara hukum.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedua macam hak tersebut secara ideal bisa saling mendukung walaupun tidak seluruhnya. Akan tetapi sangat mungkin terjadi keduanya saling bertentangan seperti kasus sengketa tanah yang banyak terjadi dimasyarakat. Dalam kasus sengketa tanah, kita dapat menganalisis bahwa sebenarnya perlu adanya perpaduan antara hukum sebagai dasar atas hak legal dengan moral. Dari segi hukum, Hukum membutuhkan moral. Dalam kekaisaran roma terdapat pepatah Quid leges sine moribus? (apa artinya undang-undang, kalau tidak disertai moralitas?). hukum tidak berarti banyak jika tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas hukum akan kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Sebagai contoh, adanya pemalsuan sertifikat tanah yang dilakukan oeh oknum tertentu sehingga suatu tanah mempunyai sertifikat ganda. Ironisnya, jika terjadi sengketa antara penggugat yang mempunyai sertifikat tanah palsu seringkali menang atas sengketa tanah tersebut karena adanya kongkalikong antara penggugat dengan hakim yang memutuskan perkara tersebut. Disisi lain, pihak tergugat yang mempunyai sertifikat tanah serupa bahkan sertifikat tersebut sebenarnya asli sehingga semestinya mempunyai hak secara moral atas tanah tersebut, harus rela gigit jari dan melepaskan hak legal atas tanah tersebut karena sertifikatnya tidak di sahkan atau tidak disetujui oleh pengadilan. Karena itu hukum harus selalu diukur dengan norma moral. Dan jika ditinjau dari segi moral, hukum dibutuhkan agar moral tidak mengawang-awang sehingga dapat memberi dampak sosial yang lebih besar.
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Joyo Winoto, mengatakan ada beberapa cara yang dilakukan oleh BPN Untuk menangani permasalahan sengketa tanah yaitu secara sistematik dan ad hoc. Secara sistematik, saat ini BPN dalam proses melakukan penataan proses hukum pertanahan dan kelembagaan untuk menangani kasus-kasus sengketa tanah. Sedangkan secara ad hoc, BPN sudah memiliki deputi baru, yaitu Deputi Pengkajian dan Deputi Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Pembuat Akta Pejabat Tanah (PPAT) akan mengecek keaslian dan cek ke lapangan untuk menghindari kepemilikan dokumen ganda.
Tetapi mempraktekan teori-teori tidaklah semudah mengucapkannya. Karena banyak faktor lain yang menentukan teori tersebut dapat dijalankan atau tidak. Kasus Meruya Selatan memberi contoh. Jika dokumen tanah berupa hak girik dipegang PT Portanigra dan tanah tersebut berstatus sengketa, mestinya ribuan warga meruya tak bisa memiliki sertifikat hak milik. Mestinya BPN tidak mengeluarkan dokumen kepemilikan tanah di atas lahan yang terlibat sengketa. Tapi buktinya ribuan warga yang kini mendiami lokasi tersebut, mereka bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan tanah yang sah, diantaranya berupa sertifikat. PP Nomor 24 Tahun 1997, menyebutkan, setelah terbitnya sertifikat selama lima tahun dan tidak ada keberatan dari pihak mana pun, maka tidak boleh dibuat sertifikat baru atas tanah yang sama. Nyatanya, pengadilan dalam menangani kasus tanah sering mengesampingkan PP ini. Alasannya, jika ada bukti baru atas sebuah tanah bersertifikat, maka BPN berhak mengeluarkan sertifikat baru.
Dengan demikian, sertifikat itu bukan sesuatu yang mutlak sebagai tanda kepemilikan tanah. Yang lebih penting dari itu dan saya rasa yang menjadi kata kunci dari permasalahan ini adalah hati nurani dan kesadaran setiap pribadi di negeri ini. Hati nurani adalah penghayatan tentang baik atau buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret kita.hati nurani ini memerintahkan atau melarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Ia tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang situasi yang konkrit. Tidak mengikuti hati nurani ini berarti menghancurkan integritas pribadi kita dan mengkhianati martabat terdalam kita.
Hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran. Dengan kesadaran kita maksudkan kesanggupan untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu dia berefleksi tentang dirinya. Kesadaran inilah yang membedakan manusia dengan binatang yang hanya memiliki pengenalan. Jadi jika manusia tidak menggunakan hati nuraninya, secara tidak langsung dia tidak memakai kesadarannya yang berarti juga dia telah menghewankan dirinya sendiri.
Dari semua ini dapat dipahami bahwa hati nurani mempunyai kedudukan kuat dalam hidup moral kita. Yang berarti juga bahwa kita tidak boleh bertindak yang bertentangan dengan hati nurani. Disisi lain harus disadari bahwa tidak selalu hati nurani kita baik secara obyektif. Akan tetapi, manusia wajib juga mengembangkan hati nurani dan seluruh kepribadian etisnya sampai menjadi matang dan seimbang. Pada orang yang sungguh-sungguh dewasa dalam bidang etis, putusan subyektif dari hati nurani akan sesuai dengan kualitas obyektif dari perbuatannya. Pada orang serupa itu, yang baik secara subyektif akan sama dengan yang baik secara obyektif. Hati nurani harus dididik bersama dengan pendidikan moral dan pendidikan kerohanian atau keagamaan sehingga manusia mengetahui tujuan hidup yang hakiki yakni untuk mengejar keutamaan hidup sebagai manusia dan mengetahui tanggungjawabnya sebagai manusia ciptaan tuhan sehingga mempuyai dasar atau patokan tentang makna kebaikan dan keburukan secara universal dan hakiki.
Jika hati nurani telah dibina sedemikian rupa, maka langkah selanjutnya adalah mengaplikasikannya kedalam kehidupan sosial. Hal tersebut memang bukan suatu perkara yang mudah apalagi jika ditinjau dari sekian banyaknya kasus sengketa tanah yang terjadi hamper di seluruh plosok negeri ini. Tapi hal tersebut juga bukan hal yang mustahil untuk dilaksanakan jika semua manusia di negeri ini mau berusaha untuk menjalani kehidupannya dengan sebaik mungkin sesuai kodratnya sebagai manusia, yakni makhluk yang di karuniai hati nurani yang membedakannya dengan makhluk ciptaan tuhan yang lainnya. Kecuali jika memang kita mau berubah menjadi makhluk lain. Dan akhirnya saya akan menghubungkan kesadaran disini dengan ajaran konfusius tentang shu yakni tidak melakukan apa yang tidak kita inginkan orang lain melakukannya kebada kita. Jika kita tidak suka hak kita di klaim oleh orang maka jangan mengklaim hak orang lain karena dia juga tidak suka haknya di klaim orang.
C. Kesimpulan
· hak moral seseorang atau kelompok pada hakekatnya juga hak legal atasnya.
· Kasus sengketa tanah yang sudah ada harus segera di selesaikan secara hukum, tapi bersamaan dengan itu harus di imbangi dengan pembinaan kesadaran moral dan hati nurani agar kasus tersebut segera selesai dan tidak terjadi kasus – kasus serupa di kemudian hari.
· Perlunya menumbuhkan kesadaran tentang arti penting jati diri (identitas) sosial. Bahwa sebagai makhluk sosial kita memerlukan orang lain.
· Jangan melakukan sesuatu keburukan kepada orang lain yang kita tidak menginginkan sesuatu itu dilakukan orang lain kepada kita.
DAFTAR PUSTAKA

Google search

Custom Search